BILA IDUL ADHA BEDA DENGAN MEKKAH
Oleh
Permasalahan:
Sudah
berulang kali terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha antara Indonesia
dengan Mekkah (Saudi Arabia). Peristiwa ini juga terjadi di beberapa negara
lain. Akibatnya timbul persoalan, bagaimana dengan umat Islam yang tinggal di
luar Saudi Arabia seperti di Indoensia, apakah harus mengikuti ketetapan yang
berlaku di Mekkah? Bagaimana dengan puasa sunnah Arafah-nya, apakah harus
bertepatan dengan para jamaah haji yang sedang wuquf di Arafah? Atas beberapa
persoalan tersebut mohon pengasuh Konsultasi Agama berkenan membahasnya sejelas-jelasnya.
Terima kasih atas perkenannya dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran
(Totok, Surabaya).
Pembahasan:
Ada
dua persoalan yang muncul ketika terjadi perbedaan penentuan hari Idul Adha
antara Saudi Arabia dan Indonesia. Pertama, haruskah Indonesia mengikuti Arab
Saudi dalam berhari raya Idul Adha atau bolehkah berbeda dalam menentukan hari
rayanya? Kedua, saat berpuasa sunnah Arafah, haruskah bertepatan dengan para
jamaah haji sedang melaksanakan wuquf di Arafah, atau bolehkah berbeda waktu puasanya,
asal dilaksanakan pada tanggal 9 Dzul Hijjah sesuai kalender yang berlaku di
negeri sendiri?
Persoalan pertama, tentang penentuan hari Idul Adha
Kemungkinan terjadinya perbedaan
penentuan hari Idul Adha antara Indonesia dan Saudi Arabia tidak perlu
diributkan. Sebaiknya disikapi biasa-biasa saja. Karena antara
Indonesia dan Arab Saudi (Mekkah) memang berbeda mathla’ (مَطْلَع), yakni
berbeda tempat dan waktu terbitnya matahari. Ulama dalam bahasan fikih terutama
dalam masalah shaum (puasa) ada istilah ikhtilaf al-mathali’
(اِخْتِلاَفُ الْمَطَالِع), berbeda tempat atau waktu terbit matahari.
Syariat telah menjadikan
tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai
batas waktu penetapan ibadah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa,
haji, masa iddah dan lainnya. Allah swt. berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadah) haji” (al Baqarah (2) :189).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir
menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah
telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia.
Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena
melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari” (Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, I/522).
Hanya saja, kemudian timbul
pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri
yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di
tempat negerinya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Dalam hal ini
ulama berselisih pendapat. Sekurang-kurangnya ada dua pendapat mengenai hal
ini:
Pendapat pertama, jika hilal telah terlihat di
suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di
negeri-negeri lain untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah,
pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu
Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah mengatakan: “Apabila hilal telah
terlihat oleh penduduk suatu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa
(وَإِذَا رَأَى الْهِلَالَ أَهْلُ بَلَدٍ لَزِمَ جَمِيْعُ الْبِلَادِ
الَّصَوْمَ). Ini
adalah pendapat Al-Laits dan sebagian sababat Al-Syafi’i” (Ibn Qudamah, al-Mughni,
III/10).
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah saw.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah
(berhari rayalah) karena melihatnya”. (HR. Al-Bukhaari
No. 1909 dan Muslim No. 2567, dari Abu Hurairah ra.).
Mereka
juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ
يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari
berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum
muslimin merayakannya. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih
kurban” (HR. Abu Dawud No. 2326, al-Tirmidzi No. 697, Ibn
Majah No. 1660). Al-Albani: sahih (Mukhtashar Irwa al-Ghalil,
I/174).
Pendapat kedua, setiap
negeri boleh melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama Syafi’iyyah. Dalil mereka adalah hadis Kuraib yang diutus oleh
Ummul Fadhl binti Al-Haris untuk menemui Mu’awiyah ra. Dia (Kuraib) berkata:
“Aku pun datang ke Syam
dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal
Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di
Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat
hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu
melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang
ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab
Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ
ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ
“Kalau kami melihatnya
malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau
kami melihat hilal Syawal”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak
mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”. Jawab Ibnu Abbas:
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Tidak,
seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada kami” (HR. Muslim
No. 2580, Abu Dawud No. 2334, dan al-Tirmidzi No. 693).
Berdasarkan
hadis Kuraib tersebut dapat difahami bahwa penentuan hilal di suatu tempat
(negara) boleh berbeda dengan penentuan hilal di negeri lain. Penentuan hilal
di Indonesia bisa saja berbeda dengan penentuan hilal di Saudi Arabia. Hilal
berlaku di negerinya masing-masing. Inilah yang benar menurut Syekh al-‘Utsaimin (وَالصَّوَابُ أَنّهُ يَخْتَلِفُ باِخْتِلاَفِ
الْمَطَالِعِ)
(al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Warasail, XX/47).
Kalau
hilal di suatu negara harus dipaksakan untuk berlaku di negeri-negara lain di
dunia ini, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya hal ini bisa diterapkan di masa
silam yang teknologi komunikasinya belum canggih seperti saat ini. Tentu berita
wukuf di Arafah sulit sampai ke negeri lain karena terkendalanya komunikasi.
Syariat dulu dan syariat saat ini berlaku sama. Dengan alasan ini bisa difahami
bahwa penentuan hilal lokal (suatu negeri) lebih memudahkan kaum muslimin dalam
menentukan momen penting ibadah mereka, baik saat memulai puasa Ramadhan, puasa
Arafah, maupun berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Persoalan Kedua,
tentang pelaksanaan puasa sunnah Arafah.
Apakah
Puasa Arafah harus dilaksanakan bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf
di Arafah? Dalam hadis Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah aku
berharap kepada Allah agar menjadi penebus (dosa) setahun sebelumnya dan
setahun sesudahnya” (HR. Muslim No. 197).
Ulama
berbeda pendapat mengenai makna kalimat (صِيَامُ يَوْمِ
عَرَفَةَ), “Puasa hari Arafah…”. Pendapat
pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan
bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah. Pendapat ini
berdasarkan hadis sbb:
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ
شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ،
فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ، فَشَرِبَ
مِنْهُ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Dari Maimunah ra. ia berkata bahwa orang-orang
saling berdebat apakah Nabi saw. berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah
mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan
berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Hadis ini bisa
difahami bahwa puasa Arafah itu tidak dilakukan oleh orang yang sedang wukuf di Arafah, tetapi oleh orang yang
tidak berwukuf di Arafah.
Pendapat
Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang
dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah
pada masing-masing wilayah (negara), meskipun tidak bersamaan dengan para
jamaah haji wukuf di Arafah (أَنَّ الْمُعْتَبَرَ
فِي الصِّيَامِ هُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَوْ لَمْ
يُوَافِقِ الْيَوْم الَّذِي يَجْتَمِعُ النَّاسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ)
(Arsip Multaqa Ahl
al-Hadis-3, 7 September 2008).
Muhammadiyah cenderung pada pendapat yang
kedua ini (Suara Mjuhammadiyah, 20 Maret 2020). Beberapa argument yang dibangun antara lain
sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah
saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan
haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijah
meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji. Dari Hunaidah Ibn Khalid, dari istrinya, dari
salah seorang istri Nabi saw., ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Adalah
Rasulullah saw. melakukan puasa pada sembilan hari bulan Dzulhijah, hari
Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan (HR. Abu Dawud No. 2439). Al-Albani: hadis
ini sahih (al-Albani, Sahih Wa Daif, I/2).
Hadis
ini menunjukkan bahwasanya Nabi saw. terbiasa puasa Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah,
saat sedang tidak berhaji. Nabi saw. hanya berhaji sekali selama hidupnya.
Kedua,
jika memang yang dimaksud adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para
jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan
masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong
Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong sekitar 6 jam? Saat
mereka mulai wukuf, di Sorong sudah pukul 18.00?
Ketiga,
jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau
peperangan, sehingga pada suatu masa ternyata jamaah haji tidak bisa wukuf di
padang Arafah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut,
maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada jamaah
yang wukuf di padang Arafah?
Itulah
beberapa alasan yang menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah
adalah tanggal 9 Dzulhijah sesuai dengan kalender masing-masing di negerinya. Wallahu
A’lam!
Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada edisi Juli 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar