SAKARATUL MAUT
Oleh
DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ
فِيهَا مَاءٌ يَشُكُّ عُمَرُ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ
بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ
وَمَالَتْ يَدُهُ (رواه البخارى)
“Aisyah
ra. berkata bahwasanya di hadapan Rasulullah saw. ada satu
bejana kecil dari kulit atau
kotak yang berisi air (Umar ragu). Beliau memasukkan kedua
tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa
Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut (kepedihan)”. Beliau
menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa
beliau tercabut dan tangannya melemas” (HR. al-Bukhari No. 6510).
Status Hadis
Hadis tersebut dinilai
shahih oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam Sahih al-Bukhari No. 6510.
Selain al-Bukhari, beberapa ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut
di antaranya al-Daynuri (w. 333 H) dalam al-Mujalasah Wa Jawahir al- ‘Ilm
No. 173, al-Thabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 78, Ibn
‘Asakir (w. 571 H) dalam Ittihaf al-Zair, I/117, Ibn al-Kharrath (w. 581
H) dalam al-Ahkam al-Kubra, II/557, al-Mizzi (w. 742 H) dalam Tuhfat
al-Asyraf No. 16077, dan al-Suyuthi (w. 911 H) dalam Jami’ al-Ahadis
No. 16978. Al-Albani juga menilai
hadis tersebut shahih (al-Albani, al-Jami’ al-Shaghir No. 13131.
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menerangkan tentang saat-saat terakhir
menjelang wafatnya Nabi saw. Saat itu
Nabi memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana yang
terbuat dari kulit atau kotak berisi air, kemudian membasuh muka dengannya
seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki
sakaratul maut (kepedihan)”. Setelah itu beliau menegakkan tangannya atau jarinya dan berkata:
“Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya
melemas.
Makna Sakaratul Maut
Sakaratul maut terdiri dari dua kata, sakarat dan
al-maut. Sakarat dari kata sakara yang berarti menutup. Seorang yang mabuk
ditunjukkan dengan kata sakran karena akalnya tertutup. Kata sakaratul maut
difahami oleh kebanykan ulama sebagai kesulitan dan rasa sakit yang dahsyat
yang dialami oleh seseorang beberapa saat sebelum ruhnya meninggalkan badan.
Kondisi ini dirasakan oleh semua orang yang sedang mengalami sakaratul maut,
saat menghadapi kematiannya. Nabi saw juga mengalaminya. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Anas ra. menceritakan bahwa
tatkala kondisi Nabi semakin memburuk, Fatimah berkata: “Sungguh berat
penderitaanmu wahai Ayahku”. Beliau menjawab: لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ
بَعْدَ الْيَوْمِ
“Tidak ada penderitaan atas Ayahmu setelah
hari ini…” (HR. al-Bukhari No. 4446).
Selanjutnya dalam hadis riwayat al-Tirmidzi, ‘Aisyah
ra. menceritakan: “Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya),
sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah saw.” (HR. al-Tirmidzi
No. 979).
Lebih lanjut, terjadinya sakaratul maut ini
dijelaskan oleh Nabi saw secara rinci pada hadis riwayat Ahmad dalam al-Musnad
No. 18534 dan
al-Bayhaqi dalam
Syu’ab al-Iman No. 390. Nabi saw menuturkan: “Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak
meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh
segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari.
Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan
duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat
kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju
kepada ampunan dan keridhaan Allah”. Segera
ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air
yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut
menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para
malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya
sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh
orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah
mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum,
bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia.
Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para
malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan
bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu harum”. Malaikat pembawa ruh
itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut
dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah
dipanggil dengannya)” …
Bila orang kafir, pada riwayat
lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan
akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Mereka berwajah
hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya
sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat
kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang buruk, bergegas keluarlah dari ragamu menuju
kepada kebencian dan kemurkaan Allah”. Segera ruh orang jahat itu
menyebar ke seluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut
ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang
basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya. Dan bila
ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih
dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di
tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membungkusnya
dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan
bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para
malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu
melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu buruk.” Malaikat pembawa ruh
itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut
dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah
dipanggil dengannya)” … (HR. Ahmad dan Ibn
Majah). Al-Albani: hadis ini sahih
(al-Albani, Ahkam al-Jazaiz, I/156-158).
Allah memperingatkan: “Seandainya saja engkau
melihat pada waktu orang-orang zalim itu (berada) dalam kesakitan sakratul maut,
sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sembari berkata), “Keluarkanlah
nyawamu!” Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan
karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” (QS. Al-An’am, 93).
Dalam Tafsir
al-Qur’an al- ‘Adzim (QS. Al-Qiyamah, 26-30 dan al-Waqi’ah, 83-87), Ibn Katsir (w.
1372 M) menggambarkan suasana sakaratul maut: “Sekali-kali jangan. Apabila
nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan
(kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa
sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri)
dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau”.
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang
keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian
serta rasa sakit yang dahsyat. Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala
meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan
akhirat (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, VIII/281).
Syaikh
al-Sa’di (w. 1957 M) menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan
keadaan orang yang sedang sekarat (akan tercabut nyawanya), bahwa ketika ruh
sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher
(kerongkongan). Maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari
segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu
Allah berfirman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan dapat
menyembuhkan?” Artinya siapa yang akan meruqyahnya (dari kata ruqyah). Pasalnya, mereka telah
kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung
sekali pada terapi Ilahi. Namun qadha dan qadar jika telah tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa
sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri)
dengan betis (kanan).
Maksudnya
kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan
semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih
bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan
mengakui perbuatannya.
Peringatan
Allah ini akan dapat mendorong hati siapa saja untuk bergegas menuju
keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi,
orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat,
senantiasa berbuat sesat dan kekufuran serta penentangan” (Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, I/900).
Setiap orang
yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan
kadar keimanan mereka. Karena itu para Nabi as. adalah golongan yang paling
dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah
saw.:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ
ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang
berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya,
kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.”
(HR. Al-Tirmidzi No. 2398, Ibnu Majah No. 4023, dan
lain-lain). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah
al-Sahihah al-Kamilah, I/142).
Pada suatu hari sahabat
Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu bertanya
kepada Ka’ab al-Ahbar:
ياكعْبُ! حَدِّثْنَا عَنِ الْمَوْت. فَقَالَ يا أمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ! إِنَّ الْمَوْتَ كغُصْنٍ كثِيرِ الشَّوْك أدْخِلَ في جَوْفِ
رَجُلٍ، فَأخَذَتْ كلُّ شَوْكة بِعِرْقٍ، ثُمَّ جَذَبَه رَجُلٌ شَدِيدَ الْجَذْبِ،
فَأخَذَ مَا أخَذَ وَأبْقَى مَا أبْقَى
“Wahai Ka’ab, ceritakan kepada kami tentang
kematian (sakaratul maut)”. Ka’ab pun
berkata: “Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan
sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan, sehingga
setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu
sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa.
Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan
tersisa!” (HR. Abu Nu’aim Al Asbahani, Hilyatul Auliya’, V/365, Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf,
VII/236, dan al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, IV/463).
Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa dahsyatnya
kematian (kengerian dan penderitaan saat sakaratul maut) tidak menunjukkan
berkurangnya martabat bagi orang beriman, tetapi malah menjadi tambahan
kebaikannya dan terhapusnya dosa-dosanya (al-Asqalani, Fath al-Bari,
XI/363).
Godaan
Iblis Saat Sakaratul Maut
‘Abdullah anak Imam Ahmad bin Hambal menceritakan: “Ketika ayahku menjelang wafat, aku duduk di sampingnya sambil memegang
selembar kain untuk merapatkan kedua rahangnya, saat itu beliau sedang
sakaratul maut. Beliau kehilangan kesadaran, sehingga kami mengira beliau telah
wafat. Kemudian beliau sadar kembali sambil berkata, tidak…! belum…! tidak…!
belum…! Ia mengucapkannya hingga tiga kali. Pada ucapannya yang ketiga kali aku
tanyakan kepadanya: “Wahai ayahku, apa yang engkau ucapkan di saat seperti
ini?”. Beliau menjawab: “Hai anakku, apakah engkau tidak mengetahui?”. “Tidak, jawabku”.
Maka ia berkata: “Iblis… terlaknat! Ia duduk dihadapanku sambil menggigit
ujung-ujung jarinya seraya berkata: “Hai Ahmad! Engkau (hebat) telah
selamat dariku, lalu aku menjawabnya: “Tidak… belum… (Aku belum selamat darimu)
hingga aku mati” (al-Dhahabi, Siyar
A'lam al-Nubala‘, XXI/403, Ibn Asakir, Tarikh
Dimasyq, V/325).
Begitu kuat dan besarnya tekad iblis dalam berusaha menyesatkan manusia
hingga saat-saat terakhir kehidupan manusia. Iblis terus berusaha membangkitkan
perasaan ujub terhadap amal shalihnya, bahwasanya manusia telah banyak
beribadah sehingga timbul riya dan sum’ah terhadap semua kebajikan dan amal
shalih yang pernah dilakukannya. Ini tipu muslihat iblis agar mampu menundukkan
mukmin yang tekun beribadah pada Allah.
Doa
Untuk Kemudahan Sakaratul Maut
Agar saat sakaratul maut mengalami kemudahan atau
keringanan dan selamat dari tipudaya iblis, Nabi saw. mengajarkan doa-doa
sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ
الْمَوْتِ
Ya
Allah, tolonglah aku saat menghadapi sakaratul maut (HR. al-Nasai, al-Sunan
al-Kubra No. 7101, al-Hakim, al-Mustadrak No.3731 dan al-Thabrani, al-Mu’jam
al-Kabir No.18613). al-Hakim dan al-Dhahabi menilai sanad hadis ini sahih.
وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِى
الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ
Dan
aku berlindung kepada-Mu saat setan berusaha
menyesatkan aku menjelang kematian (sakaratul maut) (HR. Abu Dawud, Sunan
Abi Dawud No. 1554, al-Nasai, Sunan al-Nasai
No. 5531, dan lain-lain). al-Albani juga menilai hadis ini sahih
(al-Albani, Shahih Abi Dawud No. 1388).
(Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM-Jawa Timur pada Desember 2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar