SAAT USIA 60 TAHUN
Oleh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ
أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً
(رواه البخارى)
Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Allah
mengangkat udzur seseorang yang Dia panjangkan ajalnya hingga usianya mencapai
enam puluh tahun”.
(HR.
al-Bukhari
No. 6419)
Status
Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitab Shahih
al-Bukhari No. 6419. Beberapa ulama lain yang meriwayatkan hadis tersebut,
di antaranya adalah Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad Ahmad No. 8262,
al-Hakim (w.405 H) dalam al-Mustadrak No. 3597, al-Bayhaqi (w.458 H)
dalam al-Sunan al-Kubra No. 6754, al-Isybili (w. 581 H) dalam al-Ahkam
al-Syar’iyah al-Kubra, III/341, Ibn al-Atsir (w. 606 H) dalam Jami’
al-Ushul, I/393 No. 187, dan al-Muttaqi al-Hindi (w.975 H) dalam Kanz al-Ummal,
IV/414 No. 10334. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah
al-Shahihah al-Kamilah, III/163).
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menerangkan bahwa
Allah akan mengangkat udzur seseorang, yakni tidak akan memberikan toleransi
untuk beralasan lagi kepada orang yang telah diberi umur panjang hingga 60
tahun. Dalam hadis yang lain ditegaskan:
مَنْ أَتَتْ عَلَيْهِ سِتُّونَ سَنَةً فَقَدْ
أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَيْهِ فِى الْعُمُرِ
Barangsiapa
diberi umur 60 tahun, maka ia tidak diberi alasan lagi dengan umurnya itu (HR.
Ahmad No. 8245). Syu’aib al-Arnout mengatakan sanad hadis ini kuat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menerangkan:
وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لَهُ
اعْتِذَارٌ كَأَنْ يَقُولَ لَوْ مُدَّ لِي فِي الْأَجَلِ لَفَعَلْتُ مَا أُمِرْتُ
بِهِ ….وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ فِي
تَرْكِ الطَّاعَةِ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْهَا بِالْعُمُرِ الَّذِي حَصَلَ لَهُ
فَلَا يَنْبَغِي لَهُ حِينَئِذٍ إِلَّا الِاسْتِغْفَارُ وَالطَّاعَةُ
وَالْإِقْبَالُ عَلَى الْآخِرَةِ بِالْكُلِّيَّةِ
Hadis tersebut bermakna bahwa udzur dan
alasan sudah tidak ada (tidak diberikan), misalnya ada orang mengatakan: “Andaikan
usiaku dipanjangkan, aku akan melakukan apa yang diperintahkan kepadaku…”. Apabila
dia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan ketaatan, sementara sangat
memungkinkan baginya untuk melakukan ketaatan itu dengan usia yang dia milikinya,
maka saat itu tidak ada yang layak untuk dia lakukan selain istighfar, melakukan
ketaatan, dan fokus sepenuhnya untuk kepentingan akhirat (al-Asqalani, Fath al-Bari, XI/240).
Allah swt.
memperingatkan bahwa pada hari kiamat kelak, penghuni neraka meminta kepada
Allah agar mereka dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan lagi ke dunia untuk bisa
melakukan amal kebajikan:
“Mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal saleh tidak
seperti amalan yang telah kami kerjakan (kekufuran)”. Allah menjawab
permintaan mereka dengan berfirman:
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ
وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Bukankah Aku telah memanjangkan usia
kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan
(apakah tidak) datang kepada kamu al-Nadzir (pemberi peringatan)? Maka
rasakanlah (adzab kami), dan bagi orang yang dzalim tidak ada seorang penolong
pun (QS. Fathir: 37).
Ayat ini
menjelaskan bahwa usia yang Allah berikan kepada umat manusia menjadi hujjah
dan alasan Allah untuk mengadili manusia, disamping adanya al-Nadzir yang
datang kepadanya. Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Tafsirnya Zad al-Masir menerangkan ada empat pendapat tentang apa yang dimaksud dengan al-Nadzir.
Pertama, yang dimaksud dengan al-Nadzir adalah uban di rambut. Maksudnya
Allah telah memperingatkan manusia dengan adanya uban di rambut sebagai tanda
tidak muda lagi agar semakin sadar untuk menghadapi kematian. Pendapat ini
didukung oleh Ibnu Umar, Ikrimah, dan Sufyan bin Uyainah. Kedua, kehadiran
Nabi saw. Maksudnya kehadiran Nabi saw. telah memberi pencerahan dan peringatan
kepada manusia agar mendekatkan diri kepada Allah. Pendapat ini didukung oleh
Qatadah, Ibn Zaid, Ibn al-Saib, dan Muqatil. Ketiga, kematian keluarga
atau kerabat dekat, dan keempat sakit demam. Keduanya adalah tanda-tanda
dekatnya kematian. Keduanya merupakan pendapat al-Mawardi (Ibn al-Jauzi, Zad
al-Masir, V/182).
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي
الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
Dan barang siapa Kami panjangkan
umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka
tidak memikirkannya? (QS. Yasin, 68).
Imam Ibnu
Katsir (w. 774 H/1372 M) menjelaskan:
“Allah swt. mengabarkan bahwa seorang hamba ketika usianya semakin tua, maka ia
dikembalikan dari kuat menjadi lemah, dan dari gesit menjadi lamban” (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, VI/588). Kemudian Abd al-Rahman al-Sa’di
(w.1957 M) menerangkan bahwa manusia akan kembali ke dalam keadaan semula,
keadaan yang lemah, lemah
dalam pikiran dan lemah dalam kekuatan. Manusia mulai berkurang dalam berbagai
hal. Karena itu hendaknya mereka (manusia) memanfaatkan kekuatan dan daya pikirnya
untuk melakukan ketaatan kepada Tuhannya
(Abd al-Rahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/698).
Berusia
hingga 60 tahun termasuk usia yang panjang. Usia yang panjang memang termasuk kenikmatan,
sehingga banyak orang berdoa untuk dipanjangkan umurnya. Namun, harus difahami
bahwa usia panjang itu bukan mutlak kenikmatan, tetapi kenikmatan yang muqayyad
(dengan batasan tertentu), artinya berusia panjang tidak otomatis lebih nikmat
dan berbahagia daripada orang yang memiliki usia pendek. Usia panjang baru berarti
dan menjadi nikmat yang sebenar-benarnya, apabila usia yang panajang tadi bisa
dimanfaatkan dengan baik, yakni dimanfaatkan untuk melakukan urusan-urusan
kebaikan, amal shaleh dan ketaatan kepada Allah swt. Nabi saw. bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ
عَمُلُهُ
Sebaik-baik manusia adalah orang
yang panjang umurnya dan baik amalannya (HR. al-Tirmidzi No. 2329). Al-Albani
menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib,
III/170).
Hadis tersebut mengingatkan kita, terutama
yang sudah tua, seperti yang sudah berusia 60 tahun, atau siapa saja yang
menginginkan panjang usia, bahwa yang penting itu bukan usianya yang panjang,
tetapi yang lebih banyak dan lebih baik amalnya dalam mengisi kehidupannya.
Usia pendek tidak mengapa asal amal salehnya banyak.
Sebagai
contoh, Imam al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) yang hanya berusia 45 tahun namun
menghasilkan karya yang luar biasa, sehingga berjasa bagi orang banyak. Jumlah
karyanya sekitar 40 kitab, di antaranya yang sangat monumental adalah Kitab Syarah
Shahih Muslim, dan al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab. Di negeri kita
Indonesia ada nama Jendral Sudirman (w. 1950 M) hanya berusia 34 tahun. Beliau
dikenal sebagai Jendral Besar berbintang lima yang sangat berjasa dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Syaikh
Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin mengatakan, “Seyogyanya orang yang sudah tua memperbanyak
amal shaleh. Meskipun para pemuda juga seharusnya demikian (membiasakan beramal
saleh), karena manusia tidak tahu kapan dia akan meninggal. Bisa saja, seorang
pemuda meninggal pada usia mudanya atau ajalnya tertunda hingga ia tua. Akan
tetapi, yang pasti, orang yang sudah berusia senja, ia lebih dekat kepada
kematian, lantaran telah menghabiskan jatah usianya” (al-
‘Utsaimin, Syarah Riyad al-Shalihin, I/132).
Karena
itu, saat usia sudah mulai tua, hendaknya banyak mempersiapkan diri untuk
menghadapi kematiannya demi bekal dan kebahagiaan hidup setelah mati, hidup di
akhirat nanti. Ada dialog
menarik dan inspiratif antara Imam al-Fudhail bin Iyadh (w.187 H) dengan seseorang
yang sudah berusia 60 tahun:
“Berapa usia anda?”, tanya Fudhail.
“60 tahun.”, jawab orang itu.
“Anda selama 60 tahun berjalan menuju
Tuhan anda, dan sebentar lagi anda akan sampai”, komentar Fudhail.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”,
orang itu keheranan.
“Anda paham makna kalimat itu? Anda
paham tafsirnya?”, tanya Fudhail.
“Tolong jelaskan tafsirnya!”, orang itu
balik meminta.
“Anda menyatakan: innaa lillaah (kita
milik Allah), artinya kita adalah hamba Allah dan kita akan kembali kepada
Allah. Siapa yang yakin bahwa dia hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya,
seharusnya dia menyadari bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah. Dan siapa
yang meyakini hal ini, dia harus sadar bahwa dia akan ditanya. Dan siapa yang
yakin hal ini, dia harus menyiapkan jawabannya”, jelas Fudhail.
“Lalu bagaimana jalan keluarnya?”,
tanya orang itu.
“Caranya mudah”, tegas Fudhail.
Kemudia Imam Fudhail menyampaikan
sebuah kata hikmah yang sangat indah dan penuh makna:
تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ
مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا
مَضَى وَمَا بَقِيَ
Berbuat baiklah di sisa usiamu, dengan begitu
akan diampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Karena jika
kamu masih rajin bermaksiat di sisa usiamu maka kamu akan dihukum karena dosamu
yang telah lalu dan dosamu yang akan datang (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya’, VIII/113).
Pesan
al-Fudhail ini perlu direnungkan dengan seksama, selanjutnya ditindaklanjuti
dengan banyak beramal shaleh selagi usia masih ada, banyak istighfar dan banyak
berdoa. Di antara doa yang baik untuk dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh
Aisyah, Rasulullah saw.
pernah berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوْسَعَ رِزْقِكَ
عَلَيَّ عِنْدَ كِبَرِ سِنِّي وَانْقِطَاعِ عُمْرِي
“Ya
Allah, jadikan keluasan rizki-Mu padaku di masa usia tuaku dan saat terputusnya
umurku” (HR.
al-Hakim No. 1987 dan al-Thabrani No. 3611). Al-Albani: hadis
ini hasan (al-Albani, Shahih al-Jami’ al-Shaghir, II/170).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar