SOMBONG PENGHALANG HIDAYAH
Oleh
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ
يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ إِنَّ اللَّهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (رواه
مسلم)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra., Nabi saw.
bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang bertanya: “Bagaimana dengan
seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran
dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim no. 275).
Status Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dan dimasukkan ke dalam kitab al-Sahih
no. 275. Selain diriwayatkan Imam Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh
sejumlah Imam hadis yang lain, di antaranya Imam Abu Dawud dalam al-Sunan
no. 4094, Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan no. 1999, Imam al-Hakim
dalam al-Mustadrak no. 7366, Imam al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
no. 556, Imam Ibn Hibban dalam al-Sahih no. 5466, Imam al-Thabrani dalam
al-Mu’jam al-Kabir no. 6479, Imam al-Thahawi dalam Syarh Musykil
al-Atsar no. 5557, dan Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 5782. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (Sahih
al-Adab al-Mufrad, I/219).
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menerangkan bahwa bila seseorang ada
kesombongan dalam hatinya, walaupun rasa sombong itu hanya sedikit, maka ia tidak akan bisa masuk ke
dalam surga. Yang dimaksud dengan kesombongan itu buka lantaran memakai pakaian
yang bagus atau alas kaki yang bagus, tetapi kesombongan yang sejati adalah
menolak atau tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan atau merendahkan orang
lain.
Faisal
bin Abd al-Aziz dalam kitabnya Tathriz Riyad al-Shalihin mengatakan
bahwa hadis tersebut menunjukkan haramnya bersikap sombong. Adapun menggunakan sesuatu
(pakaian, kendaraan, dan lain-lain) yang bagus dan indah, asal tidak disertai rasa
membanggakan diri dan bermegah-megahan, tetapi semata-mata untuk menikmati dan
mensyukuri anugerah Allah swt., maka yang demikian itu tidak termasuk sikap al-kibr
(sombong) (Faisal bin Abd al-Aziz, Tathriz Riyad al-Shalihin, I/404).
Kesombongan
itu ada dua macam, yaitu sombong terhadap al-haq (kebenaran) dan
sombong terhadap al-khalq (makhluk Allah). Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. pada hadis di
atas bahwa “sombong yang sebenarnya adalah menolak kebenaran dan suka
meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan
berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia
yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada
apa-apanya dan melihat dirinya lebih baik dibandingkan dengan orang lain (al-Utsaimin,
Syarh Riyad al-Shalihin, I/644).
Dua Macam Kesombongan
Pertama,
Sombong
terhadap kebenaran (al-haq) adalah menolak kebenaran yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya dan tidak mau menerimanya. Sikap sombong inilah yang
menyebabkan ia tidak bisa (terhalang) mendapatkan hidayah. Sesuai fitrahnya,
seharusnya seorang hamba tunduk dan patuh kepada kebenaran. Karena itu maka
orang-orang yang dinyatakan sombong yakni tidak mau patuh kepada risalah Allah
dan Rasul-Nya, ia dinyatakan kafir dan terancam masuk ke dalam neraka. Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا
بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kamu aku
beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras
lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong)” (HR. al-Bukhari
no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Karena itu, wajib bagi
setiap mukmin untuk bertekad bulat dalam mendahulukan kebenaran (petunjuk Allah
dan Rasul-Nya) di atas pendapat orang lain, siapapun orangnya. Selanjutnya
memperhatikan hasil-hasil ijtihad ulama terdahulu yang merujuk kepada kedua
Kitab tersebut. Apabila seorang mukmin sudah berusaha mencari kebenaran melalui
cara-cara tersebut dan masih ada kesalahan yang mungkin karena keterbatasan
dalam memahaminya, maka kesalahannya akan dimaafkan, karena dalam hatinya sudah
bermaksud untuk menerima kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Sikap inilah yang kemudian
disebut sebagai orang yang rendah hati (tawadhu) terhadap kebenaran.
Kedua, sombong terhadap sesama manusia adalah
bersikap meremehkan dan merendahkan orang lain. Sikap seperti ini bisa muncul
karena adanya I’jab al-mar’i binafsih (bangga terhadap dirinya sendiri)
dan merasa lebih hebat dan lebih mulia daripada orang lain. Adanya sifat ujub ini
akan membawa seseorang untuk merasa lebih hebat (sombong) daripada orang lain, kemudian
meremehkan dan mengolok-olok mereka serta merendahkan mereka dengan ucapan dan
perbuatannya. Rasulullah saw. memperingatkan:
بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat
kejelekan (kejahatan) dengan merendahkan saudaranya sesama muslim” (H.R muslim
no. 6706)..
Banyak
prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dikategorikan kesombongan. Syekh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mencontohkan beberapa sikap sombong, di
antaranya membantah guru, memperpanjang pembicaraan, serta menunjukkan adab
buruk kepadanya. Bentuk
kesombongan lain adalah menganggap rendah orang yang telah memberikan masukan
(pikiran) kepadanya hanya karena dia berasal dari kalangan yang lebih rendah. Ini
banyak menimpa para penuntut ilmu. Bila ada seseorang yang mengabarkan sesuatu
sedangkan pemberi kabar itu posisi keilmuannya lebih rendah darinya, dia
menganggap rendah (tidak penting) berita itu dan tak mau menerimanya
(al-Utsaimin, Kitab al-Ilmi, I/48).
Lebih lanjut al-Utsaimin mengatakan bahwa ilmu (hidayah) akan menghindar dari orang yang sombong dan
selalu merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Ibarat air, ia selalu
menghindari tempat yang tinggi. Sebab, tempat yang tinggi akan menyingkirkan
aliran air ke kanan atau kiri dan tidak akan ada yang tergenang di atasnya.
Begitu pula halnya dengan ilmu (hidayah), ia tidak akan menetap bersama
kesombongan dan keangkuhan, bahkan bisa jadi ilmu (hidayah) itu tercabut karena
kesombongan tersebut. Karena sifat sombongnya, seseorang selalu menganggap apa
yang diucapkannya benar, sedangkan orang lain salah. Orang sombong, menurut
al-Utsaimin, biasanya gila pujian. Jika mengetahui banyak orang memujinya, ia
girang bukan main dan bertambahlah keangkuhannya.
Selain karena merasa banyak ilmu, tak sedikit pula orang yang menjadi sombong lantaran banyak harta. Seorang yang alim atau memiliki pengetahuan agama yang baik, menurut al-Utsaimin, tidak selayaknya bersikap seperti orang kaya, di mana setiap kali bertambah ilmunya bertambah pula kesombongannya. Mestinya, setiap kali bertambah ilmu, bertambah pula tawadhunya (rendah hati). Contohlah akhlak Nabi Muhammad saw. Beliau senantiasa tawadhu pada kebenaran dan tawadhu pula kepada sesama. Jika suatu saat terjadi benturan antara tawadhu pada kebenaran dan tawadhu pada manusia, Al-Utsaimin menegaskan, tawadhu pada kebenaran harus lebih diutamakan. Misalnya, jika ada orang yang mencela kebenaran dan merasa bangga bermusuhan dengan orang yang mengamalkan kebenaran, maka dalam kondisi ini engkau tidak boleh bersikap tawadhu kepadanya. Debatlah orang itu, sekali pun ia menghina atau memakimu. Bagaimanapun, engkau harus menolong kebenaran (al-Utsaimin, Kitab al-Ilmi, I/173).
Hukuman di Dunia bagi Pelaku Sombong
Dalam sebuah hadis sahih dikisahkan sebagai
berikut:
أَنَّ
رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ
« كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ
إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ (رواه مسلم)
“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah saw. dengan
tangan kirinya. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Makanlah dengan
tangan kananmu!” Orang tersebut
malah menjawab, “Aku tidak bisa”. Beliau
bersabda: “Apakah kamu tidak bisa?” Dia menolaknya karena sombong. Setelah
itu dia tidak bisa mengangkat tangannya (lagi) sampai ke mulut”
(H.R. Muslim no. 3766).
Orang tersebut mendapat hukuman dari Allah karena
menolak perintah Rasulullah saw. Dia dihukum karena kesombongannya. Hukumannya
berupa tidak bisa mengangkat tangan kanannya ke mulutnya. Inilah di
antara bentuk hukuman di dunia bagi orang yang sombong.
Jauh sebelumnya, Allah juga menunjukkan
kekuasaan-Nya terhadap Qarun yang bersikap sombong, kemudian menghukumnya
dengan menenggelamkannya ke dalam perut bumi. Alkisah, di zaman Nabi Musa
as., telah hidup seorang bernama Qarun. Ia adalah sepupu Nabi Musa. Ayah Nabi
Musa yang bernama Imran adalah kakak dari ayah Qarun yang
bernama Yashar. Baik Nabi Musa maupun Qarun adalah keturunan Nabi Ya’kub. Pada
mulanya, Qarun telah hidup dalam keadaan sangat miskin. Begitu miskinnya,
sampai-sampai ia tidak sanggup menafkahi keluarganya.
Menyadari
kondisi yang sangat memprihatinkan ini, Qarun meminta tolong kepada Nabi Musa
untuk mendoakan agar Allah memberikannya harta yang berkecukupan. Saat itu Nabi
Musa menyetujuinya tanpa ragu karena tahu betul bahwa Qarun saat itu adalah
seorang yang salih dan pengikut ajaran Ibrahim yang taat. Doa Nabi Musa pun
dikabulkan oleh Allah. Akhirnya, Qarun pun menjadi kaya raya. Ia kemudian
memiliki ribuan gudang harta yang penuh berisikan emas dan perak. Dengan bangganya,
ia memamerkan kekayaannya. Suatu saat, ia keluar dengan pakaian yang sangat mewah
dengan didampingi oleh 600 orang pelayan yang terdiri atas 300 orang laki-laki
dan 300 orang perempuan. Bukan hanya itu, ia juga dikawal oleh 4.000 orang
pengawal dan diiringi 4.000 ekor binatang ternak yang sehat, plus 60 ekor unta untuk
mengangkut kunci-kunci gudang kekayaannya (al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf,
III/346; Abu Ja’far al-Thabari, Tafsir al-Thabari, XIX/528; Abu
al-Barakat al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi, III/247).
Fantastis!
Namun
sayang, setelah keinginannya terwujud, Qarun mempergunakan harta kekayaannya
dalam kesesatan, kezaliman, dan permusuhan, sehingga membuatnya menjadi orang
yang sombong. Qarun menjadi mabuk dan terlena dengan kekayaannya. Janji Qarun
untuk tetap khusyuk beribadah dan membantu sesama, tak terbukti. Dia
mendurhakai Allah dan mengkhianati Musa as., kemudian memilih untuk menyembah
Sobek, dewa berkepala buaya serta dewa-dewa lainnya.
Ketika
Qarun diingatkan agar bersyukur kepada Allah atas harta kekayaannya yang
melimpah, ia menolak dan berkata dengan penuh kesombongan. Ia mengatakan bahwa
kekayaannnya itu adalah semata-mata karena kelihaiannya semata. Akhirnya Allah
pun murka, selanjutnya menghukum Qarun dengan menenggalamkannya ke dalam
perut bumi bersama rumah dan harta kekayaannya (QS. al-Qasas ayat 76 sd 81).
Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada bulan Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar