Minggu, 08 Juni 2025

NAJISKAH KOTORAN HEWAN YANG HALAL

 NAJISKAH KOTORAN HEWAN YANG HALAL

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Saya pernah mendengar ceramah seorang Ustaz mengenai hukum kotoran dari hewan yang halal dimakan, katanya hukumnya najis. Sementara dari Ustaz yang lain mengatakan hukumnya tidak najis. Untuk mendapatkan kejelasan mengenai hukumnya ini, mohon Pengasuh Konsultasi Agama MATAN berkenan memberikan ulasan sejelas-jelasnya disertai dengan dalil-dalilnya. Atas perkenannya, kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Nasrul Manar nasrulmanar@gmail.com).

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr.wb.!

            Najis secara umum berarti kotor atau tidak suci. Secara syar’i najis berarti kotor khusus yang dapat menghalangi sahnya salat dan mewajibkan seseorang membersihkan atau menyucikannya. Zakariya al-Ansari (w. 926 H/1520 M) dalam kitabnya Fath al-Wahhab, menulis:

النَّجَاسَةُ لُغَةً: مَا يُسْتَقْذَرُ، وَشَرْعًا بِالْحَدِّ: مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ الصَّلَاةَ حَيْثُ لَا مُرَخِّصَ

Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dipandang kotor (jijik). Sedangkan secara syar’i (istilah), najis adalah sesuatu yang kotor (menjijikkan), yang menyebabkan salat tidak sah selama tidak ada sebab yang meringankan (Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahhab, I/37).

 

            Membahas permasalahan mengenai kotoran hewan yang halal dimakan, di antara ulama terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama (mazhab Syafii dan Hanafi) menghukumi najis, sementara ulama yang lain (mazhab Maliki dan Hanbali serta Sebagian mazhab Syafii) menghukumi suci (Ibn Bathal, Syarh Sahih al-Bukhari, I/346; Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/28). Berikut ini pembahasannya!

            Ulama yang Menghukumi Najis.

Menurut jumhur ulama kalangan mazhab Syafii dan Hanafi, mereka berpendapat bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluannya, baik depan atau belakang hukumnya najis. Tidak peduli apakah berasal dari hewan yang halal dimakan, ataukah dari hewan yang tidak halal. Beberapa dalil yang dipedomani oleh ulama yang menghukumi najis pada kotoran semua hewan ini di antaranya adalah:

1. HR. al-Bukhari No. 156:

عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الأَسْوَدِ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ يَقُولُ أَتَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ.

 Dari Abdurrahman bin Al-Aswad, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Abdullah (yaitu Abdullah bin Mas ‘ud) berkata: "Rasulullah pergi ke tempat buang hajat, lalu beliau memerintahkanku untuk membawakan tiga batu. Maka aku menemukan dua batu, dan aku mencari batu ketiga tetapi tidak menemukannya. Lalu aku mengambil sepotong kotoran hewan (yang kering) dan membawanya kepada beliau. Beliau mengambil dua batu itu dan melemparkan kotoran tersebut seraya bersabda: 'Ini adalah riks (najis/kotor)' (HR. al-Bukhari No. 156).

            Hadis tersebut difahami oleh ulama Hanafiyah dan Syafiiyah bahwa yang dimaksud dengan kalimat “… kotoran: 'Ini adalah riks (najis/kotor)'” adalah kotoran yang berasal dari semua hewan dan dihukumi najis. Dalam hal ini termasuk hewan kambing, unta dan lain-lainnya (Anwar Syah al-Kasymiri, al-Urf al-Syadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi, III/275).

2. HR. al-Daruqutni No. 458, Nabi saw. bersabda:

ياَ عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ: مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ

(Nabi saw. bersabda): Wahai ‘Ammār, sesungguhnya pakaian itu dicuci karena lima hal: dari kotoran (tinja), air kencing, muntah, darah, dan mani (HR. al-Daruqutni No. 458).

Menurut al-Daruqutni, hadis ini lemah sekali. Kata al-Albani, selain diriwayatkan oleh al-Daruqutni, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Nu’aym. Hadis ini batil dan tidak jelas asal-usulnya (al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Da’ifah Wa al-Maudu’ah, X/414).

3. HR. al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No. 704, dari Ibn Abbas ra.:

مَرَّ النَّبِيُّ – ﷺ – عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الْآخَرُ كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنِ الْبَوْلِ أَوْ مِنَ الْبَوْلِ.  – وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى – كَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ

“Nabi pernah melewati dua kuburan yang keduanya diazab dan keduanya tidaklah diazab karena dosa besar, lalu beliau beresabda: “Salah satunya disiksa karena suka gossip (fitnah), dan satunya lagi karena tidak menjaga kebersihan dari kencing” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak menutupi dari kencingnya” (HR. al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No. 704).

Al-Khattabi berkata: “Hadis ini menunjukkan bahwa semua air kencing adalah najis dan harus dijauhi, baik dari hewan yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak boleh, karena lafal yang digunakan dalam hadis tersebut menunjukkan secara mutlak, yang mencakup umum dan menyeluruh. Selain itu di dalamnya terdapat penetapan adanya azab kubur” (al-Khattabi, Ma’alim al-Sunnah, I/19).

4. Meskipun ada hadis bahwa Rasulullah saw. pernah salat di dalam kandang kambing, menurut ulama yang menghukumi najis pada kotoran dari semua hewan, mereka memahaminya bukan berarti Nabi salat di atas tumpukan najis, akan tetapi beliau salat dengan menggunakan alas, sehingga tetap tidak terkena najis. Demikian juga ketika Rasulullah saw. membolehkan seorang sahabat meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal itu terjadi karena darurat saja.

            Ulama yang Menghukumi Tidak Najis.

            Dalam pandangan ulama Malikiyah dan Hanabilah, tidak semua kotoran hewan itu najis. Kotoran yang berasal dari hewan yang tidak halal, maka hukumnya najis, sedangkan kotoran yang berasal dari hewan yang halal dimakan hukumnya tidak najis. Berikut ini dalil-dali yang dijadikan pedoman:

1.    HR. al-Bukhari No. 233.

Dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari ‘Ukel atau dari ‘Uraynah, disebutkan dalam hadis:

فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Nabi saw. menyuruh mereka untuk meminum kencing dan susu dari unta perah” (HR. Bukhari no. 233).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi mengizinkan sahabatnya untuk meminum air kencing dan susu unta. Bila susu unta dihukumi suci sehingga boleh diminum, maka air kencing unta yang juga boleh diminun, berarti hukumnya juga sama-sama suci. Kita ketahui bahwa unta adalah di antara hewan yang halal dimakan. Atas dasar ini kelompok ulama dari kalangan mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan sucinya kotoran termasuk kencing dari hewan yang halal dimakan.

2.    HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288.

Nabi saw. pernah ditanya mengenai hukum salat di kandang kambing, maka beliau bersabda:

صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ

Salatlah kalian di kandang kambing, karena di sana bisa mendatangkan keberkahan” (HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288). Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.

Imam Syafi’i menerangkan bahwasanya kambing itu tidak memiliki sifat membangkang dan tidak suka lari, bahkan ia lemah, memiliki sifat tenang, tidak mengganggu orang yang salat dan tidak memutus salatnya. Ia adalah hewan yang penuh berkah, maka salatlah di kandang-kandangnya. Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya salat di tempat duduk unta, dan bolehnya salat di kandang kambing" (al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud, I/118-119).

            Bila seseorang dibolehkan salat di kandang kambing, padahal di kandang tersebut tak lepas dari kotoran, dan kambing adalah salah satu hewan yang halal dimakan, maka atas dasar ini para ulama khususnya kalangan Malikiyah dan Hanabilah men-generalisir bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.

3.    HR. al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201

كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Rasulullah senang salat di mana pun saat waktu salat telah tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan salat di kandang kambing.” (HR. al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201)

Berdasarkan hadits tersebut, para ulama, khususnya di kalangan mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagaian Syafii, yang berpendapat bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci, mereka menjelaskan bahwa melaksanakan salat di kandang kambing tentunya akan terkena kotoran kambing, maka menghukumi kotoran kambing sebagai hal yang najis justru akan menganggap salat Rasulullah tidak sah karena terkena najis. Begitu juga disamakan dengan hewan kambing, yaitu hewan-hewan lain yang halal dimakan.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XL/92).

4.     Kaedah yang mesti dipahami, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci”, sebagaimana kata Imam Al- Syaukani:

أَنَّ الأَصْلَ فِي كُلِّ شَيْءٍ أَنَّهُ طَاهِرٌ

“Bahwasanya hukum asal segala sesuatu adalah suci” (al-Syaukani, Al-Durari al- Mudhiyyah, I/20).

Lebih lanjut Imam Al-Syaukani menjelaskan:

لِأَنَّ القَوْلَ بِنَجَاسَتِهِ يَسْتَلْزِمُ تَعَبُّدَ العِبَادِ بِحُكْمٍ مِنَ الأَحْكَامِ، وَالأَصْلُ عَدَمُ ذَلِكَ، وَالبَرَاءَةُ قَاضِيَةٌ بِأَنَّهُ لَا تَكْلِيفَ بِالمُحْتَمَلِ حَتَّى يَثْبُتَ ثُبُوتًا يُنْقِلُ عَنْ ذَلِكَ.

 “Karena sesungguhnya jika dikatakan bahwa sesuatu itu najis, maka hal ini berarti membebani hamba dengan suatu hukum. Oleh karenanya, hukum asalnya, seseorang hamba terbebas dari beban dan seorang hamba tidak dibebani kewajiban dengan sesuatu yang masih kemungkinan (muhtamal) najis atau tidaknya sampai ada dalil yang menyatakan dengan jelas bahwa itu najis” (al-Syaukani, Al-Durari al- Mudhiyyah, I/20).

 Kesimpulan

            Ulama berbeda pendapat mengenai hukum kotoran hewan yang halal dimakan. Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa kotoran dari semua hewan, baik yang halal dimakan maupun tidak, hukumnya najis. Penilaian najis mencakup semua kotoran karena berasal dari tempat keluarnya najis (dubur-kubul).

Sementara ulama lain, khususnya kalangan mazhab Maliki dan Hambali, serta sebagian mazhab Syafii berpendapat bahwa kotoran dari hewan yang halal dimakan hukumnya suci. Sesuai kaidah bahwa asal sesuatu itu suci kecuali ada dalil yang menajiskannya. Dalam hal ini (kotoran hewan yang halal) tidak ditemukan dalil tegas yang menajiskannya. Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi Juni 2025)