NAJISKAH KOTORAN HEWAN YANG HALAL
Oleh
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan:
Assalamu’alaikum
wr.wb.!
Saya
pernah mendengar ceramah seorang Ustaz mengenai hukum kotoran dari hewan yang
halal dimakan, katanya hukumnya najis. Sementara dari Ustaz yang lain
mengatakan hukumnya tidak najis. Untuk mendapatkan kejelasan mengenai hukumnya
ini, mohon Pengasuh Konsultasi Agama MATAN berkenan memberikan ulasan
sejelas-jelasnya disertai dengan dalil-dalilnya. Atas perkenannya, kami
sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Nasrul
Manar nasrulmanar@gmail.com).
Pembahasan:
Wa’alaikumussalam
wr.wb.!
Najis secara umum berarti kotor atau
tidak suci. Secara syar’i najis berarti kotor khusus yang dapat menghalangi
sahnya salat dan mewajibkan seseorang membersihkan atau menyucikannya. Zakariya
al-Ansari (w. 926 H/1520 M) dalam kitabnya Fath al-Wahhab, menulis:
النَّجَاسَةُ لُغَةً: مَا يُسْتَقْذَرُ، وَشَرْعًا
بِالْحَدِّ: مُسْتَقْذَرٌ يَمْنَعُ الصَّلَاةَ حَيْثُ لَا مُرَخِّصَ
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang
dipandang kotor (jijik). Sedangkan secara syar’i (istilah), najis adalah sesuatu
yang kotor (menjijikkan), yang menyebabkan salat tidak sah selama tidak ada
sebab yang meringankan (Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahhab, I/37).
Membahas permasalahan mengenai kotoran hewan yang halal
dimakan, di antara ulama terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama (mazhab
Syafii dan Hanafi) menghukumi najis, sementara ulama yang lain (mazhab Maliki
dan Hanbali serta Sebagian mazhab Syafii) menghukumi suci (Ibn Bathal, Syarh
Sahih al-Bukhari, I/346; Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/28). Berikut
ini pembahasannya!
Ulama yang Menghukumi Najis.
Menurut
jumhur ulama kalangan mazhab Syafii dan Hanafi, mereka berpendapat bahwa semua
benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluannya, baik depan atau belakang hukumnya
najis. Tidak peduli apakah berasal dari hewan yang halal dimakan, ataukah dari hewan
yang tidak halal. Beberapa dalil yang dipedomani oleh ulama yang menghukumi najis
pada kotoran semua hewan ini di antaranya adalah:
1. HR. al-Bukhari
No. 156:
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الأَسْوَدِ ، عَنْ أَبِيهِ ،
أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللهِ يَقُولُ أَتَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ
وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا
فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ.
Dari Abdurrahman bin Al-Aswad, dari ayahnya,
bahwa ia mendengar Abdullah (yaitu Abdullah bin Mas ‘ud) berkata: "Rasulullah ﷺ pergi ke tempat buang hajat, lalu beliau memerintahkanku untuk
membawakan tiga batu. Maka aku menemukan dua batu, dan aku mencari batu ketiga
tetapi tidak menemukannya. Lalu aku mengambil sepotong kotoran hewan (yang
kering) dan membawanya kepada beliau. Beliau mengambil dua batu itu dan
melemparkan kotoran tersebut seraya bersabda: 'Ini adalah riks (najis/kotor)' (HR.
al-Bukhari No. 156).
Hadis tersebut difahami oleh ulama Hanafiyah dan
Syafiiyah bahwa yang dimaksud dengan kalimat “… kotoran: 'Ini adalah riks (najis/kotor)'”
adalah kotoran yang berasal dari semua hewan dan dihukumi najis. Dalam hal
ini termasuk hewan kambing, unta dan lain-lainnya (Anwar Syah al-Kasymiri, al-Urf
al-Syadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi, III/275).
2. HR. al-Daruqutni No. 458, Nabi saw.
bersabda:
ياَ عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ
خَمْسٍ: مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
(Nabi
saw. bersabda): Wahai ‘Ammār,
sesungguhnya pakaian itu dicuci karena lima hal: dari kotoran (tinja), air
kencing, muntah, darah, dan mani (HR.
al-Daruqutni No. 458).
Menurut al-Daruqutni, hadis ini
lemah sekali. Kata al-Albani, selain diriwayatkan oleh al-Daruqutni, hadis ini
juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Nu’aym. Hadis ini batil dan tidak
jelas asal-usulnya (al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Da’ifah Wa al-Maudu’ah,
X/414).
3. HR.
al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No. 704, dari Ibn Abbas ra.:
مَرَّ النَّبِيُّ – ﷺ – عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الْآخَرُ كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنِ
الْبَوْلِ أَوْ مِنَ الْبَوْلِ. – وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى – كَانَ
لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Nabi ﷺ pernah melewati dua kuburan yang keduanya diazab dan keduanya
tidaklah diazab karena dosa besar, lalu beliau beresabda: “Salah satunya disiksa
karena suka gossip (fitnah), dan satunya lagi karena tidak menjaga kebersihan dari
kencing” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak
menutupi dari kencingnya” (HR. al-Bukhari No. 1361 dan Muslim No.
704).
Al-Khattabi
berkata: “Hadis ini menunjukkan bahwa semua air kencing adalah najis dan harus
dijauhi, baik dari hewan yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak boleh,
karena lafal yang digunakan dalam hadis tersebut menunjukkan secara mutlak, yang
mencakup umum dan menyeluruh. Selain itu di dalamnya terdapat penetapan adanya
azab kubur” (al-Khattabi, Ma’alim al-Sunnah, I/19).
4. Meskipun ada hadis bahwa
Rasulullah saw. pernah salat di dalam kandang kambing, menurut ulama yang
menghukumi najis pada kotoran dari semua hewan, mereka memahaminya bukan
berarti Nabi salat di atas tumpukan najis, akan tetapi beliau salat dengan menggunakan
alas, sehingga tetap tidak terkena najis. Demikian juga ketika Rasulullah saw. membolehkan
seorang sahabat meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan
mereka hal itu terjadi karena darurat saja.
Ulama yang Menghukumi Tidak Najis.
Dalam pandangan ulama Malikiyah dan Hanabilah, tidak
semua kotoran hewan itu najis. Kotoran yang berasal dari hewan yang tidak
halal, maka hukumnya najis, sedangkan kotoran yang berasal dari hewan yang
halal dimakan hukumnya tidak najis. Berikut ini dalil-dali yang dijadikan
pedoman:
1.
HR.
al-Bukhari No. 233.
Dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari ‘Ukel atau
dari ‘Uraynah, disebutkan dalam hadis:
فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
“Nabi saw. menyuruh mereka untuk meminum
kencing dan susu dari unta perah” (HR. Bukhari no. 233).
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa Nabi mengizinkan sahabatnya untuk meminum air
kencing dan susu unta. Bila susu unta dihukumi suci sehingga boleh diminum,
maka air kencing unta yang juga boleh diminun, berarti hukumnya juga sama-sama
suci. Kita ketahui bahwa unta adalah di antara hewan yang halal dimakan. Atas
dasar ini kelompok ulama dari kalangan mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan
sucinya kotoran termasuk kencing dari hewan yang halal dimakan.
2.
HR.
Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288.
Nabi saw. pernah ditanya
mengenai hukum salat di kandang kambing, maka beliau bersabda:
صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ
“Salatlah kalian di kandang
kambing, karena di sana bisa mendatangkan keberkahan” (HR. Abu Daud no. 184
dan Ahmad 4: 288). Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.
Imam
Syafi’i menerangkan bahwasanya kambing itu tidak memiliki sifat membangkang dan
tidak suka lari, bahkan ia lemah, memiliki sifat tenang, tidak mengganggu orang
yang salat dan tidak memutus salatnya. Ia adalah hewan yang penuh berkah, maka
salatlah di kandang-kandangnya. Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya salat di
tempat duduk unta, dan bolehnya salat di kandang kambing" (al-Azim Abadi, ‘Aun
al-Ma’bud, I/118-119).
Bila
seseorang dibolehkan salat di kandang kambing, padahal di kandang tersebut tak
lepas dari kotoran, dan kambing adalah salah satu hewan yang halal dimakan, maka
atas dasar ini para ulama khususnya kalangan Malikiyah dan Hanabilah men-generalisir
bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.
3.
HR.
al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201
كَانَ يُحِبُّ أَنْ
يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ
“Rasulullah senang salat di
mana pun saat waktu salat telah tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan salat
di kandang kambing.” (HR. al-Bukhari No. 428 dan Muslim No. 1201)
Berdasarkan
hadits tersebut, para ulama, khususnya di kalangan mazhab Maliki, Hanbali, dan
sebagaian Syafii, yang berpendapat bahwa kotoran hewan yang halal dimakan
adalah suci, mereka menjelaskan bahwa melaksanakan salat di kandang kambing
tentunya akan terkena kotoran kambing, maka menghukumi kotoran kambing sebagai
hal yang najis justru akan menganggap salat Rasulullah tidak sah karena terkena
najis. Begitu juga disamakan dengan hewan kambing, yaitu hewan-hewan lain yang
halal dimakan.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XL/92).
4.
Kaedah yang mesti
dipahami, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci”,
sebagaimana kata Imam Al- Syaukani:
أَنَّ الأَصْلَ فِي كُلِّ شَيْءٍ أَنَّهُ طَاهِرٌ
“Bahwasanya hukum asal segala
sesuatu adalah suci” (al-Syaukani, Al-Durari al- Mudhiyyah, I/20).
Lebih lanjut Imam Al-Syaukani menjelaskan:
لِأَنَّ القَوْلَ بِنَجَاسَتِهِ يَسْتَلْزِمُ
تَعَبُّدَ العِبَادِ بِحُكْمٍ مِنَ الأَحْكَامِ، وَالأَصْلُ عَدَمُ ذَلِكَ،
وَالبَرَاءَةُ قَاضِيَةٌ بِأَنَّهُ لَا تَكْلِيفَ بِالمُحْتَمَلِ حَتَّى يَثْبُتَ
ثُبُوتًا يُنْقِلُ عَنْ ذَلِكَ.
“Karena sesungguhnya jika
dikatakan bahwa sesuatu itu najis, maka hal ini berarti membebani hamba dengan
suatu hukum. Oleh karenanya, hukum asalnya, seseorang hamba terbebas dari beban
dan seorang hamba tidak dibebani kewajiban dengan sesuatu yang masih
kemungkinan (muhtamal) najis atau tidaknya sampai ada dalil yang
menyatakan dengan jelas bahwa itu najis” (al-Syaukani, Al-Durari al-
Mudhiyyah, I/20).
Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum kotoran hewan yang
halal dimakan. Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Hanafi dan
Syafii berpendapat bahwa kotoran dari semua hewan, baik yang halal dimakan maupun
tidak, hukumnya najis. Penilaian najis mencakup semua kotoran karena berasal
dari tempat keluarnya najis (dubur-kubul).
Sementara
ulama lain, khususnya kalangan mazhab Maliki dan Hambali, serta sebagian
mazhab Syafii berpendapat bahwa kotoran dari hewan yang halal dimakan
hukumnya suci. Sesuai kaidah bahwa asal sesuatu itu suci kecuali ada dalil yang
menajiskannya. Dalam hal ini (kotoran hewan yang halal) tidak ditemukan dalil
tegas yang menajiskannya. Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi Juni 2025)