UTANG PUASA:
Penyebab, Cara Qada, dan Fidyahnya
Oleh
Dari Abu Salamah
ra, ia mendengar Aisyah ra berkata:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ
فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Aku dahulu punya
kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada
bulan Syakban karena kesibukan dengan Rasulullah Saw. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Status Hadis
Hadis tersebut
dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari No. 1950 dan
Imam Muslim dalam Sahih Muslim No. 2743. Selain diriwayatkan oleh dua
Imam tersebut, juga diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam Sunan
al-Tirmidzi No. 783, Imam Ahmad dalam al-Musnad No. 24928, Imam Ibn
Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah No. 9726, Imam Abd al-Razzaq
dalam Mushannaf Abd al-Razzaq No. 7677, Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Shaghir No. 567, Imam Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah
No. 2049, dan Imam Ishaq Bin Rahawaih dalam Musnad Ishaq Bin Rahawaih
No. 1608.
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menerangkan tentang utang puasa dan
waktu mengqadanya (membayar utang kewajiban ibadah puasa). Dalam hadis tersebut
Aisyah menceritakan bahwa dirinya pernah
mempunyai utang kewajiban berpuasa. Ia tidak bisa membayar utang puasanya
tersebut kecuali pada bulan Syakban karena kesibukannya dengan Rasulullah Saw. Pembahasan
lebih lanjut mengenai utang puasa ini, akan dibahas tentang apa saja yang
menyebabkan orang berutang puasa, bagaimana cara mengqadanya, dan bagaimana
cara membayar fidyahnya.
Sebab-Sebab Berutang
Puasa
Orang
terkena utang puasa karena pada saat bulan Ramadhan ia tidak melaksanakan
ibadah puasa dengan beberapa sebab. Di antara sebabnya adalah karena ia sakit, karena
dalam perjalanan atau bepergian, karena hamil, karena menyusui, atau karena
memang sudah tidak kuat berpuasa. Mereka itu diperbolehkan tidak berpuasa pada
bulan Ramadhan karena kondisinya yang tidak sanggup berpuasa, sebagai gantinya
mereka diwajibkan mengqada pada hari lain di luar Ramadhan jika nanti sudah
bisa berpuasa, dan
cukup membayar fidyah bagi yang akan tetap mengalami kesulitan atau keberatan berpuasa.
Selain itu ada sebab seseorang tidak berpuasa Ramadhan karena memang tidak
boleh berpuasa, yaitu saat seseorang sedang mengalami haid dan nifas.
Beberapa
dalil tentang orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa Ramadhan di antaranya,
Alquran surat Albaqarah ayat 185, Allah swt. berfirman:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa di antara
kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi
orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui (QS. Albaqarah, 184).
Imam Al-Nawawi berkata: “Kaum muslimin sepakat bahwa wanita haid dan
nifas tidak wajib shalat dan puasa dalam masa haid dan nifasnya” (al-Nawawi, Al-Minhaj
Syarhu Shahih Muslim, IV/26). Abu Sa’id Al-Khudri menerangkan bahwa
Rasulullah Saw. bersabda kepada para wanita yang mempertanyakan tentang maksud
kurangnya agama mereka. Nabi saw. bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ
وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para
wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan
agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304).
Cara Mengqada Puasa
Pertama, mengqada puasa Ramadhan sebaiknya
disegerakan setelah Idul Fitri. Allah swt. berfirman:
أُولَئِكَ
يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk
mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
(QS. Al-Mu’minun: 61).
Kedua, mengqada puasa dianjurkan paling lambat atau
paling akhir pada bulan Syakban, sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Dari
Abu Salamah ra, ia mendengar Aisyah ra berkata:
كَانَ
يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ
إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ
بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku
tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban karena
kesibukan dengan Rasulullah Saw. (HR. al-Bukhari No.
1950 dan Muslim No. 2743).
Ketiga, apabila mengqada puasa melampaui Ramadhan
berikutnya, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat, bagi orang yang
tidak bisa mengqada puasa kecuali setelah lewat Ramadhan berikutnya, maka ia
harus memberi makan kepada orang miskin (fidyah), kecuali bila tertundanya itu
dikarenakan sakit, safar, atau sebab lain yang menyebabkan ia tidak bisa
berpuasa, maka ia hanya wajib qada saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Abbas
ra dan Syekh Bin Baz (Bin Baz, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
menganggap bahwa memberi makan kepada orang miskin karena menunda qada puasa
sampai Ramadhan berikutnya dapat diangggap sunnah dan tidak wajib. Dengan
alasan bahwa pendapat tersebut hanyalah perkataan sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa hanya cukup
diganti (diqada) dan tidak ada tambahan selain itu (al-Utsaimin, Syarh
al-Mumti’, VI, 446-447).
Tim Tarjih PPM berpendapat, waktu
untuk mengqada (membayar puasa) adalah pada hari-hari lain di luar bulan
Ramadhan, dan berdasarkan keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir waktu
kapan harus mengganti puasa (qada). Namun
demikian baik sekali jika mengganti puasa dilaksanakan sebelum Ramadhan
berikutnya. Jika ia tidak bisa mengqadanya sebelum Ramadhan berikutnya karena ada hal yang membuat
terhalang, maka tetap harus diganti setelah Ramadhan berikutnya. Selain itu, orang
yang telah lalai tersebut agar beristigfar, memohon ampun dan bertaubat
untuk tidak mengulangi kelalaiannya dan tetap wajib membayar utang puasanya
setelah Ramadhan berikutnya (Fatwa Tarjih, 2 Nopember 2010).
Keempat, apabila ia lupa atau ragu berapa hari utang puasanya, maka ia harus
memilih yang lebih meyakinkan. Misalnya ia lupa apakah ia berutang puasa tujuh
hari atau sepuluh hari. Dalam hal ini yang harus ia pilih adalah yang 10 hari karena
demikian itu yang lebih meyakinkan. Pedoman ini berdasarkan sabda Nabi Saw. terkait orang
yang lupa bilangan rakaat ketika shalat:
إِذَا شَكَّ
أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا
فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
“Apabila seseorang di antara kalian ragu dalam shalat, sehingga ia tidak tahu
berapa rakaat ia shalat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia
buang keraguannya dan dia ambil yang lebih meyakinkan….” (HR. Muslim
No.1300).
Kelima, apabila belum sempat mengqada utang
puasanya lalu ia meninggal, maka tergantung penyebab tertundanya mengqada. Imam
al-Nawawi berkata: “Barangsiapa masih
memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal
dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur
lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka
ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada
kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur
sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki
kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia,
maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu
hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud” (al-Nawawi, Al-Majmu’, VI/367).
Tim Tarjih PPM berpendapat, berdasarkan
beberapa hadis sahih, di antaranya hadis (مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ
وَلِيُّهُ), Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa
meninggal dunia padahal ia berutang puasa, maka walinyalah yang berpuasa
untuknya” (HR. al-Bukhari No. 1952,
Muslim No.2748). Kemudian hadis dari Ibnu Abbas ra. bahwa
seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw. lalu berkata: Ya Rasulullah,
sungguh ibu saya telah meninggal, padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan.
Lalu Nabi bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah kamu
akan membayarnya? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Nabi bersabda: Utang kepada
Allah lebih berhak untuk dilaksanakan(فَدَيْنُ
اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ)”(HR.
Muslim No. 2749), dan beberapa hadis lainnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa apabila
seseorang berkewajiban puasa, kemudian ia meninggal dan belum sempat
melaksanakannya, maka walinya dapat menggantikan puasanya itu. Yang
dimaksud wali di sini bisa orangtuanya, anaknya, atau kerabatnya yang lain
seperti saudara atau pamannya (SM, Tanya Jawab Agama, V/82).
Keenam, mengqada utang puasa boleh dilakukan
dengan cara terpisah-pisah, tidak harus berturut-turut. Misalnya punya utang
puasa 7 hari, bisa dilakukan pada pekan pertama puasa 2 hari, pekan kedua puasa
3 hari, dan pekan ketiga puasa 2 hari. Ibn Abbas
berpendapat bahwa tidak mengapa mengqada puasanya dengan cara terpisah, sesuai
dengan firman Allah Surat Albaqarah ayat 184: فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ, maka hendaknya mengganti puasanya sesuai
jumlah hari puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain (al-Asqalani, Fath
al-Bari, VI/208).
Cara Membayar Fidyah
Di
atas telah dijelaskan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa dan
bagaimana cara mengqadanya. Mereka yang boleh tidak berpuasa dan harus
mengqadanya pada hari yang lain adalah orang yang sedang sakit dan karena
bepergian. Sedangkan lainnya yang boleh tidak berpuasa dan cukup menggantinya
dengan membayar fidyah tanpa mengqada puasa adalah orang-orang yang sudah tidak
kuat puasa. Dalam Alquran
disebutkan: وَعَلَى الَّذِيْنَ
يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ, Artinya: “… Dan wajib orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin…” (QS. Albaqarah, 184).
Yang
dimaksud dengan orang-orang yang keberatan menjalankan puasa adalah orang-orang
yang sudah sangat tua yang
tidak sanggup berpuasa karena lemahnya (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir,
I/268). Mereka ini boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadanya, tetapi
harus membayuar fidyah. Termasuk dalam ketegori orang yang tidak kuat berpuasa
adalah orang yang sedang hamil dan sedang menyusui. Ibn Abbas berkata kepada jariyahnya yang
hamil:
أَنْتِ
بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لَا يُطِيقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْكِ
Engkau termasuk orang yang keberatan
berpuasa, maka engkau hanya wajib membayar fidyah, dan tidak perlu mengqada
puasa (al-Syaukani, Nail al-Authar, IV/314, al-Mubarakfuri, Tuhfat
al-Ahwadzi, III/331). Pandangan Ibn Abbas ra. ini relevan dengan sabda Nabi
saw yang diriwayatkan Anas bin Malik ra. sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلاَةِ،
وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda: “Sungguh Allah Yang Maha Tinggi telah membebaskan puasa dan separuh
shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang yang hamil
dan menyusui” (HR. al-Tirmidzi No. 715, al-Nasai No. 2275, Ibn Majah No. 1667,
dll). Muhammad Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini hasan sahih (al-Albani, Sahih
Wa Daif Sunan Ibn Majah, IV/167).
Ulama, dalam hal ini berbeda pendapat tentang
wanita hamil dan menyusui. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui bila tidak berpuasa maka ia wajib mengqada pada hari lain, dan tidak
wajib fidyah. Ulama Syafiiyah dan
Hanabilah berpendapat apabila yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wanita
hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengqada puasanya. Sedangkan ulama
Malikiyah berpendapat hanya wanita menyusui yang harus membayar fidyah dan
mengqada puasanya, tidak bagi wanita hamil (Wahbah al-Zuhaili, Tafsir
al-Munir, I/140).
Tim Tarjih PPM berpendapat bahwa orang yang
tidak sanggup berpuasa kecuali dengan sangat berat, seperti orang yang sudah
sangat tua, orang yang sakit tidak ada harapan sembuh, wanita yang sedang hamil
dan menyusui, maka Islam memberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan
menggantinya dengan memberikan makan kepada fakir miskin. Hal ini sesuai dengan
isyarat QS. Albaqarah, 184. Lebih dari itu, banyak ulama yang berpendapat bahwa
para pekerja berat yang “tidak memungkinkan berpuasa”, maka mereka ini bisa dimasukkan
ke dalam isyarat ayat tersebut. Boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar
fidyah (SM, Tanya Jawan Agama, V/78).
Adapun cara membayar fidyah, maka boleh
dibayar sekaligus, boleh diangsur beberapa kali, bahkan boleh pula dibayar
setelah lewat bulan Ramadhan berikutnya. Allah berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…(QS. Al-pBaqarah, 185).
Tentang banyaknya fidyah yang
harus diberikan kepada orang miskin, tidak ada nas khusus yang menyatakannya. Masalah
ini merupakan domain ijtihad, di antaranya bisa dengan mengukur kebiasaan
sehari-harinya yang ia makan. Misalnya, bila ia makan sehari tiga kali dengan
nilai 50 ribu rupiah, maka fidyah yang dikeluarkan kepada seorang miskin setiap
harinya adalah 50 ribu rupiah. Namun bilamana ia mengeluarkan fidyah lebih dari
kebiasaan sehari-harinya, itu lebih baik. Allah berfirman: “Barangsiapa yang
dengan rela hati mengerjakan kebaikan, maka hal itu akan lebih baik
baginya…”(QS. Albaqarah, 184).
Selanajutnya, fidyah bisa
diberikan kepada satu orang miskin selama satu bulan atau diberikan kepada 30
orang miskin sekaligus dengan bahan makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari.
Untuk kemudahan, boleh juga dibayarkan dengan uang yang senilai dengan harga
makanan (Muammal Hamidi, Islam Dalam Kehidupan Sehari-hari, II/82).
Wallahu A’lam!