HUKUM SHALAT HAJAT
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Shalat hajat adalah shalat yang dilakukan karena ada hajat (keperluan),
baik keperluan untuk kepentingan duniawi, seperti ingin usahanya lancar, ingin segera
dapat jodoh dan lain-lain; maupun keperluan yang sifatnya rohani, seperti ingin
mendapatkan ketenangan hati, kedamaian dalam keluarga, semakin dekat kepada
Allah Swt., dan lain-lain.
Tentang hukum shalat hajat, ulama
berselisih pendapat. Sebagian ulama memandang bahwa shalat hajat itu tidak
disyariatkan karena tidak ditemukan dalil yang shahih; sedangkan
ulama yang lain berpendapat bahwa shalat hajat itu disyariatkan karena
ada (menemukan) dalil yang shahih.
Ulama yang berpendapat bahwa shalat
hajat itu tidak disyariatkan beralasan bahwa hadis-hadis tentang shalat hajat
itu dha’if. Di antara hadis tentang shalat hajat adalah hadis riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah serta yang lainnya dari
Abdullah bin Abi Aufa’ bahwa Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa mempunyai suatu
keperluan kepada Allah atau kepada seseorang dari anak Adam hendaklah dia
berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian melaksanakan shalat dua rakaat
kemudian memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, selanjutnya berdoa:
لا إِله إِلا الله الحليمُ
الكريمُ ، سبحان الله ربِّ العرشِ العظيم : الحمدُ لله رب العالمين، أسألكَ
موجباتِ رحمتكَ ، وعزائمَ مغفرتك، والغنيمةَ من كلِّ بِرّ ، والسلامةَ من كل إِثم
، لا تدعْ لي ذنبا إِلا غفرتَهُ ، ولا همّا إِلا فَرَّجْتَه ، ولا حاجة هي لكَ رِضى إِلا قضيتَها يا أرحم الراحمين
“Tidak ada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Al-Halim Al-Karim, Maha Suci Allah
Pemilik Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, aku
memohon kepadaMu apa-apa yang mendatangkan rahmatMu, dan ampunanMu, dan aku
memohon kepadaMu untuk mendapatkan setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap
dosa, janganlah Engkau tinggalkan bagiku dosa kecuali telah Engkau ampuni, dan
jangan Engkau tinggalkan bagiku rasa gelisah kecuali Engkau beri jalan keluar,
dan jangan Engkau tinggalkan bagiku keperluanku yang engkau ridhai kecuali
Engkau tunaikan untukku, wahai Yang Maha Penyayang.”
Hadis tersebut dinilai
oleh ulama ini sebagai hadis yang dha’if. Al-Albani menilai hadis
tersebut lemah sekali, karena terdapat perawai benama Faid bin Abdurrahman.
Orang ini dinilai matruk (hadisnya ditinggalkan, diabaikan, tidak
dijadikan hujjah).
Adapun ulama yang mengatakan bahwa shalat hajat itu disyariatkan, mereka
berpedoman kepada hadis shahih riwayat Ahmad, IV/138; al-Tirmidzi,
V/569; Ibnu Majah, I/ 441; dan al-Hakim, I/458; (al-Suyuthi, Jami’
al-Ahadis, VI/189) sebagai berikut:
“Dari Usman bin Hunaif,
bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi Saw seraya
berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi Saw bersabda,
“Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau
bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi
Saw memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu
berdoa dengan doa ini:
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ
اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيّ
“Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi
rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi
hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.”
Dia (Usman bin Hunaif) berkata, “Lelaki itu
kemudian mengerjakan (saran Nabi), setelah itu ia mendapatkan kesembuhan”.
Al-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan
shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadis ini shahih.” Al-Hakim
berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Al-Dzahabi. Syekh
Al-Albani juga menilai bahwa hadis ini shahih (Shahih Wa Dla’if Jami’
al-Shaghir, VI/106 dan al-Tawassul, I/69-70).
Hadis
tersebut menjelaskan disyariatkannya shalat hajat. Imam Ibnu Majah
memuat atau mencatat hadis tersebut pada “Bab ma ja-a fi shalat al-hajah”(
bab penjelasan tentang shalat hajat) dalam Sunan Ibn Majah, I/440. Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, I/184
memuat hadis tersebut pada “bab adzkar shalat al-hajah” (bab tentang
dzikir-dzikir shalat hajat).
Berdasarkan
hadis tersebut, shalat hajat itu disyariatkan. Adapun caranya terlebih dulu
melakukan wudhu secara sempurna, kemudian melakukan shalat hajat sebanyak dua
rakaat, lalu bedoa sesuai dengan doa yang diajarkan Nabi tersebut. Sedangkan
waktunya tidak ditentukan, yakni boleh kapan saja selama tidak pada waktu yang
terlarang (misalnya setelah shalat ashar dan setelah shalat shubuh). Wallahu
a’lam !