KRETERIA PEMIMPIN IDEAL
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Tahun
depan, tepatnya 14 Pebruari 2024 Pemilihan Presiden Republik Indonesia periode
2024-2029 akan diselenggarakan. Beberapa pasangan calon (paslon) sudah mulai
diperkenalkan. Mereka semua beragama Islam. Melalui rubrik konsultasi agama
MATAN ini saya mohon kepada pengasuh untuk berkenan membahas mengenai kreteria
pemimpin yang ideal menurut Islam. Atas perkenannya saya sampaikan terima kasih
dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Widodo, Kediri).
Pembahasan
Menjadi seorang pemimpin apalagi pemimpin bagi
masyarakat yang besar seperti bangsa Indonesia ini, haruslah pemimpin yang
memiliki kekuatan dan kemampuan besar yang mumpuni, baik lahir maupun batin.
Tidak cukup dengan sekedar bekal popularitas dan modal yang besar. Sebab, bila
pemimpin yang terpilih nanti ternyata pemimpin yang bukan ahlinya, maka
masyarakatlah yang kelak menjadi korbannya dan bisa jadi pemimpinnya yang malah
menjadi bulan-bulanan kritik dan celaan dari rakyat akibat tidak puas terhadap
kepemimpinannya. Dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Nabi saw. mengingatkan:
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Abu Dzar berkata: Ya
Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul
bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan
itu merupakan amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadikan seseorang
mendapatkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mendapatkannya dengan hak
dan dapat menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab (HR. Muslim No.
4823).
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu
sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan kepada Rasulullah
Saw, maka beliau tidak memberikannya, kemudian beliau mengingatkan kepada Abu
Dzar bahwa pada dirinya ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup
mengemban suatu jabatan.
Lebih
lanjut Rasulullah saw. mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanat yang
berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan
penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan
itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan
dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan baik.
Untuk menjadi
seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria
yang harus dimilikinya:
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk (QS. Al-Maidah, 55).
Pemimpin
adalah seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah
dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan umat di
suatu wilayah tertentu. Karena itu seorang pemimpin harus kuat dan memiliki
kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari
urusan dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat. Islam tidak mengenal dikotomi atau
sekulerisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih
pemimpin.
Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat
kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin ideal.
Pertama, pemimpin
ideal harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ آمَنُوا),
mukmin dan muslim yang baik. Dalam hal ini tidak cukup dengan pengakuan sebagai
seorang muslim, tetapi harus beriman kepada Allah dan memiliki sifat serta
kepribadian sebagai seorang pemimpin handal, yaitu hafidz dan alim.
Dua sifat ini telah disebutkan dalam surat Yusuf ayat 55 tentang karakter yang
dimiliki Nabi Yusuf ketika akan menjadi pemimpin. Nabi Yusuf menyatakan: “inni
hafizhun ‘alim” (إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ).
“Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga.
Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur
dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga
untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas.
Sebaliknya pemimpin yang khianat akan sibuk memperkaya diri sendiri dan
keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir
bin Abdillah berkata:
الأَمَانَةُ
تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ الْفَقْرَ
(Kepemimpinan yang) amanah itu akan membawa kecukupan
rizki (keberkahan), sedangkan yang khianat itu akan membawa kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir,
III/183).
Adapun “’Alim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan
pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada
kehidupan yang sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah memiliki
sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai problem
yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka akan
lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Kedua, pemimpin ideal harus
rajin menegakkan salat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ).
Sebab, salat adalah barometer akhlak manusia. Salat dapat menumbuhkan sikap
tanggung jawab dan kedisiplinan. Salat dapat menyadarkan dirinya selalu dalam
pengawasan Allah. Salat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin
dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatkan bimbingan berupa ilham.
Allah menyatakan:
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kepada-Ku,
pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan mengingkari
nikmat-Ku (QS.
Al-Baqarah, 152).
Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي
Dan Aku akan selalu bersamanya apabila ia selalu mengingat-Ku (HR. al-Bukhari No. 7405 dan Muslim No. 6981).
Ketiga, pemimpin ideal
harus gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ).
Zakat itu bukan membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan harta
(harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat
dan berinfak dengan penuh kesadaran, ia akan berhati-hati dengan hartanya, ia
tidak mau hartanya dikotori dengan yang lain, karena itu ia tidak mungkin melakukan
korupsi. Sebab terhadap harta yang dimilikinya saja mau dibersihkan, buat apa
korupsi yang malah akan mengotori hartanya sendiri. Allah mengingatkan:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu memakan
harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap
dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188).
Keempat, pemimpin ideal harus
suka salat berjamaah (وَهُمْ رَاكِعُونَ).
Ibn Taymiyah menerangkan bahwa melakukan rukuk adalah gambaran salat berjamaah.
Karena orang yang salat berjamaah dianggap mendapatkan satu rakaat apabila
sempat mengikuti ruku bersama imam. Berbeda dengan orang yang hanya mendapatkan
sujud saat bergabung dalam salat berjamaah, maka ia tidak mendapatkan satu
rakaat (Ibn Taimiyah, al-Imamah Fi Dou’ al-Kitab Wa al-Sunnah, I/16).
Pemimpin yang suka
berjamaah artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan
rakyatnya dengan sebaik-baiknya, kemudian mencarikan jalan keluar atas
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau
memperhatikan masyarakat ini mengambil hikmah dari salat fardu berjamaah.
Rasulullah setiap selesai salat fardu berjamaah biasa duduk menghadap kepada
jamaah. Hal itu bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk
memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang
tidak hadir salat berjamaah, maka ditanyakan apa penyebabnya. Kalau ternyata
orang tersebut diketahui sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu
menjenguk sahabat yang sakit tersebut.
Salat berjamaah juga
mengandung pelajaran sikap yang demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam)
harus siap dikoreksi kalau salah. Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi
jamaah (makmum) atau masyarakat yang dipimpinnya. Semangat berjamaah atau
memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
sehingga masyarkat yang dipimpinnya merasa diperhatikan dan dilayani.
Kita bisa
membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini bila pemimpin yang kita
pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1) beriman kepada Allah dengan
memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan kapabel sebagai seorang pemimpin;
(2) suka menegakkan salat, sehingga dalam menjalankan tugasnya senantiasa
dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat, sehingga tidak ingin korupsi dan
manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian kepada masyarakat yang
dipimpinnya. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ
يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ
Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS. Al-Baqarah, 56).
Empat
kreteria pemimpin ideal tersebut sejalan dengan pandangan ulama Tarjih
Muhammadiyah yang pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah (SM No. 24 Th. 2009). Dalam majalah
tersebut disebutkan bahwa untuk mewujudkan Good
Governance di Indonesia dibutuhkan
kepemimpinan nasional yang adil yang memiliki kualifikasi dan kriteria: 1).
Integritas: beriman dan bertaqwa, serta memiliki kekuatan moral dan
intelektual; 2). Kapabilitas: kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang
dan mengelola keberagaman/kemajemukan menjadi kekuatan yang sinergis; 3).
Populis: berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat; 4). Visioner:
memiliki visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju
kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri); 5). Berjiwa
Negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi
kepemimpinan bangsa; 6). Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan
dunia internasional; 7). Berjiwa reformis: memiliki komitmen untuk melanjutkan
perjuangan reformasi.
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim edisi Desember 2023)