KIAT MENGGAPAI IKHLAS
Oleh
Nabi
saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ
الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal melainkan amal itu
dilakukan dengan ikhlas dan hanya mencari keridhan-Nya (HR. al-Nasai No. 4348).
Status Hadis
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Nasai (w. 303 H/915 M) dalam al-Sunan
al-Kubra No. 4348. Beberapa ulama lain yang juga meriwayatkan hadis
tersebut di antaranya Imam al-Thabarani (w. 360 H/971 M) dalam al-Mu’jam
al-Kabir No. 7628, Imam Abu Nu’aim (w. 430 H/1038 M) dalam Hilyat
al-Auliya, V/232, Imam Ibn al-Fadl al-Asbahani (w. 535 H) dalam al-Targhib
Wa al-Tarhib No. 97, dan al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam Jami’
al-Ahadis No. 6985. Al-Albani menilai hadis
tersebut hasan-sahih (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasai, VII/212
No. 3140).
Kandungan
Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa
amal yang akan diterima oleh Allah adalah amal-amal yang dilakukan dengan
ikhlas dan semata-mata mencari keridhaan Allah. Selanjutnya, apa yang dimaksud
dengan ikhlas itu dan bagaimana cara menggapai ikhlas saat beramal?
Ikhlas artinya murni.
Dalam bahasa Arab air murni disebut dengan alma’ al-khalish. Amal
yang ikhlas artinya amal yang dilakukan murni semata-mata karena Allah. Apabila
ada sedikit saja kepentingan yang lain, misalnya ingin tampil beda, ingin dapat
perhatian publik, maka amalnya itu menjadi tidak murni lagi. Artinya,
keikhlasannya sudah tercemar atau dianggap tidak ikhlas lagi. Bila amalnya
sudah tidak ikhlas maka tidak akan diterima oleh Allah, bahkan ia terancam
masuk ke dalam neraka.
Sulaiman Bin Yasar ra meriwayatkan
bahwa sekelompok pemuka penduduk Syam (Syiria) bertanya kepada Abu Hurairah.
Mereka berkata, “Wahai Tuan Guru! Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang
tuan telah dengarkan langsung dari Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi Saw
bersabda: “Sesungguhnya orang pertama yang akan diputuskan pada hari kiamat
kelak adalah seorang yang mati syahid. Ia akan dihadapkan kepada Allah dan
diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu
diakuinya. Kemudian ditanya oleh Allah: ''Lalu, apa amalanmu terhadap nikmat
itu?''.
Jawabnya: ''Aku telah berperang untuk-Mu hingga
mati syahid''. Maka Allah menjawab: ''Dusta kamu, tetapi kamu berperang untuk
dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani''. Lalu ia diseret oleh malaikat dan
diperintahkan untuk dilempar ke dalam neraka. Yang kedua dihadapkan kepada
Allah adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai
membaca al-Quran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh
dan ia mengakuinya. Kemudian ia ditanya: ''Lalu, apa amalanmu dengan nikmat itu?''.
Jawab orang itu: ''Aku telah belajar ilmu untuk-Mu
dan mengajarkannya, serta membaca al-Quran untuk-Mu.'' Allah menjawab: ''Dusta kamu,
tetapi kamu belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca al-Quran agar
mendapat gelar qari, dan kamu sudah menikmatinya di dunia''. Kemudian
diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.
Orang yang ketiga yang dihadapkan kepada Allah
adalah orang yang diluaskan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai kekayaan.
Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat yang telah diberikan oleh Allah
kepadanya, dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ''Lantas, apa amalanmu terhadap
nikmat itu?'' Jawab orang itu: ''Tiada suatu jalan pun yang Engkau perintahkan
mendermakan harta di dalamnya, melainkan telah saya dermakan harta di dalamnya
untuk-Mu.''
Jawab Allah: ''Dusta kamu, tetapi kamu mendermakan
harta itu agar disebut dermawan, dan kamu telah dikenal demikian di dunia''.
Maka Allah kemudian memerintahkan malaikatnya untuk melemparkan orang itu ke
dalam neraka” (Imam Muslim, Shahih Muslim, VI/47 No. 5032(.
Hadis tersebut memberikan
pelajaran berharga tentang pentingnya meluruskan niat dalam
setiap beramal ibadah. Jangan sampai amal-amal yang kita lakukan justru sia-sia
karena niat kita yang tidak lurus, sehingga membuat Allah murka.
Pengertian
Ikhlas
Imam al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah
al-Qusyairiyah mengutip beberapa pandangan ulama tentang ikhlas.
Menurutnya, ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan
amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Amal yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan
perlakuan baik dan pujian dari makhluk. Lebih lanjut al-Qusyairi mengatakan:
“Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia”. Jika kita sedang
melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan
pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan
seharusnya yang dicari adalah ridha Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah
Al-Mar’asyi mengatakan: “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara yang
zhahir (tampak) dan yang batin (tersembunyi)”. Sebaliknya, riya’ adalah amalan
zhahir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan.
Dzun
Nuun al-Mishri menyebutkan ada tiga tanda ikhlas. Pertama, tetap bersikap sama
antara dapat pujian dan celaan orang lain. Kedua, melupakan amalan kebajikan
yang dulu pernah diperbuat. Ketiga, lupa terhadap hak pahala di akhirat.
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan: “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’.
Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah kamu
terselamatkan dari dua hal tadi” (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah,
207-210).
Dari
beberapa pandangan ulama tersebut dapat difahami bahwa hakikat ikhlas itu
adalah (1) meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah. (2) Tidak mengharap-harap
pujian manusia dalam beramal. (3) Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang
tersembunyi. (4) Melupakan akan balasan dari amalannya di akhirat.
Kiat Menggapai ikhlas
Pertama, banyak berdoa. Mengingat ikhlas merupakan perkara yang tidak mudah
digapai, maka untuk mendapatkannya bisa dengan berdoa, memohon pertolongan
kepada Allah untuk mendapatkan kemampuan bisa beramal dengan ikhlas.
Di antara doa untuk
menjaga keikhlasan adalah: “Ya Muqallibal Qulubi Tsabbit Qalbi ‘Ala Dinik (يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى
دِينِكَ), “Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu” (HR.Tirmidzi No. 2140, Ahmad No. 12107, al-Hakim No. 1926). Al-Albani
menilai hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi,
V/140).
Kedua,
Menyembunyikan amal kebaikan. Ini
adalah cara jitu untuk menggapai keiklasan. Jika masih ada rasa berat untuk
menyembunyikan amalan, maka sadarilah bahwa itu merupakan tanda ketidakiklasan
amalan kita. Menyembunyikan amal dapat mendorong seseorang berbuat ikhlas. Amal
kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain hasilnya lebih mudah
mengarah ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal
tersebut kecuali hanya karena Allah semata.
Rasulullah saw. bersabda: “Ada tujuh
golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari
naungan-Nya. (Di antara tujuh golongan itu adalah orang yang sangat ikhlas ketika
beramal, yaitu) … seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya …” (HR.
al-Bukhari No.6421 dan Muslim No. 2427).
Ketiga,
menghindari ketenaran atau popularitas. Selain menyembunyikan amalan, para ulama salaf juga tidak suka dengan
ketenaran dan berusaha untuk menjauhi ketenaran, karena ketenaran akan membawa
kepada keangkuhan dan kesombongan. Selain itu, ketenaran akan membuat keikhlasan
semakin berat untuk di raih. Kebanyakan orang seperti kita, umumnya tidak segan
segan untuk mencari ketenaran, terutama di zaman sekarang yang dengan teknologi
semakin memanjakan manusia, maka ketenaran akan membuat kita bangga dan
sombong, jauh dari sifat tawadhu.
Al-Hasan
berkata: “Suatu hari saya bersama Ibnul Mubarak mendatangi suatu mata
air, sedangkan orang-orang sedang meminum air dari mata air tersebut. Lalu
Ibnul Mubarak mendekat ke mata air itu untuk ikut minum, sementara orang-orang
sekitar tidak mengenalnya. Mereka berdesak-desakan dengannya dan mendorongnya.
Tatkala keluar, ia berkata kapadaku, “Inilah kehidupan, yaitu ketika kita tidak dikenal dan tidak disegani” (Ibn al-Jauzi,
Shifat al-Shafwah, IV/135).
Keempat,
tidak terpengaruh komentar orang lain. Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal
yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah saw. pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang
yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh orang lain. Beliau menjawab: (تِلْكَ
عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ), “Itu
adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR. Muslim No. 6891).
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain
merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Seorang mukmin
yang ikhlas tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan ketika beramal salih.
Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal salih, tidaklah pujian
tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu kepada Allah swt.
Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya,
sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah
tersebut. Tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagi seseorang, demikian pula tidak
ada celaan yang dapat membahayakan seseorang. Semuanya hanya akan terjadi
dengan kuasa Allah swt.
Kelima, bergaul dengan
orang salih. Pergaulan ini sangat penting dan pergaulan ini pula yang akan
banyak mempengaruhi kita dalam bertindak, bersikap dan berfikir. Jika teman
atau pergaulan kita dikelilingi oleh orang-orang yang gila pujian, gemar pamer
dan jauh dari agama, maka yang demikian, sadar atau tidak sadar akan
mempengaruhi kita dalam mengikuti kebiasaan tersebut. Sebaliknya, jika
orang-orang yang ada di sekeliling kita adalah orang-orang yang salih, suka
bersikap rendah hati, dan ikhlas dalam setiap amalannya, maka sikap baik
tersebut bisa mempengaruhi kehidupan kita. Nabi saw. bersabda: (الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ),
seseorang itu menurut agama teman dekatnya (HR. Abu Dawud No. 4835,
al-Tirmidzi No. 2378). Al-Albani: hadis ini hasan (al-Albani, Shahih Wa
Dha’if Sunan al-Tirmidzi, V/378).
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada edisi Pebruari 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar