TANDA HAJI MABRUR
Oleh
أنَّ
رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم قال... الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ
إِلاَّ الجَنَّةَ
(متفقٌ
عليه عن أبى هريرة )
Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “…Haji yang
mabrur itu
tiada balasannya kecuali surga” (HR. al-Bukhari No.
1773 dan Muslim No. 3355).
Status Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari No. 1773
dan oleh Muslim dalam Sahih Muslim No. 3355. Hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh beberapa ulama Hadis yang lain, di antaranya al-Tirmidzi
dalam Sunan al-Tirmidzi No. 933, al-Nasai dalam Sunan al-Nasai
No. 2629, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah No. 2888, Ahmad dalam Musnad
Ahmad No. 7354, Malik dalam Muwatta Malik No. 1257, Ibn Abi Syaibah
dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah No. 12639, al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir No. 880, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban No. 3696, Ibn
Khuzaimah dalam Sahih Ibn Khuzaimah No. 2513, dan al-Bayhaqi dalam Sunan
al-Bayhaqi No. 1344. Al-Albani juga menilai
hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah, III/274).
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan tentang keutamaan haji mabrur. Dalam versi yang agak
lengkap diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda bahwasanya
umrah ke umrah berikutnya
menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya
kecuali surga. Al-Nawawi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “'tidak ada balasan yang pantas
baginya selain surga” adalah bahwasanya orang yang berhaji mabrur itu tidak
cukup jika hanya dihapuskan dari sebagian dosanya, tetapi ia memang pantas
masuk ke dalam surga"(al-Nawawi,
Syarh
Shahih Muslim, IX/119).
Hadis yang sama dalam
redaksi lain ada tambahan tentang tanda-tanda kemabruran haji. Nabi saw.
ditanya:
وَمَا بِرُّهُ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ
الْكَلَامِ
Apa tanda-tanda kemabrurannya (haji)? Nabi menjawab:
“Suka memberi makan (kaum dhu’afa’) dan santun bicaranya”. Hadis ini
diriwayatkan oleh Ahmad, al-Thabrani dengan sanad yang hasan, juga oleh Ibn
Khuzaimah, al-Hakim, dan al-Bayhaqi dengan sanad yang sahih. Dalam Riwayat
Ahmad dan al-Bayhaqi disebutkan “suka memberi makan dan suka memberi salam”
(al-Mundziri, al-Targhib Wa al-Tarhib, II/106).
Pengertian Haji Mabrur
Ibn Mandzur, dalam kitabnya (Lisan al- ‘Arab, IV/51), menjelaskan
bahwa kata mabrur itu mengandung dua arti:
Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Dalam pengertian ini, haji mabrur
adalah haji yang dilaksanakan dengan baik, tidak diperbuat di dalamnya hal-hal
yang dilarang seperti berkata kotor, berbuat fasik dan menyakiti atau
mengganggu orang lain termasuk menyuap orang untuk kemudahan amalnya sementara
orang lain mendapatkan kesulitan karenanya. Selain itu, bekal yang dibawa untuk
berhaji adalah bekal yang halal dan bersih (Ibn Abd al-Barr, al-Tamhid, XXII/39; Ibn Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, IV/435).
Kedua, mabrur berarti maqbul atau diterima dan diridhai oleh Allah swt. Dalam
hal ini, haji mabrur adalah haji yang tata caranya dilakukan dengan baik dan
benar sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan memperhatikan syarat-syarat
dan rukunnya serta hal-hal yang wajib diperhatikan dalam berhaji (al-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, V/12; al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, III/586).
Dari dua keterangan tersebut dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji
yang diterima dan diridhai oleh Allah swt, karena ibadah hajinya telah
dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.
Beberapa Indikator Haji yang Mabrur
Tidak mudah untuk mengetahui siapa-siapa yang
berhasil meraih haji mabrur. Namun demikian, Rasulullah saw. pernah memberikan
beberapa indikatornya. Di antaranya telah diterangkan dalam hadis sebagai
berikut:
عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْحَجُّ
الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ قِيْلَ وَمَا بِرُّهُ ؟
قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ (رواه أحمد والطبرانى وغيرهما)
Artinya: Dari Jabir ra. Nabi saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada
balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda kemabrurannya?”.
Nabi Saw menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam
berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain). Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan hadis ini
sahih li ghairih (al-Albani, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib,
II/3).
Imam al-Nawawi dalam Kitabnya al-Idhah Fi
Manasik al-Hajj wa al- ‘Umrah mengatakan:
اَلْحَجُّ
الْمَقْبُوْلُ هُوَالَّذِيْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ بَعْدَ رُجُوْعِهِ خَيْرًا
مِمَّا كَانَ
Artinya: Haji yang maqbul (mabrur) itu tanda-tandanya adalah setelah ia
pulang dari haji, keadaannya lebih baik daripada sebelumnya (al-Nawawi, al-Idhah
Fi Manasik al-Hajj Wa al- ‘Umrah, 516).
Dari keterangan hadis Nabi Saw dan penjelasan Imam
al-Nawawi tersebut dapat difahami bahwa indikator kemabruran haji seseorang itu
dapat dilihat dari tiga hal:
Pertama, suka memberi makanan (إطعام الطعام).
Perkataan “memberi makanan” ini harus difahami
lebih luas, yaitu kesediaan untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan
untuk menyumbangkan sebagian harta kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa. Dalam
hal ini termasuk membantu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan
(pengobatan), sandang, pangan maupun papan. Membantu orang-orang miskin
termasuk hal terpenting dalam beragama. Allah bahkan terang-terangan menyebut
sebagai pendusta agama, bagi orang yang tidak mau membantu orang-orang miskin
dan menyayangi anak yatim. (QS. Al-Ma’un, ayat 1-3).
Tentang kemuliaan suka berbagi ini, terdapat kisah
menarik. Suatu hari seorang ‘alim tertidur pulas di bawah pohon dalam menempuh
perjalanan spiritualnya, mencari makna kearifan hidup. Ia bermimpi bertemu
malaikat yang memberitahukan kepadanya bahwa di antara sekian banyak orang yang
naik haji hanya satu yang berhasil meraih haji mabrur, sambil memberi tahu
ciri-ciri orang yang beruntung itu. Setelah ia terbangun, segera mencari orang
yang dimaksud itu. Betapa terkejutnya setelah bertemu, ternyata orang itu tidak
menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu. Maka ia berusaha menemuinya dan
bermalam di rumahnya untuk mencari tahu apa rahasianya sehingga ia mendapat
pahala sekelas haji mabrur.
Setelah beberapa hari menginap di rumah orang itu,
ia tidak menemukan hal-hal yang istimewa dari orang itu. Ibadahnya biasa-biasa
saja. Akhirnya, orang itu cerita bahwa dulu pernah berniat menunaikan ibadah
haji dan mengumpulkan bekal sedikit demi sedikit dari keringatnya sendiri. Setelah
bekal itu cukup dan hendak digunakan untuk berangkat haji, tiba-tiba ada orang
miskin yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena ia tak tega melihat
penderitaan si miskin itu, ia pun memberikan bekal hajinya itu untuk keperluan
dan hajat si miskin, sehingga ia tidak jadi menunaikan ibadah haji.
Demikianlah kisahnya, ia tak jadi berangkat haji,
tetapi malah mendapat predikat haji mabrur. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Dalam hadis shahih al-Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda:
فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ
فَلَمْ يَعْمَلْ بِهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (متفق عليه)
Artinya: “Barangsiapa berniat melakukan kebaikan (misalnya niat haji),
kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka ia dicatat oleh Allah mendapatkan
pahala kebaikan (haji) yang sempurna”. (HR. Al-Bukhari No. 1491 dan Muslim No. 355).
Secara subtansial, hadis tersebut membenarkan kisah
di atas. Ia sudah niat haji, tetapi tidak jadi berangkat haji karena ada
keluarga miskin yang sangat membutuhkan pertolongannya, sehingga bekal hajinya
diberikan kepadanya. Ini prioritas. Karena itu maka ia layak mendapatkan pahala
haji mabrur.
Kedua, bertutur kata yang lembut (وطيب الكلام).
Kalimat thib al-kalam,
selain difahami bertutur kata yang baik, juga bisa berarti berbudi
pekerti yang luhur atau berakhlak yang mulia. Prilaku ini nampak pada
orang-orang yang beribadah haji, baik saat berhaji maupun sesudahnya. Akhlak
yang mulia ini nampak pada tutur katanya yang lembut, baik dan bersahaja. Tidak
suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Kalau berbicara kalimatnya
sederhana, disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Raut mukanya diusahakan
cerah, manis dan simpatik sehingga orang lain senang berbicara dan bergaul
dengannya. Lidah dan tangannya dikendalikan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu orang lain.
Dalam haji, banyak orang tergoda untuk melakukan
kesempurnaan ibadahnya, baik yang rukun, wajib maupun sunnahnya dengan berbagai
cara. Ketika hendak mencium hajar aswad misalnya, banyak orang yang secara egois
berusaha keras dengan cara menyingkirkan orang lain bahkan menyakitinya agar
dia sendiri berhasil mencium hajar aswad itu. Dia tidak sadar bahwa ketika ia
hendak meraih hajar aswad itu ia telah menyakiti banyak orang. Menurut agama,
menyakiti orang lain itu hukumnya haram, sedangkan mencium hajar aswad itu
hanyalah sunnah hukumnya. Prilaku ini termasuk akhlak yang rendah dan tidak
sepantasnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji.
Orang yang akan meraih haji mabrur indikatornya mulai nampak pada saat ia
berhaji. Ia tidak ingin mengganggu orang lain, tetapi ia malah berusaha untuk
membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain sesama jama’ah haji. Hal
ini nampak pada saat keberangkatan haji, naik kendaraan, antri pemeriksaan
paspor, mencari kamar penginapan di hotel dan saat-saat pelaksanaan ibadah haji
dari ketika ihram, wuquf di ‘Arafah, Muzdalifah, di Mina dan melempar jamarat,
thawaf dan sa’i. Ia berusaha menghindari pertengkaran, berkata kotor dan
berbuat fasik.
Nabi Saw. bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ
يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ (متفق عليه)
Artinya: “Barangsiapa menunaikan ibadah haji sedang ia tidak berkata
kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali pulang dalam keadaan bersih
seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Inilah janji Allah dan
RasulNya.
Bagi orang yang ingin meraih haji yang mabrur maka
ia harus berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya, lidahnya, tangannya agar
tidak mengganggu orang lain. Sebaliknya ia seyogyanya berusaha untuk dapat
membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.
Ketiga, setelah pulang haji kehidupannya menjadi lebih baik daripada
sebelum haji.
Indikator yang ketiga ini justru menjadi ukuran
yang paling penting, karena apa yang dikatakan Imam al-Nawawi bahwa tanda-tanda
kemabruran ibadah haji seseorang adalah kehidupannya setelah haji menjadi lebih
baik ketimbang keadaannya sebelum haji, sebenarnya mengandung makna yang
selaras dengan perkataan Nabi Saw. bahwa tanda-tanda kemabruran haji seseorang
itu adalah suka membantu, memberikan makan orang lain dan suka bertutur kata yang
lembut hingga orang lain banyak yang suka kepadanya.
Maksudnya, untuk mengetahui keadaan seseorang yang
yang hajinya mabrur, dapat dilihat dari pola kehidupannya setelah pulang haji.
Apakah ia setelah pulang dari hajinya kemudian suka membantu orang miskin, suka
memberi makan, membantu pengobatan dan pendidikan serta memberikan pakaian dan
kebutuhan lainnya? Apakah ia juga berusaha bertutur kata yang lembut, santun
dan bersahaja. Tidak tinggi hati, tidak sombong, tidak meremehkan orang lain?
Apakah ia berusaha menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang dapat
menyebabkan orang lain terganggu atau tersakiti? Apakah ia juga berusaha untuk
dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain?
Jika semuanya itu dapat dilakukan dengan baik, maka
tanda-tanda kemabruran haji telah melekat pada dirinya. Insya Allah!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Agustus 2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar