VAKSINASI BAGIAN DARI TAKDIR
Alhamdulillah, Senin 29 Maret 2021 lalu, saya bersama beberapa teman
dari PWM Jawa Timur telah mendapatkan kesempatan untuk vaksinasi CoronaVac tahap
kedua. Vaksinansi ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiar merawat kesehatan dan
bagian dari menjalani takdir untuk dapat menghindari virus atau penyakit yang
bisa menyerang kapan saja dan kepada siapa saja.
Dalam pandangan 'Ibn
al-Qayyim, berobat untuk mendapatkan kesembuhan dari suatu penyakit adalah
merupakan perintah Nabi Saw. Hal ini berdasarkan pada sejumlah hadis berikut
ini:
1. Muslim
dalam Sahih-nya meriwayatkan hadis:
عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ «
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ »
Dari Jabir bin ‘Abdillah
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila
obatnya cocok dengan penyakitnya maka akan mendapatkan kesembuhan dengan izin
Allah ‘Azza Wa Jalla.
2. Dalam
Kitab Sahih al-Bukhari dan Sunan 'Ibn Majah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
»
Dari
'Abu Hurayrah ra, Nabi Saw bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu penyakit
kecuali menurunkan pula obat untuk penyembuhannya”.
3. Dalam
Musnad al-'Imam 'Ahmad:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ أَتَيْتُ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَصْحَابُهُ عِنْدَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمُ
الطَّيْرُ - قَالَ - فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَقَعَدْتُ - قَالَ - فَجَاءَتِ الأَعْرَابُ
فَسَأَلُوهُ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَتَدَاوَى قَالَ « نَعَمْ تَدَاوَوْا فَإِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
»
Dari Usamah b. Sharik, ia berkata:
“Aku mendatangi Nabi Saw, saat itu para sahabat berada di sisi beliau
seakan-akan burung di atas kepala mereka”. Ia (Usamah) berkata: “Kemudian aku
menyampaikan salam kepada beliau lalu duduk. Setelah itu datanglah orang-orang
Badui lalu bertanya kepada beliau: Ya Rasulallah! Apakah kami harus berobat?
Nabi Saw menjawab: Ya! Berobatlah kalian! Karena sesungguhnya Allah tidak
meletakkan suatu penyakit kecuali meletakkan juga obatnya, kecuali satu
penyakit yaitu ketuaan”.
4. Dalam
hadis lain riwayat 'Ahmad dari ‘Abdullah b. Mas’ud ra, disebutkan:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ دَاءً، إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ
مَنْ جَهِلَهُ.
Rasulullah Saw
bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan juga obat
penyembuhnya. Orang yang berilmu mengetahuinya dan yang tidak berilmu tidak
megetahuinya”.
5. Dalam
hadis riwayat al-Tirmidhi disebutkan:
عَنْ أَبِى خُزَامَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رُقًى
نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ
قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ « هِىَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ »
Dari
'Abu Khuzamah dari bapaknya, katanya: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw:
“Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang ruqyah yang kami lakukan, pengobatan yang kami lakukan dan
penangkal yang kami terapkan? Apakah yang demikian ini menolak takdir Allah?
Nabi Saw menjawab: “Itu semua termasuk takdir Allah!”.
Berdasarkan beberapa hadis tersebut di atas, 'Ibn al-Qayyim
berpendapat bahwa berobat itu diperintahkan. Berobat tidak menafikan
tawakkal. Hal ini sama halnya dengan orang yang lapar atau haus lalu
berusaha menghilangkannya dengan makan dan minum. Yang demikian ini tidak
menafikan tawakkal. Menurut 'Ibn al-Qayyim, jika tidak memenuhi tuntutan
musababnya, seperti tidak mau berobat dan tidak mau makan dan minum padahal
sangat membutuhkannya, hal itu malah menunjukkan ketidak-sempurnaan
tauhidnya, karena dianggap tidak memenuhi perintah Allah. Menghentikan
usaha berobat, sama halnya dengan menafikan tawakkal itu sendiri. Karena dengan
tidak berobat, berarti menghentikan hakikat ketergantungannya kepada Allah yang
telah memberitahu apa yang dapat bermanfaat dan apa yang dapat membawa bahaya,
baik dalam agamanya maupun dunianya. Dengan ketergantungan ini maka harus
dijalani sebab-sebab. Jika tidak, berarti menghentikan hikmah dan syarak.
Karena itu, kata 'Ibn al-Qayyim, janganlah seorang hamba menjadikan
kelemahannya sebagai tawakkal dan jangan pula menjadikan tawakkalnya sebagai kelemahan.
Menurut 'Ibn al-Qayyim, hadis-hadis tersebut juga mengandung
penolakan terhadap orang yang mengingkari pengobatan yang mengatakan bahwa jika
kesembuhan sudah ditakdirkan maka pengobatan tidak diperlukan. Demikian juga
jika belum ditakdirkan sembuh maka pengobatan juga tidak ada manfaatnya. Orang
yang mengingkari pengobatan juga berdalih bahwa terjadinya suatu penyakit itu
karena takdir Allah, sedangkan taqdir Allah itu tidak dapat ditolak.
Persoalan ini pernah dikemukakan oleh orang-orang Badui kepada
Rasulullah Saw yang menyangsikan tentang bolehnya berobat. Orang-orang Badui
pernah mempertanyakan: “Ya Rasulallah! Apakah kami harus berobat? Nabi Saw
menjawab: Ya! Berobatlah kalian! Karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan
suatu penyakit kecuali meletakkan juga obatnya, kecuali satu penyakit yaitu
ketuaan”. Adapun para sahabat yang utama, mereka sudah sangat faham dengan
ajaran Allah, hikmah dan sifatNya, sehingga mereka tidak perlu mengajukan
pertanyaan kepada Rasulullah Saw seperti yang pernah diajukan oleh orang-orang
Badui.
'Ibn al-Qayyim mengatakan bahwasanya Nabi saw telah menegaskan
tentang bolehnya berobat untuk mendapatkan kesembuhan. Nabi Saw bersabda
bahwasanya usaha penyembuhan dengan berobat, melakukan ruqyah dan membuat penangkalnya adalah termasuk takdir Allah,
sehingga tidak ada sesuatu yang keluar dari takdir Allah. Bahkan takdir Allah
dapat ditolak dengan takdirNya yang lain. Penolakan terhadap takdir yang lain
ini sesungguhnya merupakan takdir Allah juga. Karena itu tidak ada jalan keluar
dari takdirNya dengan cara apa pun.
Mengenai maksud sabda Nabi Saw bahwa Allah tidak menurunkan
penyakit kecuali menurunkan pula obatnya, kemudian orang yang berhasil
mendapatkan kesembuhan adalah orang yang telah mendapatkan obat yang cocok dengan
penyakitnya, dan hanya orang yang berilmu saja yang akan mengetahui obat yang
cocok dengan penyakitnya, 'Ibn al-Qayyim memberikan ilustrasi dengan
menyebutkan athar Isra’il sebagai berikut:
أَنّ إبْرَاهِيمَ الْخَلِيلَ قَالَ
يَا رَبّ مِمّنْ الدّاءُ ؟ قَالَ " مِنّي " . قَالَ فَمِمّنْ الدّوَاءُ
" ؟ قَالَ " مِنّي". قَالَ فَمَا بَالُ الطّبِيبِ ؟. قَالَ "رَجُلٌ
أُرْسِلُ الدّوَاءَ عَلَى يَدَيْهِ"
Bahwasanya
'Ibrahim al-Khalil berkata: “Wahai Tuhanku, dari siapa datangnya penyakit
itu?”. Tuhan menjawab: “Penyakit itu datangnya dariKu!”. 'Ibrahim bertanya
lagi: “Dari mana asal obat itu?”. Tuhan
menjawab: “Obat itu asalnya dariKu!”. 'Ibrahim bertanya lagi: “Kalau bagitu apa
peranan dokter?”. Tuhan menjawab: “Dokter itu adalah orang yang Aku kirimkan
obat di tangannya!”.
Melalui ilustrasi 'athar dari 'Ibrahim al-Khalil itu,
'Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa sesungguhnya berobat kepada dokter untuk
mendapatkan kesembuhan itu diperintahkan. Dokter adalah orang yang diberi ilmu
oleh Allah untuk mengetahui obat yang cocok terhadap suatu penyakit. Karena itu
jika ada orang yang berobat kepada dokter kemudian mendapatkan kesembuan,
hakikatnya ia telah mendapatkan kesembuhan dari Allah melalui tangan dokter
yang telah diberitahu oleh Allah Swt. Hal ini sangat sesuai dengan perkataan
Nabi Saw bahwasanya kalau sudah terjadi kecocokan antara penyakit dengan
obatnya, pasti akan memperoleh kesembuhan dengan izin Allah Swt.
Menurut 'Ibn al-Qayyim, mengenai hikmah adanya hadis Nabi Saw
bahwa setiap penyakit itu ada obatnya, maka dengan sabda Nabi Saw ini dapat
memberikan kekuatan mental bagi orang yang sakit dan mendorong bagi dokter
untuk mencari obat dan memeriksanya. Sabab, kata 'Ibn al-Qayyim, apabila orang
yang sakit menyadari bahwa bagi setiap
penyakit ada obat yang dapat menyembuhkannya, maka ia akan mempunyai harapan
untuk sembuh. Dengan demikiaan, hatinya menjadi tenang. Apabila jiwanya kuat
dan hatinya tenang maka dapat membantu untuk mengusir penyakit dan menolaknya.
Demikian juga dokter apabila mengetahui bahwa setiap penyakit itu ada obatnya,
maka ia akan berusaha untuk mencari obatnya dan memeriksa penyakitnya (Ibn
al-Qayyim, al-Thibb al-Nabawi, Zad al-Ma’ad; al-Jurjani, Mukhtashar
al-Ruqyah al-Syar’iyah; al-Munawi, Faidh al-Qadir; Kutub al-Tis’ah).
(Sumber: Buku Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,
M.Fil I, Terapi Qur’ani, hal. 167-174)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar