CINTA SEJATI MENURUT NABI
Oleh
Permasalahan
Rasulullah
saw. pernah bersabda bahwa seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.
Jika seseorang mencintai keluarganya, gurunya, bahkan mencintai Nabi saw.,
apakah kelak benar-benar bisa bersama mereka? Cinta seperti apa yang bisa
mempertemukan dengan mereka yang dicintai? Mohon pengasuh membahasnya dengan
sejelas-jelasnya. Terima kasih. Jazakumullah khairan (Bella, Sidoarjo).
Pembahasan
Dalam sebuah hadis riwayat
al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai”.
(HR.
al-Bukhari No. 6168 dan Muslim No. 6888).
Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh
Sahih Muslim menjelaskan bahwa kalimat (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai”
menunjukkan keutamaan tentang cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul saw.,
cinta kepada orang-orang salih, dan cinta kepada orang-orang yang ahli berbuat
kebaikan, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Di antara tanda-tanda
keutamaan cinta kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. adalah melaksanakan
perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, dan bertindak atau berakhlak
sesuai dengan tuntunan syariah. Dalam hal ini tidak disyaratkan amalnya harus
sama dengan yang dicintai. Karena itu antara orang yang mencintai dan orang yang
dicintai akan bersama-sama masuk ke dalam surga meskipun tempat di surganya
bisa berbeda sesuai dengan kadar amal yang dilakukannya (al-Nawawi, Syarh
Sahih Muslim, VIII/483).
Ibn
Bathal dalam kitab Syarh Sahih al-Bukhari menerangkan bahwa kalimat (الْمَرْءُ
مَعَ مَنْ أَحَبَّ) menunjukkan seseorang yang
mencintai orang lain karena Allah, ia akan dikumpulkan oleh Allah di surga
bersama orang yang dicintainya meskipun amalnya tidak sebanding dengannya. Mencintai
seseorang karena Allah itu pada dasarnya karena cinta terhadap ketaatannya
kepada Allah. Cinta adalah amalan hati, dan keyakinannya itu akan memberikan
pahala seperti pahalanya orang-orang salih yang dicintainya. Niat adalah yang
paling pokok, dan amalan itu tergantung niatnya. Allah-lah yang akan memberikan
anugerah kepada siapa yang dikehendaki (Ibn Bathal, Syarh Sahih al-Bukhari,
IX/333).
Dalam hadis lain yang semakna dengan
hadis tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Anas ra. mengatakan, ada
seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. tentang hari kiamat. Orang itu
mengatakan:
مَتَى السَّاعَةُ
“Kapankah hari kiamat itu?”.
Rasulullah saw. balik bertanya:
وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا
“Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapi hari itu?”.
Orang itu menjawab: “Tidak ada, hanya saja
sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Beliau bersabda:
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai”.
Saat itu Anas ra.
mengatakan: “Kami (para Sahabat Nabi saw.) tidak pernah merasakan kebahagiaan
sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: “Engkau
akan bersama dengan orang yang engkau cintai”. Anas ra. mengatakan: “Saya
mencintai Nabi saw., Abu Bakr ra. dan Umar ra. Saya berharap kelak bisa bersama
mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, meskipun saya tidak mampu
melakukan amalan seperti amalan-amalan yang mereka lakukan (HR. al-Bukhari No.
3688).
Selain itu, juga ada hadis yang
kandungan maknanya sama dengan hadis
tersebut (الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ), yaitu hadis riwayat al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 6450, dari Ali ra., Nabi saw. bersabda:
وَلَا يُحِبُّ
رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ
“Dan seseorang tidak mencintai suatu kaum kecuali
akan dikumpulkan bersama mereka”. (HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath No. 6450). Al-Albani
menilai hadis ini sahih lighairihi (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa
al-Tarhib No. 3037).
Hadis-hadis
tersebut menegaskan bahwasanya pada hari kiamat nanti, seseorang akan
dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya saat hidup di dunia. Ibnu
Hajar mengatakan: “Maksudnya, dia akan dikumpulkan bersama mereka (orang yang
dia dicintai) itu, sehingga dia menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang
dicintai itu. Dengan pemahaman ini maka tertolaklah pemahaman sebagian orang
yang mengatakan bahwa tempat mereka itu, yakni
antara orang yang dicintai dan orang yang mencintai akan berbeda. Jika ini
benar, maka bagaimana dikatakan akan bersama? Pertanyaan ini bisa dijawab
dengan: Kebersamaan itu bisa terwujud dengan adanya titik temu pada satu hal
tertentu dan tidak mesti harus sama dalam semua hal. Jika mereka semua telah di
masukkan ke dalam surga, maka berarti telah bersama-sama, meskipun derajat
mereka di surga berbeda (al-Asqalani, Fath al-Bari, XVII/363).
Nah, cinta seperti apa yang
dimaksud oleh Nabi saw. hingga orang yang mencintai itu akan dikumpulkan atau
dibersamakan dengan orang-orang yang dicintainya? Paling tidak ada tiga cinta
yang menyebabkannya:
Pertama, Cinta Karena Allah.
Cinta karena Allah yang ditujukan kepada seseorang
atau suatu golongan adalah cinta yang didasari karena perintah dan petunjuk
dari Allah, juga cinta karena
orang-orang itu dimuliakan oleh Allah, dan cinta karena orang-orang itu dekat
dan patuh kepada Allah. Jadi, mencintai orang karena Allah bisa berarti
mencintai orang karena kesalihan dan ketaatannya kepada Allah sehingga orang
itu dicintai oleh Allah. Cinta seperti inilah yang bisa menyebabkan orang-orang
yang mencintainya akan dimasukkan ke dalam surga-Nya bersama-sama orang yang
dicintai.
Dalam
hadis riwayat al-Bukhari No.660 dan Muslim No.2427 disebutkan bahwasanya besok
pada hari kiamat ada tujuh golongan yang akan dilindungi oleh Allah pada saat
tidak ada lagi perlindungan selain dari Allah. Salah satu dari tujuh golongan
itu adalah segolongan orang yang saling mencintai karena Allah:
وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ
اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
“Dua orang
yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan
berpisah karena-Nya”.
Mencintai seseorang atau golongan karena Allah adalah cinta yang tidak
dapat dinodai oleh unsur-unsur keduniaan seperti ketampanan, harta, kedudukan,
fasilitas, suku, bangsa dan yang lainnya. Mencintai seseorang karena Allah
adalah mencintainya karena ketaatannya dalam melaksanakan perintah Allah dan
kegigihannya dalam meninggalkan larangan-Nya.
Al-Qasthalani mengatakan, “Disebut dengan dua orang yang saling
mencintai di jalan Allah, di mana ia berpisah dan berkumpul karena-Nya, yaitu
apabila keduanya saling mencintai karena Allah, bukan karena duniawi. Dan cinta
karena Allah ini tidak putus karena duniawi, baik dia berkumpul secara hakiki
atau tidak, sampai kematian memisahkan keduanya” (al-Qasthalani, Irsyad
al-Sari, III/25).
Kedua, Cinta dengan Mematuhi.
Sebagai konsekuensi dari mencintai seseorang adalah
berusaha meneladani dan mengikuti perbuatan orang yang dicintai. Misalnya, orang yang mencintai
Nabi, maka ia harus berusaha untuk bisa meneladani perbuatan beliau. Bila
cintanya dapat mendorongnya untuk meneladani Nabi saw, maka sikap dan perbuatan
itu akan dapat mengantarkannya masuk surga bersama Nabi saw.
Imam Hasan al-Basri memperingatkan: "Janganlah
kalian tergiur atau terlena dengan ungkapan “seseorang akan dikumpulkan di
akhirat bersama orang-orang yang dia cintai”. Harus difahami bahwa orang yang benar-benar
mencintai seseorang pasti akan mengikuti jejaknya. Seseorang tidak akan
dikumpulkan bersama mereka yang dicintai kecuali bila ia berusaha mengikuti
perbuatannya, petunjuknya, dan prinsip kehidupannya, dalam kehidupan
sehari-hari. Bila tidak mengikutinya, maka tidak akan dikumpulkan bersama
mereka yang dicintainya. Ingat, orang Yahudi dan Nasrani pun mencintai
Nabi-Nabi mereka, tetapi mereka tidak akan dikumpulkan bersama nabi-nabi mereka
di akhirat kelak. (فإن اليهود و النصارى يحبون أنبياءهم وليسوا معهم).
Hal ini disebabkan mereka menyelisihi para Nabinya, tidak mengikuti
jejak mereka, malah berperilaku di luar yang diajarkan Nabinya. Karena itu
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan dikumpulkan bersama para Nabinya di
surga, malahan akan dicampakkan ke dalam neraka (Ibn Rajab, Majmu’ Rasail
Ibn Rajab, III/378-379; al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, II/160).
Allah
swt. berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran:31)
Al-Sa’di mengatakan bahwa orang yang tidak mengikuti
jejak Rasulullah saw. maka ia dianggap tidak mencintai Allah. Karena
sesungguhnya mencintai Allah itu mewajibkan untuk mengikuti Rasulullah saw.
Jika tidak demikian maka ia dipandang dusta, karena ia mengatakan cinta tetapi
tidak mematuhinya (Abd al-Rahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/128).
Ketiga,
Cinta dengan Rela Berkorban
Seseorang
yang benar-benar cinta, sebagai buktinya ia akan berusaha melakukan apapun demi
yang dicinta. Ia siap melakukan apa saja yang diminta oleh yang dicinta, demi
menyenangkan dan membahagiakannya. Dalam hal ini, Meski sebenarnya ia
keberatan, ia rela berkorban demi yang dicintainya.
Saat
Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih sang putera, yakni Ismail
yang sangat disayanginya, sebagai ayah tentu sangat keberatan pada mulanya,
tetapi demi cintanya kepada Allah, maka beliau palingkan semua itu dan akhirnya
dengan hati yang bulat rela mengorbankan rasa sayangnya kepada sang putera demi
mendapatkan cinta dari Allah Yang Maha Penyayang. Inilah
yang namanya prioritas. Nabi
Ibrahim rela berkurban dan lebih memprioritaskan cinta kepada Allah di atas
cintanya kepada yang lain. Allah memperingatkan:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika
bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang
fasik” (QS.
Al-Taubah, 24).
Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan:
وَهذِهِ
الآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّه إِذاَ وَقَعَ التَّعَارُضُ بَيْنَ مَصْلَحَةٍ وَاحِدَةٍ
مِنْ مَصَالِحِ الدِّيْنِ وَبَيْنَ جَمِيْعِ مُهِمَّاتِ الدُّنْيَا، وَجَبَ عَلَى
الْمُسْلِمِ تَرْجِيْحُ الدِّيْنِ عَلَى الدُّنْيَا
“Ayat ini (al-Taubah, 24)
menunjukkan bahwasanya apabila terjadi pertentangan dalam satu masalah antara
kepentingan agama dengan kepentingan dunia, maka kepentingan agama harus
diutamakan atau diprioritaskan” (al-Fakhr al-Razi, Mafatih al-Ghaib,
I/2194).
Ibn
al-Qayyim mengatakan: Tanda cinta sejati adalah berusaha memadukan atau
menyatukan keinginan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Bila tidak
bisa memadukan atau menyelisihinya, maka hal itu tidak lagi disebut cinta
sejati (Ibn al-Qayyim, Raudlat al-Muhibbin, I/265). Dengan demikian,
mencintai Allah dan Rasul berarti berusaha melakukan apa saja yang diinginkan
oleh keduanya.
Ketika seseorang mencintai hartanya, maka ia
berusaha agar hartanya jangan sampai hilang. Namun, Ketika Allah memerintahkan
agar hartanya dikeluarkan untuk kepentingan fi sabilillah, ia harus rela mengeluarkannya
demi cintanya kepada Allah. Ketika ia sedang asyik-asyik tidur, tiba-tiba
terdengar suara adzan shubuh, maka demi cintanya kepada Allah, ia rela
mengorbankan asiknya tidur demi memenuhi panggilan Allah swt untuk shalat
subuh. Itulah yang namanya cinta sejati. Ada prioritas. Siap berkorban demi
yang dicintai. Wallahu A’lam!
Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Edisi Juni 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar