NIKAH VIA ONLINE
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Mohon penjelasan tentang hukum menikah (akad nikah) secara virtual atau online, semisal via video call, dikarenakan beberapa alasan seperti LDR (long Distance Relationship) atau hubungan jarak jauh. Hal ini terjadi karena salah satu mempelai terikat kontrak kerja yang tidak mendapatkan izin cuti. Bolehkah atau sahkah akad nikah secara virtual tersebut? Bagaimana menurut Tarjih Muhammadiyah? Demikian permasalahan yang kami sampaikan, atas perkenan dan pembahasannya disampaikan terima kasih (Muhsin, Surabaya).
Pembahasan
Menikah adalah salah satu sunah yang
sangat ditekankan dalam Islam bagi orang yang sudah mampu. Dalam al-Qur’an
surat al-Nur ayat 32 Allah berfirman:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ
مِنْ فَضْلِهۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Nikahkanlah
orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui
(QS. Al-Nur, 32).
Betapa pentingnya masalah
pernikahan ini, Nabi saw. memperingatkan umatnya. Dalam hadis sahih al-Bukhari
diterangkan bahwa suatu saat ada seorang sahabat yang menyatakan: “Saya telah
menjauhi wanita, dan tidak akan menikah selamanya”. Mendengar pernyataan
sahabat seperti itu, Nabi saw. bersabda: “Aku adalah orang yang paling takwa di
antara kalian, tetapi aku juga puasa dan tidak puasa, salat malam dan tidur,
juga menikah. Barangsiapa yang enggan mengikuti sunahku (termasuk menikah) maka
ia tidak termasuk umatku” (HR. al-Bukhari 5063 dan Muslim 3469).
Mengenai
pernikahan, para ahli fiqh umumnya menyepakati bahwa suatu pernikahan dianggap
sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun-rukun dalam pernikahan menurut
jumhur ulama ada lima, yaitu (1) adanya mempelai pria, (2) adanya mempelai
wanita, (3) adanya wali nikah, (4) hadirnya dua orang saksi, dan (5) akad ijab-kabul.
Rukun-rukun tersebut masing-masing ada persyaratannya.
Khusus
tentang persyaratan ijab dan kabul, ada lima syarat, yaitu: Pertama, ijab dan kabul harus dilakukan dengan mengunakan
kalimat yang jelas, yakni kalimat (ucapan) dari wali nikah yang akan menikahkan
(ijab) dan kalimat (ucapan) dari calon suami yang akan menerima pernikahan (kabul).
Kedua, ijab dan kabul harus dilakukan dalam satu majelis; Ketiga,
adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali mengatakan: “Saya
nikahkan anda dengan putri saya bernama Aisyah…”, kemudian calon suaminya
menjawab: “Saya terima nikahnya Alimah…”, maka nikahnya tidak sah, karena nama
calon isteri yang diucapkan antara ijab dan kabul tidak sesuai. Jadi yang sah
adalah apabila juga dijawab dengan nama yang sama yaitu Aisyah; Keempat,
kalimat ijab dan kabul terdengar jelas oleh semua pihak yang terlibat dalam
perjanjian pernikahan; Kelima, berlaku seketika, maksudnya nikah tidak
boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan: “Saya
nikahkan anda dengan putri saya Aisyah besok atau besok lusa”, maka ijab dan kabul
seperti ini tidak sah (Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah,
IV/13).
Dari
lima persyaratan tersebut, tentang syarat kedua yaitu ijab dan kabul
dilakukan dalam satu majelis, pengertiannya masih diperselisihkan ulama.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa pengertian dalam satu majelis adalah harus dalam
satu tempat yang sama. Dalam hal ini tidak boleh dalam jarak berjauhan
antara wali yang akan menikahkan putrinya dengan seorang pria yang akan menjadi
calon suaminya. Bagi ulama yang berpegang tegung pada prinsip yang demikian,
maka nikah secara virtual (via online) hukumnya tidak sah. Namun
demikian, masih ada solusi atau jalan keluar lain bagi yang terpaksa harus
berjarak jauh dalam pelaksanaan akad nikahnya, yaitu dengan jalan membuat perwakilan
atau akad wakalah, baik melalui perantara surat, utusan, telepon, jaringan
internet, video call, atau semisalnya.
Sebagian
ulama yang lain berpendapat bahwa akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika
setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami dapat langsung
mengucapkan kabulnya. Yang penting, dalam hal ini, antara ijab dan kabul
tidak boleh ada jeda waktu yang lama. Sebab, jika ada jeda waktu lama antara
ijab dan kabul, antara wali dengan calon mempelai pria (suami), maka ucapan kabulnya
tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran jeda waktu yang lama,
yaitu jeda yang mengindikasikan calon suami menolak untuk menyatakan kabul.
Dalam hal ini antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi dengan perkataan yang
tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tempat akadnya
tidak berpisah.
Berdasarkan pemahaman yang kedua tersebut, maka ijab dan kabul dalam
satu majelis tidak harus dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat yang sama.
Para ulama imam madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan kabul yang
dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau utusan.
Misalnya ijab dan kabul dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang
dikirimkan kepada calon suami.
Jika akad ijab dan kabul melalui surat, maka yang dimaksud dengan
majelis akad yaitu tempat suami membacakan surat yang berisi ijab dari wali di
hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat yang berisi ijab
dari wali segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang dilakukan dalam satu
majelis.
Jika akad ijab dan kabul melalui utusan, maka yang dimaksud dengan
majelis akad yaitu tempat utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami
di hadapan para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali,
calon suami segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang telah dilakukan dalam
satu majelis.
Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan hanya terbatas
melalui alat komunikasi surat atau utusan. Dewasa ini, alat komunikasi
berkembang pesat dan jauh lebih canggih. Seseorang dapat berkomunikasi melalui
internet, telepon, atau melalui tele-conference secara
langsung dari dua tempat yang berjauhan. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu hanya bisa dipergunakan
untuk berkomunikasi lewat suara (berbicara) dan Short
Massage Service (SMS: pesan singkat tertulis). Saat ini
teknologi HP semakin canggih, di antaranya adalah fasilitas jaringan 4G
(Fourth-Geneation Technology).
Fourth (4) G adalah istilah yang
digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone) generasi
selanjutnya. Sistem ini bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dari apa yang
ada sebelumnya, yaitu pelayanan suara, teks dan data. Jasa layanan yang
diberikan oleh 4G ini adalah jasa pelayanan video, akses ke
multimedia dan lain-lain. Dengan fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat berkomunikasi langsung
lewat suara dan melihat gambar lawan bicara.
Syekh Abdullah al-Jibrin mengatakan: “Boleh saja melakukan akad nikah
sekalipun posisinya berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali, dan saksi.
Hal ini bisa dilakukan melalui internet, sehingga memungkinkan untuk dilakukan
akad dan persaksian dalam waktu bersamaan, dan dihukumi (dianggap) sama dengan
satu majelis. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan, mereka bisa saling
mendengar percakapan dalam satu waktu. Pertama dilakukan ijab, lalu disusul
dengan kabul. Sementara para saksi bisa melihat wali dan pengantin lelaki
(melalui video call). Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang
sama. Lebih lanjut al-Jibrin mengatakan:
فَهَذَا الْعَقْدُ صَحِيْحٌ، لِعَدَمِ إِمْكَانِ التَّزْوِيْرِ
أَوْ تَقْلِيْدِ الْأَصْوَاتِ
Akad ini sah,
karena tidak mungkin ada penipuan atau tiru-tiru suara… (Abdullah bin Abd al-Aziz
al-Jibrin, Syarh Umdat al-Fiqh Li al-Muwafiq Ibn Qudamah, II/1248).
Pandangan
Syekh al-Jibrin tersebut sama dengan pendapat yang telah difatwakan oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MTT PPM), jika
akad ijab dan kabul melalui surat atau utusan disepakati kebolehannya oleh
ulama madzhab, maka akad ijab dan kabul menggunakan fasilitas jaringan 4G,
yakni melalui video call lebih layak untuk
dibolehkan. Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab
dari wali dengan kabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui
surat dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majelis). Sedangkan
melalui video call, akad ijab dan kabul benar-benar dilakukan dalam
satu waktu (in real time).
Dalam akad ijab kabul melalui surat atau utusan, pihak pertama yakni
wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan kabul dari pihak calon
suami. Sedangkan melalui video call, lebih baik
dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar
suara maupun melihat gambar) pernyataan kabul dari pihak calon suami, demikian
pula sebaliknya. Kelebihan video call yang
lain, para pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang
melakukan akad ijab dan kabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan
melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.
Dengan demikian, menikah via online, yakni akad ijab dan kabul
melalui video call dapat dipandang sah secara syar’i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad
ijab dan kabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah
nikah yang lain. Apabila akad ijab dan kabul melalui video call sah antara wali dengan calon suami,
maka sah juga untuk akad tawkil (mewakilkan)
dari pihak wali kepada wakil jika wali mewakilkan akad nikah pada orang lain.
Bahkan sah juga akad ijab dan kabul melalui video call antara
wakil dengan mempelai pria (Majalah S.M. No 20
Tahun 2008).
Sekalipun demikian, sebaiknya akad ijab dan kabul dilakukan secara
normal dengan bertemunya masing-masing pihak secara langsung. Ijab dan kabul
dilakukan via video call apabila memang
diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan untuk
masing-masing pihak bertemu secara langsung. Wallahu a’lam bissawab!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Agustus 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar