Senin, 01 Oktober 2018

PEMIMPIN IDEAL


MEMILIH PEMIMPIN IDEAL

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
 عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Abu Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya (HR. Muslim No. 4823)
Status Hadis
            Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut shahih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/254). Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Atsar No. 57, Ibn Abi Syaibah dalam Sunan Ibn Abi Syaibah No. 32540, al-Baihaqi dalam Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar No. 6023, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7019.

Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan, oleh Rasulullah Saw diberitahu bahwa pada diri Abu Dzar itu ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup mengemban suatu jabatan. Diingatkan oleh Rasul bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Untuk menjadi seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria yang harus dimilikinya:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ  
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Maidah, 55).
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu seorang pemimpin harus kuat, dan memiliki kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari urusan dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat.  Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara  dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.
Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin.
Pertama, harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ آمَنُوا), mukmin dan muslim yang baik, yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim” (إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ).
“Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang  yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya pemimpin yang khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir bin Abdillah berkata:
الأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ الْفَقْرَ
Sifat amanah itu akan membawa keberkahan, sedangkan sifat khianat itu akan mendorong kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir, III/183
Adapun “’Alim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang lebih sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah memiliki sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai problem yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang muncul.
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55,  haruslah rajin menegakkan shalat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ). Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. Shalat dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kedisiplinan. Shalat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatan bimbingan berupa ilham. Allah menyatakan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kepada-Ku, pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan mengingkari nikmat-Ku (QS. Al-Baqarah, 152)
Ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55, adalah gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ). Zakat itu bukan membersihkan harta yang  kotor, melainkan membersihkan harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak dengan penuh kesadaran, tidak mungkin akan korupsi. Sebab terhadap harta yang dimilinya saja mau dibersihkan, buat apa korupsi yang  malah akan mengotori hartanya. Allah mengingatkan:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 
Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu menyuap dengan  harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188)
Keempat,  syarat pemimpin yang keempat menurut al-Maidah ayat 55,  adalah suka berjamaah (وَهُمْ رَاكِعُونَ). Artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini, ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu,  bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir shalat berjamaah, maka ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.
Shalat berjamaah juga mengandaung pelajaran sikap yang demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam) harus siap dikoreksi kalau salah. Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi jamaah (makmum) atau masyarakat yang dipimpinnya. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga masarkat yang dipimpinnya merasa diperhatikan dan dilayaninya.
Kita bisa membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini bila pemimpin yang kita pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1) beriman kepada Allah dengan memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan kapabel sebagai seorang pemimpin; (2) suka menegakkan shalat, sehingga dalam menjalankan tugasnya senantiasa dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat, sehingga tidak ingin korupsi dan manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS. Al-Baqarah, 56).

BERGESER TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH


PINDAH TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ قَالَ عَن عَبْدِ الْوَارِثِ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَن يَمِينِهِ أَوْ عَن شِمَالِهِ زَادَ فِي حَدِيثِ حَمَّادٍ فِي الصَّلَاةِ يَعْنِي           فِي السُّبْحَةِ[1]
 Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apakah kalian kesulitan - Musaddad berkata dari Abdul Warits- untuk maju atau mundur, geser ke kanan atau ke kiri ketika shalat”. Dalam hadis riwayat Hammad di tambahkan- dalam shalat yaitu shalat sunnah"(HR. Abu Dawud No. 1006)
Status Hadis
            Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya hadis nomor 1006. Selain Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzar  dalam Musnadnya hadis No. 9819; Ibn Majah dalam Sunannya hadis No. 1427; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya hadis No. 9492; dan Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya hadis No. 16; Menurut al-Albani, hadis tersebut shahih.[2]
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa setelah shalat wajib yang lima waktu, khususnya pada shalat-shalat yang dianjurkan shalat sunnah setelahnya (sunnah bakdiyah), seperti pada shalat dhuhur atau jumat, shalat maghrib dan shalat isya, maka jika hendak melakukan shalat sunnah bakdiyah dianjurkan untuk pindah tempat dari tempat shalat wajib yang dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, boleh bergeser tempat ke sebelah kanan atau sebelah kiri, ke depan atau ke belakang.
            Tentang pindah tempat untuk shalat sunnah bakdiyah setelah shalat wajib  ini ada tiga tingkatan. Pertama, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) langsung pergi pulang dan shalat sunnah bakdiyah di rumah. Kedua, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa)lalu bergeser tempat ke sebelah kanan atau ke kiri, ke depan atau belakang kemudian di situ shalat sunnah bakdiyah. Ketiga, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) maka ia shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib.
            Melakukan shalat Sunnah di rumah adalah lebih utama dan sangat dianjurkan oleh Nabi Saw. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, Zaid bin Tsabit menceritakan bahwasanya Nabi Saw bersabda:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَة[3]
“Maka shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang yang dilakukan di rumahnya sendiri, kecuali shalat wajib” (HR. al-Bukhari No. 731).
            Menurut Imam al-Nawawi, dianjurkannya shalat sunnah di rumah itu karena lebih dapat merahasiakan dan lebih dapat terjaga dari sikap riya serta hal-hal yang merusak ibadah. Selain itu dengan shalat sunnah di rumah diharapkan menjadi sebab turunnya barakah dan rahmat, serta bisa mengundang datangnya Malaikat ke dalam rumah dan mengusir setan.[4]
Bila tidak langsung pulang, maka shalat sunnah bakdiyah dapat dilakukan tetap di dalam masjid dengan cara pindah tempat dari tempat ia shalat wajib sebelumnya. Caranya bisa dengan bergeser ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini, selain berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud No.1006 di atas juga dikuatkan dengan keterangan sahabat, dari Atha’ bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Abu said, dan Ibnu Umar ra. mengatakan:
لَا يَتَطَوَّعُ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْفَرِيضَةَ[5]
“Hendaknya tidak melakukan shalat sunnah, sampai berpindah dari tempat yang digunakan untuk shalat wajib”.

Al-Nawawi, dalam kitabnya al-Majmu’  mengatakan:
 فإن لم يرجع إلى بيته وأراد التنفل في المسجد يستحب أن ينتقل عن موضعه قليلاً لتكثير مواضع سجوده ، هكذا علله البغوي وغيره[6]
“Jika seseorang tidak langsung pulang ke rumahnya setelah shalat wajib, dan ingin shalat sunnah di masjid maka dianjurkan untuk bergeser sedikit dari tempat shalatnya, agar dapat memperbanyak tempat sujudnya. Demikian alasan yang disampaikan Al-Baghawi dan yang lainnya” (al-Majmu’, III/455).
             Al-Baghawi dan ulama lain memahami bahwa di antara hikmah berpindah tempat (untuk shalat Sunnah) dari tempat shalat wajib sebelumnya itu adalah dimaksudkan agar dapat memperbanyak tempat sujud dan memperbanyak tempat ibadah. Karena tempat yang digunakan untuk sujud itu kelak akan menjadi saksi bagi orang yang bersujud di tempat tersebut. Dalam QS. al-Zalzalah (99) ayat 4 Allah Swt berfirman yang artinya:  “bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat kepadanya”. Ayat ini menunjukkan bahwa bumi akan menjadi saksi untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia, perbuatan yang baik maupun yang buruk. Makna ini diisyaratkan oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar. Berikut ini pernyataan Imam Al-Syaukani:
وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ تَكْثِيرُ مَوَاضِعِ الْعِبَادَةِ كَمَا قَالَ الْبُخَارِيُّ وَالْبَغَوِيُّ لِأَنَّ مَوَاضِعَ السُّجُودِ تَشْهَدُ لَهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } أَيْ تُخْبِرُ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا[7]
“Illat di balik (anjuran untuk bergeser sedikit, pen) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS. Al-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya” (Al-Syaukani, Nailul Authar, III/241).
Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini sejalan dengan peristiwa yang dialami oleh Nafi bin Jubair, saat beliau shalat jumat bersama Muawiyah bin Abi Sufyan ra. Saat itu setelah salam, Nafi bin Jubair langsung melaksanakan shalat sunnah. Begitu selesai shalat, Muawiyah mengingatkan:
 لاَ تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ.[8]
“Jangan kau ulangi perbuatan tadi. Apabila kamu selesai shalat Jumat, jangan disambung dengan shalat yang lainnya, hingga engkau berbicara atau keluar masjid. Karena Nabi Saw memerintahkan hal itu. (Nabi Saw bersabda):“Janganlah engkau sambung shalat wajib dengan shalat sunnah, sampai engkau berbicara atau keluar.” (HR. Abu Daud No.1129).
Apabila tidak pulang ke rumah, dan tidak bisa (enggan) bergeser dari tempat shalat wajib yang telah dilakukan, maka ia boleh shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib dengan cara diselingi pembicaraan setelah salam dari shalat wajib sebelum shalat sunnah.

Imam al-Nawawi mengatakan:
فَإِنْ لم يَنْتَقِلْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَ الْفَرِيضَة وَالنَّافِلَة بِكَلَامِ إِنْسَانٍ[9]
“Namun jika ia enggan berpindah atau bergeser ke tempat lain, maka sebaiknya ia memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan cara berbicara dengan orang lain,” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Vol. III/455).

Termasuk cakupan makna “berbicara” dalam hadis riwayat Abu Dawud No. 1129 tersebut adalah berdzikir setelah salam, seperti membaca istighfar tiga kali, kemudian membaca Allaahumma antassalaam wa minkassalaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam, dan dzikir-dzkir lainnya yang biasa dibaca setelah selesai shalat.  Dengan adanya ucapan atau bacaaan tadi bisa menjadi pemisah yang jelas antara shalat wajib dengan shalat sunnah, sehingga tidak dikira shalat sunnahnya menjadi bagian dari shalat wajib.[10]
Wallahu A’lam!


[1] HR. Abu Dawud No. 1006
[2] M. Nashiruddin al-Albani, al-Jami’ al-Shahih, Vol.I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1988), 519.

[3] HR. al-Bukhari No. 731.
[4] Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala  Muslim, III/129 hadis No. 1296).
وَإِنَّمَا حَثَّ عَلَى النَّافِلَة فِي الْبَيْت لِكَوْنِهِ أَخْفَى وَأَبْعَدَ مِنْ الرِّيَاء، وَأَصْوَنُ مِنْ الْمُحْبِطَات، وَلِيَتَبَرَّك الْبَيْت بِذَلِكَ وَتَنْزِل فِيهِ الرَّحْمَة وَالْمَلَائِكَة وَيَنْفِر مِنْهُ الشَّيْطَان
[5] Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf Fi al-Ahadits Wa al-Atsar, II(Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), 23.
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III(Bayrut: Dar al-Fikr, 1997), 455.
[7]Al-Syaukani, Nailul Awthar, Vol. III(T.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), 241.
[8]Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), 438.
[9] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III/ 455.
[10] Abdullah Aziz bin Abdullan bin Baz, Majmu’ Fatawa Bin Baz, XII/335
والتكلم يكون بما شرع الله من الأذكار كقوله : أستغفر الله. أستغفر الله. أستغفر الله. اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام، حين يسلم، وما شرع الله بعد ذلك من أنواع الذكر، وبهذا يتضح انفصاله عن الصلاة بالكلية حتى لا يظن أن هذه الصلاة جزء من هذه الصلاة .