KELELAWAR, KATAK,
DAN CORONA
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi
Dh, M.Fil I
لَا
تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ وَلَا تَقْتُلُوا
الْخُفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ: يَا رَبِّ سَلِّطْنِي عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى
أُغْرِقَهُمْ
“Janganlah
kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Dan janganlah kalian
membunuh kelelawar, karena sesungguhnya ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar
itu berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, kuasakan aku atas lautan sehingga aku
bisa menenggelamkan mereka”(HR. al-Bayhaqi).
Kelelawar dan Katak
Status Hadis
Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi al-Kubra No. 19166, dan bersumber
dari sahabat Nabi, Abdullah Bin Amr Bin al-Ash. Menurut al-Bayhaqi hadis
tersebut sanadnya sahih (Imam al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, X/318). Ibn
Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sungguhpun sanad hadis tersebut sahih,
Abdullah Bin Amr mengambil riwayat dari “israiliyyat” (al-Asqalani, Talkhish
al-Habir, IV/154; al-Syaukani, Nayl al-Awthar, VIII/200).
Israiliyyat adalah berita yang dinukil dari kalangan ahli Kitab, baik yang
beragama Yahudi ataupun Nasrani (Al-Jarami, Mu’jam Ulum al-Quran, I/45).
Tentang sumber berita israiliyyat ini,
Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya,
namun ucapkan: “Kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (Alquran)
dan kitab yang diturunkan kepada kalian.” (HR. al-Bukhari
No. 4485). Imam al-Nawawi menegaskan bahwa hadis tentang larangan membunuh
katak dan kelelawar tersebut sahih dan bersumber (mauquf) dari Abdullah
Bin Amr Bin al-Ash (al-Nawawi, al-Majmu’,
IX/19).
Kandungan
hadis
Hadis
riwayat al-Bayhaqi tersebut menjelaskan tentang larangan membunuh katak dan
kelelawar. Kedua hewan tersebut dianggap memiliki keistimewaan. Karena katak,
suaranya adalah tasbih, dan kelelawar pernah berdoa kepada Allah untuk dapat
menenggelamkan orang-orang yang membakar tempat suci Baitul Maqdis. Berangkat
dari hadis tersebut, ulama menkaji lebih jauh tentang bagaimana hukum
memakannya, dan bagaimana dampaknya bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Hukum
memakan kelelawar
Ulama
berbeda pendapat tentang hukum memakan kelelawar, baik kelelawar yang disebut
dengan istilah khuffasy atau watwat. Sebagian besar ulama mengharamkan
kelelawar untuk dikonsumsi. Ulama yang mengharamkannya adalah kalangan madzhab
Syafii (al-Syafi’iyah) dan madzhab Hanbali (al-Hanabilah). Kalangan madzhab
Hanafi (al-Hanafiyah) ada dua pendapat, antara yang membolehkan dan tidak
membolehkannya. Sementara kalangan madzhab Maliki (al-Malikiyah) cenderung pada
pendapat makruh, yakni antara tidak boleh dan tidak haram (Lajnah al-Fatwa, Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, XVII/793). Al-Bayhaqi mengatakan bahwa larangan membunuh
suatu hewan menunjukkan pula keharaman mengonsumsinya. Logikanya, jika hewan
tersebut halal maka diperintahkan untuk menyembelihnya, dan jika ada larangan
membunuhnya maka dilarang juga menyembelih dan mengonsumsinya (al-Bayhaqi, al-Sunan
al-Kubra No.19166, Vol. IX/318).
Di
antara ulama Syafiiyah yang dengan tegas mengharamkan kelelawar adalah Imam
al-Nawawi. Dalam kitab al-Majmu’, al-Nawawi mengatakan: “wa
al-khuffasy haram qath’an”, kelelawar itu hukumnya haram secara meyakinkan
(al-Nawawi, al-Majmu’, IX/22). Sedangkan di kalangan madzhab Hanbali
yang mengharamkan adalah Ibn Qudamah: "Dan diharamkan
memakan al-khuthaf, al-khussyaf, dan al-khuffash(الْخُطَّافُ وَالْخُشَّافُ وَالْخُفَّاشُ), yaitu
kelelawar. Hewan-hewan ini diharamkan karena menjijikkan"(Ibn Qudamah, al-Syarh
al-Kabir, XI/71 dan al-Mughni, XI/66). Adapun ulama mazhab Maliki, Ahmad bin Muhammad
al-Shawi, menyatakan: “wa al-makruh: al-watwat”, termasuk jenis
makanan yang makruh dimakan adalah al-watwat, yaitu kelelawar" (al-Shawi,
Hasyiyat al-Shawi Ala al-Shaghir, IV/150), dan Ibn Abidin, ulama kalangan Hanafiyah mengatakan
bahwa hukum memakan kelelawar itu ikhtilaf, (wa fi al-kuffasy
ikhtilaf) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkannya. (Ibn Abidin, Radd
al-Mukhtar, XXVI/188).
Hukum
memakan katak
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum
memakan katak. Sebagian ulama ada yang melarangnya, dan sebagian lagi ada yang
membolehkannya. Ulama yang membolehkan adalah Imam Malik bin Anas dan para
pengikutnya. Mereka beralasan kepada dalil umum surat al-Maidah ayat 96: “Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan
makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, ….(QS.
Al-Maidah, ayat 96); dan juga hadis Nabi: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda tentang
laut: "Airnya menyucikan dan halal bangkainya" (HR. Abu
Dawud No.83, al-Tirmidzi No. 69, al-Nasai No. 59, dll). Hadis ini sahih
(al-Albani, Irwa al-Ghalil, I/42). Menurut mereka, katak termasuk hewan
yang dagingnya boleh dikonsumsi karena termasuk dalam kategori hewan yang hidup
di laut.
Sedangkan ulama yang
melarangnya di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya. Mereka
melarang makan katak berdasarkan nash
hadis Rasulullahﷺ yang diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Usman: “Suatu ketika ada seorang tabib yang berada di dekat
Rasulullah menyebutkan tentang obat-obatan, di antaranya menyebutkan bahwa
katak digunakan untuk obat. Lalu Rasul melarang membunuh katak (فَنَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الضُّفْدَعِ).” (HR Ahmad: 15757). Hadis ini
menjadi dalil diharamkannya memakan katak. Hadis ini status kesahihannya
diperdebatkan. Di dalamnya terdapat perawi bernama Said bin Khalid. Al-Nasai
melemahkannya, sedangkan Ibn Hibban
mensiqqahkan atau menguatkannya, dan al-Daruqutni juga menyatakan dapat
dijadikan hujjah (al-Lajnah al-Daimah, Fatawa Islamiyah, III/542).
Menurut al-Albani, hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Jami
al-Shaghir, II/1170).
Wahbah al-Zuhayli menerangkan bahwa
berdasarkan hadis tentang larangan membunuh katak tersebut secara garis besar
terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Ulama yang cenderung membolehkan
adalah ulama Malikiyah. Alasannya, tidak ditemukan dalil nas yang melarangnya.
Melarang sesuatu dengan alasan jijik harus ada nas yang menegaskan tentang
larangannya. Sedangkan ulama yang melarang atau mengharamkannya adalah ulama
Hanafiyah, ulama Syafiiyah, dan ulama Hanabilah. Mereka ini, selain berdasarkan
kepada hadis tentang larangan membunuh katak juga beralasan karena hewan
tersebut menjijikkan. Mereka membangun kaidah: “jika suatu hewan halal dimakan,
maka tentu juga tidak dilarang membunuhnya (Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami Wa Adillatuhu, IV/332).
Al-Mundziri
mengatakan: “alasan yang menjadikan syariat melarang pembunuhan seekor hewan
biasanya berdasarkan salah satu dari dua faktor. Bisa jadi karena makhluk hidup
itu dihormati seperti manusia atau memang karena murni mengarah karena hewan
tersebut haram dimakan. Dengan demikian, apabila katak tidak termasuk kategori
hewan dihormati, apabila Rasul melarang membunuhnya berarti hal itu mengarah
pada keharaman memakan hewan tersebut (Ali Al-Qari, Mirqat al-Mafatih
Syarh Misykat al-Mashabih, XII/352).
Virus
Corona diduga akibat memakan kelelawar dan katak
Pada awal tulisan ini disebutkan
sebuah hadis: “Janganlah
kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih. Dan janganlah kalian
membunuh kelelawar, karena sesungguhnya ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar
itu berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, kuasakan aku atas lautan sehingga aku
bisa menenggelamkan mereka” (HR. al-Bayhaqi).
Hadis tersebut menjelaskan adanya
larangan membunuh katak dan kelelawar. Larangan membunuh ini kemudian difahami
juga sebagai larangan untuk memakan kedua hewan tersebut, karena jika
memakannya berarti juga membunuhnya.
Adanya larangan membunuh dan juga memakan terhadap kelelawar dan katak tersebut
tentu ada maksud di balik itu. Sebagian ulama memandang bahwa kedua hewan
tersebut menjijikkan dan tidak layak dikonsumsi. Bisa jadi larangan mengonsumsi
kedua hewan tersebut karena membahayakan bagi kesehatan manusia yang
mengonsumsinya.
Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya al-Fath al-Bari mengatakan: (وَذَكَرَ
الْأَطِبَّاءُ أَنَّ الضِّفْدَعَ نَوْعَانِ بَرِّيٌّ وَبَحْرِيٌّ فَالْبَرِّيُّ
يَقْتُلُ آكِلَهُ وَالْبَحْرِيُّ يَضُرُّهُ), artinya:
“Para pakar kesehatan mengatakan bahwa sesungguhnya katak ada dua jenis,
daratan dan lautan. Yang daratan bisa membunuh, sedangkan yang spesies air bisa
membahayakan kesehatan (Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih
al-Bukhari, IX/619).
Virus Corona
Sejak akhir Desember 2019 lalu, tersiar
berita munculnya virus corona. Virus ini sangat mematikan, dalam waktu kurang
dari tiga bulan telah membunuh ribuan orang(https://www.kompas.com/). Virus ini telah menyebar mulai dari China,
Korea, Jepang, dan lebih dari 50 negara. Sementara
para pejabat kesehatan dan peneliti berjuang untuk menentukan asal-usul virus,
para ilmuwan dari Chinese Academy of Sciences mengatakan bahwa genom virus Corona 96 persen adalah identik
dengan hewan kelelawar (https://dunia.tempo.co/).
Para ilmuwan China mengklaim
bahwa virus corona yang dimulai dari Wuhan, China
disebarkan oleh kelelawar. Hal ini disebabkan karena virus ini hanya ditemukan
pada kelelawar buah. Analisis terbaru para ilmuwan China menunjukkan virus ini
ditularkan dari kelelawar ke ular kemudian ke manusia. Sup kelelawar dilaporkan
sebagai hidangan yang tak biasa namun populer di Wuhan, lokasi epidemi virus
corona (https://www.cnnindonesia.com/).
Apakah virus corona itu akibat dari kelakukan
manusia yang menyantap kuliner ekstrem, itu bisa saja terjadi, karena santapan
berupa hewan-hewan yang tidak lazim seperti ular, biawak, dan juga termasuk
seperti kelelawar dan katak dijual di sana bahkan dikonsumsi setiap
hari. Berdasarkan berita yang beredar, virus ini bersumber dari hewan liar yang
diperjualbelikan di sana. Sebagian orang berpendapat bahwa virus ini bersumber
dari orang-orang di Wuhan yang gemar mengonsumsi sup kelelawar dan katak
(https://sharianews.com/).
Dengan demikian, jelaslah bahwa
mengonsumsi hewan yang dilarang agama, bisa memberikan dampak yang buruk bagi
umat manusia. Karenanya kita harus selalu berhati-hati. Wabah virus corona
bisa menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak sembarangan mengonsumsi hewan-hewan
tertentu seperti kelelawar dan katak. Wabah virus corona yang tengah
menghebohkan masyarakat dunia saat ini, bisa diduga dampak dari masyarakat di
sana yang suka memperjualbelikan dan mengonsumsi daging hewan yang dilarang
dalam Islam. Wallahu A’lam!