SEJARAH SALAT TARAWIH
Oleh
Pertanyaan
Sungguhpun sudah berabad-abad Salat
Tarawih diamalkan kaum muslimin, beberapa masalah masih menarik dibahas, antara
lain mengenai (1) nama Salat Tarawih itu mulai kapan dikenal; (2) Nabi ﷺ sendiri biasanya berapa rakaat Salat Tarawihnya; (3) dan
mengapa di Masyarakat kita ada perbedaan jumlah rakaat dalam Salat Tarawih, ada
yang 11 dan ada yang 23 rakaat. Bagaimana sejarahnya? Melalui majalah MATAN
ini, mohon pengasuh Konsultasi Agama berkenan memberikan penjelasan dan
pencerahannya. Demikian, terima kasih atas perkenannya. Jazakumullah khairal
jaza’ (Fikri, Tulangan Sidoarjo).
Jawaban
Secara bahasa, tarawih (تراويح) atau
tarwihat (ترويحات) merupakan bentuk jamak dari
kata tarwihah (ترويحة), yang secara harfiyah berarti istirahat. Maksudnya ialah
istirahat di antara rangkaian salat malam di bulan Ramadan setelah dikerjakan
empat rakaat (لاستراحة الناس بعد أربع ركعات بالجلسة). Hal ini dikarenakan ulama dulu mengerjakan Salat
Tarawih secara bertahap. Pertama mengerjakan salat empat rakaat kemudian duduk
dan istirahat melepaskan lelah. Kemudian mereka mengerjakan empat rakaat lagi
lalu duduk dan istirahat lagi. Istirahat-istirahat di antara rangkaian empat
rakaat salat itu disebut tarawih (Badr al-Din al- ‘Aini, Umdat al-Qari Syarh
Sahih al-Bukhari, XVII/150).
Dalam perkembangan berikutnya,
istilah tarawih/tarwihat digunakan untuk menyebut rangkaian salat yang
empat rakaat dalam salat malam Ramadan. Ibn Abi Syaibah (w.235 H/849 M)
misalnya meriwayatkan pernyataan Wiqa’ bahwa Said bin Jubair (w.95 H/714 M)
salat mengimami jamaahnya di bulan Ramadan sebanyak enam tarwihat (6x4
yakni 24 rakaat tidak termasuk witir, pada dua puluh malam pertama), dan
apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau iktikaf di masjid dan salat
mengimami jamaahnya tujuh tarwihat, 7x4 yakni dua puluh delapan rakaat
selain witir (Ibn Abi Syaibah, al-Musannaf Fi al-Ahadis Wa al-Asar,
III/395).
Di masa kita sekarang ini, istilah
tarawih sering digunakan untuk menyebut nama salat malam atau qiyam Ramadan
yang meliputi seluruh jumlah rakaatnya, termasuk witirnya. Sebagai misal
dikatakan bahwa Salat Tarawih di sejumlah masjid dilakukan sebanyak sebelas
(11) rakaat, sementara di masjid-masjid yang lain dilakukan sebanyak dua puluh
tiga (23) rakaat.
Pada masa Nabi saw.,
istilah Salat Tarawih belum dikenal. Demikian juga pada masa sahabat dan
tabiin juga belum populer digunakan. Sebagai bukti, dalam kitab al-Muwatta
karya Imam Malik (w.179 H/795 M) dan juga kitab al-Umm karya Imam
al-Syafii (w. 204 H/820 M) belum ada kalimat atau istilah mengenai Salat
Tarawih. Imam Malik dalam al-Muwatta’ menggunakan istilah Qiyam
Ramadan, sementara Imam al-Syafii dalam al-Umm menggunakan
istilah Qiyam Syahr Ramadan (Malik, al-Muwatta’, II/157
dan al-Syafii, al-Umm, II/150).
Secara jelas
penggunaan frasa “Salat Tarawih” untuk menunjukkan salat malam atau
qiyam Ramadan baru ditemukan pada abad ke-5 H, seperti yang disebutkan dalam
kitab al-Sunan al-Kibra karya al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M). Adapun kata
“tarawih” tanpa digandengkan dengan kata “salat” sudah banyak digunakan pada
abad ke-3 H, dan umumnya mengacu kepada rangkaian empat rakaat salat malam.
Selain itu, kata tarawih terkadang juga dimaksudkan untuk ungkapan qiyam
Ramadan. Al-Fakihani (w. 272-279 H) dalam karyanya (Akhbar Makkah,
II/154) menggambarkan suasana salat malam Ramadan di Masjid al-Haram: “Apabila
imam telah selesai dari tarawih (فَإِذَا فَرَغَ
الْإِمَامُ مِنَ التَّرَاوِيحِ), maka pintu-pintu masjid dijaga dan kaum perempuan
dipersilakan keluar lebih dulu sampai habis. Kata tarawih di sini yang
dimaksud adalah salat malam atau qiyam Ramadan.
Mengenai istilah “Kitab
Salat al-Tarawih” yang ada dalam Kitab Sahih al-Bukhari karya Imam
al-Bukhari (w. 256 H/870 M) diduga tidak ditulis oleh Imam al-Bukhari sendiri,
tetapi oleh penyalinnya kemudian, karena hal ini hanya terdapat dalam manuskrip
al-Mustamli (w. 376 H/987 M) saja, tidak ada pada manuskrip-manuskrip yang lain
(Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,
IV/250).
Jumlah Rakaat Nabi ﷺ Dalam Salat Tarawih
Sebelumnya telah diterangkan bahwa pada zaman
Rasulullah ﷺ istilah Salat Tarawih belum dikenal.
Istilah yang dikenal adalah salat al-lail atau qiyam Ramadan. Semua
bentuk ibadah sunah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih dikenal dengan
sebutan qiyam Ramadhan.
Salat Tarawih atau qiyam Ramadan dicontohkan
oleh Rasulullah ﷺ pertama sekali pada bulan Ramadan tahun kedua
Hijriyah. Pada masa itu, Rasulullah ﷺ
terkadang mengerjakannya di masjid dan terkadang di rumah. Dalam hadis Riwayat
Muslim disebutkan: “Pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah ﷺ
salat di Masjid, lalu diikuti beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam
kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti banyak orang. Dan pada malam
ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah ﷺ
tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang
menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (Salat
Tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian”. Kata perawi: “Itu terjadi pada bulan
Ramadan” (HR. Muslim, No 1270).
Dalam hadis tersebut dijelaskan
bahwa Nabi pernah menjadi imam dalam Salat Tarawih atau qiyam Ramadan di
masjid. Hanya pelaksanaannya sekitar tiga malam saja, selebihnya beliau salat
di rumah. Alasannya, beliau khawatir kalau Salat Tarawih itu menjadi salat yang
diwajibkan bagi umatnya. Dalam hadis tersebut tidak disebutkan berapa jumlah
rakaatnya.
Terkait jumlah rakaatnya, disebutkan dalam hadis sahih riwayat
al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi ﷺ biasa Salat Tarawih 11 rakaat. Dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah ra, “Bagaimana
salat Nabi Muhammad di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab:
مَا كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Rasulullah ﷺ
tidak menambah pada bulan Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat.
Beliau salat empat rakaat, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, lantas
salat empat rakat lagi, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, kemudian tiga
rakaat…” (HR Bukhari 1147 dan Muslim 1757).
Hadis tersebut
menerangkan bahwa Rasulullah ﷺ
melaksanakan Salat Tarawih dengan 4-4-3. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis
tersebut tentang salat witir. Hal ini tidak benar, karena dalam hadis tersebut
Abu Salamah menanyakan tentang salat Nabi di bulan Ramadan. Al-Albani
mengatakan bahwa takwil ini lemah, sekedar mendukung madzhab (al-Albani, Salat
al-Tarawih, 34-35).
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Adapun
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al-Baihaqi, al-Tabrani dari Ibnu
‘Abbas bahwa Rasulullah ﷺ
salat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, maka sanad hadis itu da’if
dan bertentangan dengan hadis dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa salat Nabi
tidak lebih dari 11 raka’at. ‘Aisyah tentu lebih mengetahui seluk-beluk
kehidupan Rasulullah ﷺ pada waktu malam daripada yang lainnya.
Al-Mizzi bahkan mengatakan hadis (Nabi qiyam Ramadan 20 rakaat) itu munkar
(al-Asqalani, Fath al-Bari, IV/254; al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,
II/149).
Asal-Usul Tarawih 11,
23, dan 39 Rakaat
Dalam paparan sebelumnya diterangkan bahwa pada zaman Nabi ﷺ
praktik Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat. Praktik sebelas
rakaat di zaman Nabi ﷺ ini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar.
Sahabat yang bergelar Al-Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di
Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan Salat Tarawih dengan satu
imam, Ubay Bin Ka’b (Ibn Kasir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/47; Ahmad
al-Bakri, Umar Ibn al-Khattab, I/100).
Mengenai berapa
bilangan rakaat dalam Salat Tarawih pada masa Umar bin Khattab, ulama berbeda
pendapat. Pendapat pertama mengatakan 11 rakaat, sedangkan yang kedua
mengatakan 23 rakaat. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang bisa dijadikan
sandaran.
Bagi ulama yang
berpendapat bahwa masa Umar Salat Tarawih dilakukan 11 rakaat berdasarkan hadis
riwayat Imam Malik dalam “Al-Muwatta” (II/159 No. 379) dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin
Yazid, beliau menuturkan bahwa “Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin
Ka’ab dan Tamim Al-Dari untuk mengimami manusia (Salat Tarawih) 11 raka’at”.
Beliau melanjutkan: “Dan kala itu, seorang qari (imam) biasa membaca ratusan
ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama
berdiri. Lalu kami baru bubar salat menjelang fajar” (HR. Malik No.379).
Dari penulusurannya, ulama ini menyatakan bahwa tidak ditemukan riwayat bahwa
Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa
dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu.
Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin Salat Tarawih
di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.
Adapun ulama yang
menyebut Umar sebagai pelopor Salat Tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn
al-Mulaqqin (w. 804 H/1401 M). Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak
menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi
dua puluh. Ia mengambil hadis dari Yazid bin
Khusaifah, dari Saib bin Yazid, ia mengatakan: “Mereka melakukan qiyam Ramadan
pada masa Umar bin Khattab sebanyak 20 rakaat. Ia mengatakan, mereka membaca
ratusan ayat (HR. al-Baihaqi No. 4801).
Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah tersebut
(tarawih 20 rakaat masa Umar) itu valid, hal tersebut dapat dipahami dua hal.
Pertama, menunjukkan bahwa pada masa Umar telah dipraktikkan Salat Tarawih 20
rakaat. Kedua, bisa menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan
tarawih dua puluh rakaat. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk
mengubah Salat Tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw dari sebelas rakaat menjadi
dua puluh rakaat.
Al-Subki (756 H/1355
M) menyatakan: “Saya melihat berbagai asar atau Riwayat dalam Sunan Sa’id Bin
Mansur tentang Salat Tarawih 20 rakaat dan 36 rakaat, tetapi semuanya berasal
dari zaman sesudah Umar bin Khattab” (al-Subki, al-Ibtihaj, 696). Dari
sini terjadi kontroversi mengenai kapan Salat Tarawih 20 rakaat itu dimulai
apakah sejak zaman Umar atau sesudahnya.
Ada dua ulama yang kontroversi
pendapatnya. Ibn Abd al-Barr (w.463 H/1071 M) mengatakan: “….ini semua
membuktikan bahwa Riwayat 11 rakaat adalah keliru dan salah. Yang benar adalah
Riwayat 23 rakaat (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, V/156). Sebaliknya Ibn
al-‘Arabi (w.543 H/1148 M) mengatakan bahwa bilangan Salat Tarawih selain 11
rakaat tidak ada dasarnya (Ibn al-‘Arabi, Aridat al-Ahwadzi, IV/19).
Bisa jadi Salat Tarawih sebelas rakaat
berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya
(w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M).
Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, Salat Tarawih di Masjid
Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung
hingga abad ke-4 H (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, 57; Ibn al-Mulaqqin, al-Taudih
LiSyarh al-Jami al-Sahih, III/558).
Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam
al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktikkan Salat Tarawih di Masjid Nabawi
dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir. Pelaksanaannya dua tahap: dua
puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir
malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya (Abu Zur’ah al-‘Iraqi, Tarh al-Tasrif Fi Syarh al-Taqrib, III/98). Sebelum ini diduga praktik Salat Tarawih
sebanyak 20 rakaat selain witir.
Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa
Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh
dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh
Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak
dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, Salat
Tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakat (Syamsul Anwar, Salat
Tarawih, 99).
Keterangan ini
menunjukkan bahwa praktik Salat Tarawih dari masa ke masa mengalami dinamika.
Ibn Taymiyah dalam al-Fatawa al-Kubra mengatakan bahwa Nabi ﷺ melakukan salat malam dan witirnya (Salat Tarawih) di bulan
Ramadan dan di luar Ramadan sebanyak 11 atau 13 rakaat dengan waktu yang lama,
kemudian untuk meringankan beban, pada masa Umar bin al-Khattab salatnya
ditambah menjadi 20 rakaat sebagai ganti lamanya berdiri. Sebagian salaf ada
yang mengerjakannya 40 rakaat ditambah witir 3 rakaat, dan sebagian yang lain
mengerjakannya 36 rakaat ditambah witir (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra,
II/254).
Begitulah sejarah singkat perjalanan Salat
Tarawih dan aneka ragamnya dari masa ke masa hingga kini. Apabila kita harus
memilih praktik qiyam Ramadan (tarawih) mana yang perlu dicontoh, tentu praktik
pada masa Nabi ﷺ yang perlu kita contoh, karena dalam
masalah salat kita diperintahkan agar mengikuti contoh Nabi ﷺ.
Nabi bersabda: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat cara saya salat”
(HR. al-Bukhari No. 6008). Wallahu A’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar