POSISI KAKI SAAT BERDIRI SALAT
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ
وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ
وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ (رواه البخارى)
Dari Anas bin Malik, Nabi saw. bersabda: “Luruskan saf kalian karena
aku bisa melihat kalian dari arah punggungku”. Anas berkata: “Maka salah
seorang dari kami menempelkan pundaknya ke pundak temannya, dan menempelkan
telapak kakinya ke telapak kaki temannya” (HR. al-Bukhari No. 725).
Status Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitabnya Sahih
al-Bukhari No. 725. Beberapa ulama lain yang juga meriwayatkan hadis
tersebut adalah Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 3524, al-Mundziri
dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 710, Ibn al-Atsir dalam Jami’
al-Ushul No. 3864, al-Nawawi dalam Khulashat al-Ahkam No. 2466, dan
al-Asqalani dalam al-Talhish al-Habir No. 60. Syekh al-Albani juga
menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib,
I/120).
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan tentang perintah Nabi kepada sahabatnya yang sedang
bersiap-siap mengikuti salat berjamaah untuk meluruskan saf. Saat itu ada salah
seorang sahabat yang menempelkan pundaknya ke pundak temannya dan menempelkan
telapak kaki ke telapak kaki temannya. Hadis tersebut kemudian dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum bagaimana cara mengatur saf dan bagaimana cara meletakkan
kaki saat berdiri salat, baik saat salat sendirian maupun salat berjamaah.
Pada umumnya ulama berpendapat
bahwa ketika
berdiri dalam salat, kedua kaki direnggangkan dengan jarak yang tidak terlalu
renggang dan tidak terlalu rapat. Syekh al-Utsaimin
mengatakan bahwa posisi kedua kaki saat berdiri salat adalah alamiah, tidak ada
aturan khusus. Tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang (al-Utsaimin, Fiqh
al-Ibadat, 160). Namun,
sebagian ulama berpendapat bolehnya berdiri dengan merapatkan kedua kaki,
karena ada riwayat dari Ibnu Umar ra.
عَنْ
سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُصَلِّي صَافًّا
قَدَمَيْهِ، وَأَنَا غُلامٌ شَابٌّ
Dari Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata: “aku melihat
Ibnu Umar salat dengan merapatkan kedua kakinya ketika aku masih kecil” (Al
Baghawi, Syarh al-Sunnah, III/250,
Ibn Asakir, Tarikh Dimasyqa, XX/209, al-Dzahabi, Tarikh al-Islam,
VIII/112).
Pendapat ini
dipertanyakan, karena sekedar perbuatan seorang sahabat bukanlah dalil dalam
penetapan ibadah, apalagi jika diselisihi oleh para sahabat yang lain.
Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ra.:
أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا
يُصَلِّي قَدْ صَفَّ بَيْنَ قَدَمَيْهِ فَقَالَ أَخْطَأَ السُّنَّةَ وَلَوْ
رَاوَحَ بَيْنَهُمَا كَانَ أَعْجَبَ إِلَيَّ
Ibnu Mas’ud melihat seorang lelaki yang salat
dengan merapatkan kedua kakinya.
Beliau lalu berkata: “Itu menyelisihi sunnah, andai ia melakukan al-Murawahah
(menopang dengan salah satu kakinya) itu lebih aku
sukai” (HR. Al-Nasai No. 893). Al-Albani menilai hadis
ini dhaif (al-Albani, Sahih Wa Dhaif Sunan al-Nasai, III/37).
Juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jausyan al-Ghathafani
(seorang tabi’in):
عَنْ
عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ،
فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا
بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا
مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ
Dari ‘Uyainah
bin Abdirrahman ia berkata: “Pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat
seorang lelaki yang salat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata:
“orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat
Nabi saw. salat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah
melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf No.
7063).
Menurut ulama Hanafiyah, jarak antara kedua
kaki orang yang salat saat berdiri adalah seukuran 4 kali jari-jari tangannya.
Ukuran satu kali jari-jari tangan secara umum sekitar 9-10 cm, jika dikalikan
empat maka sekitar 36-40 cm. Ukuran ini dirasa lebih mendekati kekhusyukan
karena posisi ini dianggap nyaman, sehingga tubuh lebih rileks. Ini pula yang
dipraktikkan oleh Syekh Abi Nashr al-Dabbusi (Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah
Radd al-Mukhtar, I/479).
Sedangkan
menurut ulama’ Syafi’iyah ada dua pendapat. Di dalam kitab Al-Anwar li
A’mali al-Abrar sama dengan pendapat ulama Hanafiyah, yaitu 4 kali
jari-jari tangan. Sedangkan dalam kitab Raudlat al-Thalibin karya
al-Nawawi, jarak yang dianjurkan adalah satu jengkal tangan. Satu
jengkal orang normal sekitar 22,86 cm. Ukuran ini lebih sempit daripada 4 kali
jari-jari tangan. Ukuran satu jengkal ini disamakan dengan ukuran jarak dua
kaki ketika sedang sujud (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, II/345).
Sementara
golongan Malikiyah dan Hanabilah tidak memberikan patokan ukuran tertentu.
Mereka hanya memberikan kriteria bahwa dua kaki saat berdiri dalam salat tidak
boleh menempel satu sama lain. Dari berbagai pendapat tentang jarak
antara dua kaki saat berdiri dalam salat dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat
tentang kemakruhan menempelkan dua kaki. Jadi, antara kedua kaki saat berdiri
dalam salat hendaknya renggang atau berjarak.
Adapun menghadapkan jari-jari kaki ke arah
kiblat ketika berdiri, sebagian ulama memang menganjurkannya, namun tidak
ada dalil sharih (jelas) mengenai hal ini. Berargumen dengan
keumuman dalil-dalil keutamaan menghadapkan diri ke kiblat hanyalah asumsi.
Sedangkan
posisi kedua kaki pada saat salat berjama’ah, sebagian
ulama berpendapat bahwa kaki harus menempel erat pada kaki orang di sebelahnya
sampai tidak ada celah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.: “Luruskan saf
kalian dan hendaknya kalian saling merapat, karena
aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari No. 719). Dalam
riwayat lain, terdapat perkataan dari Anas bin Malik: “Seorang dari kami (para
sahabat), menempelkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan kaki kami
dengan kaki sebelahnya” (HR. al-Bukhari No. 725).
Nabi Saw.
juga bersabda:
أقيمُوا الصفوفَ وحاذُوا
بين المناكبِ وسُدُّوا الخَللَ ولِينوا بأيدي إخوانِكم ولا تذَروا فُرجاتٍ للشيطانِ
ومن وصل صفًّا وصله اللهُ ومن قطع صفًا قطعه اللهُ
“Luruskanlah
saf kalian. Sejajarkanlah pundak-pundak kalian. Tutuplah
celah. Janganlah kalian membiarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang
menyambung saf, maka Allah akan menyambung hubungan dengannya dan barangsiapa
memutus saf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya” (HR. Abu Dawud No.
666). Al-Albani:
hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, III/243).
Dari
hadis-hadis tersebut dapat diketahui bahwa Nabi saw. tidak mengatakan:
“Renggangkanlah di antara kaki-kaki kalian!” Beliau juga tidak mengatakan: “Tempelkanlah
pundak dengan pundak juga tumit dengan tumit.” Akan tetapi seorang Sahabat
melakukan itu, ia menempelkan pundaknya dengan pundak Sahabat di sampingnya
sebagai realisasi dari perintah Rasul: “Sejajarkanlah pundak-pundak kalian!”.
Posisi ini dilakukan ketika membuat saf
dan orang-orang telah berdiri. Jadi menempelkan tadi dengan maksud untuk
membuat saf lurus. Bukanlah maknanya harus menempelkan dengan rapat yang terus
dituntut dilakukan sepanjang salat. MTT-PPM berpendapat bahwa dalam matan hadis di atas terdapat seseorang yang
tidak dikenal dan lafal “ahaduna” di atas menunjukkan bahwa hanya salah seorang
yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan kakinya dengan kaki temannya.
Hal itu menunjukkan bahwa menempelkan bahu dan kaki adalah salah satu cara
sahabat dalam merapatkan saf. Untuk itu hadis di atas tidak dapat dijadikan
pedoman dalam (hal wajibnya) merapatkan saf salat (Majalah SM. No 21 Tahun 2020).
Segala hal tentang sahabat, hanya dapat
dijadikan hujjah ketika memang dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan
sebagian. Hal demikian seperti yang dijelaskan al-Amidi: “Menurut pendapat
mayoritas madzhab bahwa hal yang tampak dari para sahabat memang disampaikan
dalam kasus penyampaian hujjah, namun dari hal tersebut yang dapat dijadikan
hujjah hanya ketika memang apa yang mereka nukil disandarkan pada perbuatan
seluruh sahabat. Sebab perbuatan sebagian sahabat tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah atas sebagian sahabat yang lain dan juga tidak menjadi hujjah bagi
selain sahabat” (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, II/111).
Dengan
demikian kewajiban menempelkan telapak kaki dan bahu satu sama lain dengan
berdasarkan hadis di atas tidak bisa dibenarkan, sebab konteks hadis di
atas hanya menjelaskan tentang keutamaan merapatkan saf dengan cara seperti
yang dilakukan sebagian sahabat, bukan tata cara yang diwajibkan bagi para
makmum yang hendak melaksanakan salat jamaah.
Dalam
Kitab Aunul Ma’bud dijelaskan bahwa hadis-hadis di atas menunjukkan praktik salat
yang dilakukan pada zaman Nabi saw. dan menjadi petunjuk tentang pentingnya menegakkan
dan meluruskan saf. Tetapi kesunnahan seperti ini sudah ditinggalkan pada masa kini.
Jika ketentuan demikian dilakukan hari ini maka manusia akan lari seperti
halnya keledai liar” (al-’Adzim Abadi, Aunul
Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, II/256).
Ibn
Hajar al-Asqalani menerangakan:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتَ
ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Ma’mar
menambahkan dalam riwayatnya: Jika engkau melakukan hal
tersebut dengan salah satu dari mereka saat ini, maka ia akan lari sebagaimana
keledai yang lepas” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, II/211).
Dengan
begitu dapat disimpulkan bahwa menempelkan kaki ke kaki orang di sebelahnya
dalam salat jamaah bukanlah suatu kewajiban, namun sebatas anjuran dalam hal
menyempurnakan saf. Sebaliknya, jika melaksanakan hal ini justru akan membuat
para jamaah yang di sebelahnya enggan mendekatinya, maka perlu kearifan dalam
penerapannya agar jamaah lain bisa merasa nyaman. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar