MULIANYA SANG PEMAAF
Oleh
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ
مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ
لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah sedekah
itu mengurangi harta, tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang suka
memberi maaf (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), dan
tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah kecuali Allah akan
meninggikan (derajat)nya (di dunia dan
akhirat)" (HR. Muslim No. 6757).
Status Hadis
Hadis tersebut dinilai sahih oleh
Imam Muslim dalam al-Shahih No. 6757. Selain Imam Muslim, ada beberapa
ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Imam Malik
dalam al-Muwaththa No. 3663, Imam Ahmad dalam al-Musnad No. 9008,
Imam al-Darimi dalam al-Musnad No. 1718, Imam al-Mundziri dalam al-Targhib
Wa al-Tarhib No. 4390, dan Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 4660. Muhammad Nashiruddin al-Albani juga
menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib,
II/322).
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan tentang tiga sikap atau prilaku yang sangat disukai dan
dipuji Allah, yaitu dermawan, pemaaf, dan tawaduk. Mengenai kedermawanan,
Nabi saw. menegaskan bahwa gemar sadaqah itu tidak akan mengurangi harta (tidak
akan menjadikan pelakunya menjadi miskin). Sedangkan sikap pemaaf, Nabi saw.
memberitahukan bahwa Allah akan membalas dengan kemuliaan kepada orang yang mau
memaafkan saudaranya yang bersalah kepadanya. Adapun tentang tawaduk,
Nabi saw. menjanjikan bahwa orang yang suka bersikap tawaduk (rendah hati) maka
Allah akan meninggikan derajatnya.
Mengingat
keterbatasan, dari tiga sikap yang disukai oleh Allah tersebut, hanya sikap pemaaf
yang dibahas dalam artikel ini. Sikap suka memaafkan merupakan sifat yang terpuji dan merupakan bagian
dari akhlak mulia yang telah diperintahkan. Allah swt. berfirman: “Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raf, VII: 199). Juga
firman-Nya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, maka mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka” (QS.
Ali Imraan, III: 159), dan firman-Nya: “…dan hendaklah mereka memaafkan serta
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Nur, XXIV: 22).
Orang-orang yang suka memaafkan dalam
al-Qur’an disebut al-‘afina (العافين). Asal katanya adalah al-‘Afwu (العفو). Al-Kafawi dalam kitabnya al-Kulliyat, menjelaskan
bahwa al-‘Afwu artinya tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat kepadanya)
walaupun mampu untuk membalasnya. Setiap orang yang berhak mendapat balasan
yang setimpal atas perilakunya, lalu orang yang disakitinya tidak menuntut
balas, kemudian dirinya ikhlas padahal ia mampu membalasnya, dan ia
membiarkannya, maka itulah yang dinamakan al-‘Afwu, memaafkan (al-Kafawi,
al-Kulliyat, I/53,598).
Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling
pemaaf dan berlapang dada. Dijelaskan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ra. bahwasanya Nabi Muhammad
saw. bersabda: “Ada seseorang yang datang kepadaku dan ketika itu aku sedang
tertidur, lalu dirinya menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri
tepat di atas kepalaku namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang
berada di tangannya. Kemudian dia berkata padaku, “Siapakah sekarang yang akan
membelamu? Aku menjawab: “Allah”. Kemudian dia mengulangi kembali: “Siapakah
yang akan menolongmu? Aku menjawab kembali: “Allah”. Nabi saw. mengatakan:
“Seketika itu orang tadi menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk dan
Rasulallah saw. tidak membalasnya” (HR. al-Bukhari No. 2910 dan Muslim No.
843). Dalam redaksi lain disebutkan: “Kemudian Rasulallah saw. tidak
menyakiti orang tersebut” (HR. al-Bukhari No. 4135).
Ibnu Abbas ra. berkata: “Uyainah
bin Hishan bin Hudzaifah pernah datang
menemui Umar bin Khatab, kemudian dia berkata: “Inilah wahai Ibnu Khatab, demi
Allah kamu tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami
secara adil”. Mendengar hal itu, Umar langsung naik pitam, marah sampai dirinya
berkeinginan buruk padanya. Lalu al-Hur bin Qais mengingatkan: “Wahai Amirul
mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah Ta’ala berkata pada Nabi-Nya, Muhammad saw.:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ
عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS.
al-A’raf, VII: 199). Sikap seperti ini adalah sikapnya orang jahiliyah”. Sang
rawi mengatakan: “Demi Allah tidak sampai sempurna ayat tersebut dibacakan pada
Umar melainkan dirinya langsung meredam emosinya. Dan beliau adalah
orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah” (HR. al-Bukhari No. 4642;
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, III/532).
Sifat pemaaf juga merupakan akhlaknya para ulama dan
orang-orang shalih. Di zaman Abbasiyah, Khalifah al-Mu’tashim pernah
menjebloskan Imam Ahmad ke dalam penjara dan memukulnya dengan cemeti (cambuk)
sampai pingsan, serta darah mengalir di sekujur tubuhnya. Namun, Imam Ahmad
berkata: “Aku jadikan kehormatanku halal untuk Abu Ishaq, yakni al-Mu’tashim, dan
aku telah maafkannya”. Imam Malik juga pernah dimasukan ke dalam penjara
dan dipukul dengan cambuk sampai tangannya patah, namun beliau memaafkan
orang yang menyiksanya. Bila dikumpulkan kisah-kisah mereka, sangatlah banyak
para ulama yang menunjukan sifat pemaafnya saat menghadapi siksaan
penguasa pada masanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Aku tidak senang
bila membela diriku semata dari seseorang dengan sebab karena kedustaan yang
ditimpakan padaku, atau kedzaliman serta permusuhan terhadapku. Sesungguhnya
aku telah menghalalkan setiap muslim (yang pernah menyakitiku). Saya mencintai
kebaikan bagi setiap muslim, dan mengharapkan setiap mukmin melakukan kebaikan
seperti yang aku cintai bagi diriku. Adapun orang-orang yang mendustakan dan
berbuat dhalim atasku maka mereka semua telah aku maafkan” (Ibn
Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/55).
Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada Jabir bin Sulaim:
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ
وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ
فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Jika ada seseorang yang menghinamu dan
mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah
engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk
biarlah ia yang menanggungnya” (HR. Abu Dawud No. 4084 dan al-Tirmidzi
No. 2722).
Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadis ini shahih (al-Albani, al-Silsilah
al-Shahihah, II/399).
Tidak mudah memang, saat ada orang mendzalimi
kita, lantas kita tidak membalasnya. Namun, hadis tersebut mengajari kita, ketika
dipermalukan dan dihina, kita tidak perlu membalas dengan menghina dan
mencela orang tersebut walaupun kita tahu kekurangan yang ada pada dirinya dan
bisa menjatuhkannya. Biarlah akibat jelek dari mencela dan menjatuhkan itu,
akan ditanggungnya di akhirat, demikian pesan Nabi saw.
Ibnu ‘Abbas ra. mengatakan: “Allah memerintahkan kepada
orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, dan membalas dengan
kebaikan jika ada yang buat jahil, serta memaafkan ketika ada yang buat
jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari
gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula
bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini”.
Ibnu Katsir mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah
orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yang menyakiti kita dengan
kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa” (Ibn Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, VI/ 529-530).
Jika kita sanggup memaafkan orang
lain, Allah menjanjikan dengan firman-Nya: “Barang siapa memaafkan dan
berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Al-Syura: 40).
Dikisahkan, pada suatu hari, Rasulullah saw. sedang berkumpul dengan para
sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabat, tiba-tiba Rasulullah saw.
tertawa ringan sampai terlihat gigi depannya. Umar r.a. yang berada di situ,
bertanya: "Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah?" Rasulullah saw.
menjawab: "Aku di beritahu Malaikat, bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua
orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala di hadapan Allah swt".
Salah seorang mengadu kepada Allah sambil berkata: ‘Ya Rabb,
ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat dzalim
kepadaku'. Allah swt. berfirman: "Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan
saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya sedikitpun?"
Orang itu berkata: "Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul
olehnya".
Sampai di sini, mata Rasulullah saw. berkaca-kaca. Beliau tidak
mampu menahan tetesan airmatanya. Beliau menangis. Lalu berkata: "Hari itu
adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang
lain yang memikul dosa-dosa nya". Rasulullah saw. melanjutkan kisahnya.
Lalu Allah berkata kepada orang yang mengadu tadi:
"Sekarang angkat kepalamu". Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia
berkata: "Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana yang terbuat
dari emas, dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas dan perak
bertatahkan intan berlian. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb?
Untuk orang shiddiq yang mana, ya Rabb? Untuk Syuhada yang mana, ya Rabb?"
Allah swt. berfirman: "Istana itu akan diberikan kepada orang yang sanggup
membayar harganya".
Orang itu berkata: "Siapakah yang mampu membayar harganya,
ya Rabb?". Allah berfirman: "Engkau pun mampu membayar
harganya". Orang itu terheran-heran, sambil berkata: "Dengan cara apa
aku membayarnya, ya Rabb?" Allah berfirman: "Caranya, engkau maafkan
saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya
kepada-Ku". Orang itu berkata: "Ya Rabb, kini aku memaafkannya".
Allah berfirman: "Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk
surga bersamamu".
Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah saw. berkata:
"Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai
dan memaafkan. Sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di
antara kaum muslimin". Hadis ini statusnya diperselisihkan. Sebagian ulama
melemahkannya, sedangkan al-Hakim menilai sanadnya shahih (HR. al-Hakim, al-Mustadrak
No. 8718, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, II/348, dan al-Suyuthi,
al-Durr al-Mantsur, VII/19). Wallahu A’lam!
Artikel ini pernah dimuat di majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Mei 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar