PUASA MENJADI PERISAI
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الصِّيَامُ جُنَّةٌ
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Puasa itu perisai”
(HR. Muslim No. 2761).
Status Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dan dimasukkan ke dalam kitab al-Sahih hadis No. 2761. Selain Muslim,
beberapa ulama ahli hadis yang meriwayatkan hadis tersebut adalah al-Bukhari dalam
al-Sahih No. 1894, Abu Dawud dalam al-Sunan No. 2365, al-Nasai dalam al-Sunan No. 2228, Ibn Majah dalam al-Sunan No. 1639, Ahmad dalam al-Musnad No. 8128, Ibn Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf No. 8891, Abd al-Razzaq dalam al-Mushannaf No. 7895, Malik dalam al-Muwatta No. 1099, al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7162, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath No. 4536, Ibn Hibban dalam al-Sahih No. 3427, Ibn Khuzaimah dalam al-Sahih No. 1891, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 8093, dan al-Bazzar dalam al-Musnad No. 2321. Al-Albani juga
menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Irwa al-Ghalil, IV/34).
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan bahwa puasa itu bisa menjadi perisai. Perisai, tameng, dan
pelindung bagi seorang muslim yang sedang berpuasa. Hadis tersebut terdiri dari dua
kata, yaitu puasa (al-shiyam) dan perisai (junnah). Puasa (shiyam atau shaum) menurut bahasa berarti al-imsak ‘an al-syai’ (mencegah atau mengendalikan
dari sesuatu), bisa juga berarti al-tarku
lahu
(meninggalkannya). Sedangkan menurut syariat, puasa adalah menahan diri dari
segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (subuh) sampai dengan
terbenamnya matahari (maghrib) disertai niat (Fakhr al-Razi, Tafsir al-Razi, I/760). Sedangkan perisai (al-junnah) menurut Ibn Abd al-Bar bisa
berarti al-wiqayah (perlindungan) dan al-sitr (tutup, tameng) (Ibn Abd
al-Barr, al-Tamhid, XIX/54, al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik, I/226).
Ibadah
puasa yang dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh akan bisa menjadi perisai
atau pelindung bagi pelakunya. Dalam hal ini, puasa yang dilakukan tidak
sekedar meninggalkan kebiasaan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri dari pagi
hingga sore hari, tetapi lebih dari itu dalam berpuasa juga berusaha menjaga
diri untuk bersikap santun, tidak emosional, tidak berbohong, tidak bersikap
bodoh, dan tidak melakukan maksiat atau dosa. Jabir bin Abdillah ra. berkata:
إِذَا
صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ،
وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ (اَوِالْجاَرِ) وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ
يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءً
“Apabila engkau berpuasa, maka berpuasalah (dengan cara menjaga
atau mengendalikan) pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari perbuatan
dusta dan dosa, hindarilah perbuatan yang dapat menyakiti pelayan atau tetangga,
bersikaplah santun dan tenang pada saat berpuasa, dan jangan samakan harimu antara
saat tidak berpuasa dengan saat sedang berpuasa (Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, II/422, Ibn al-Mubarak, al-Zuhd, I/461, al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman, V/247, Ibn Hazm, al-Muhalla, VI/179, Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, I/155, al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, I/484, dan Ibn Jibrin, Fatawa Ramadhan, I/24).
Imam
al-Ghazali mengingatkan: “Jangan kaukira bahwa berpuasa itu cukup dengan
meninggalkan makan, minun, dan berhubungan suami-siteri saja, karena Nabi saw.
pernah bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan
pahala puasanya (sia-sia belaka) selain hanya dapat lapar dan dahaga” (HR.
Ahmad, al-Musnad No.9685 dan al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman No. 3642; al-Albani: sahih). Puasa yang sempurna adalah
mencegah atau mengendalikan seluruh anggota badan dari hal-hal yang dibenci
oleh Allah swt. Karena itu dalam berpuasa engkau harus menjaga mata dari
pandangan terhadap hal-hal yang tidak disukai Allah, menjaga lidah dari bicara
yang tidak berguna, menjaga telinga dari hal-hal yang dilarang Allah, dalam hal
ini, pendengar sama dengan pembicara saat melakukan ghibah. Jadi, dalam
berpuasa, engkau harus menjaga atau mengendalikan seluruh anggota badan
sebagaimana engkau mengendalikan perut dan kemaluan (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, I/166-167).
Berpuasa
dengan cara yang demikian berarti berusaha menahan diri, berusaha mengendalikan
diri, dan berusaha menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik dan hal-hal yang
membahayakan diri. Puasa seperti inilah yang akan berguna bagi dirinya dalam
membentuk karakter dan pribadi yang kuat. Kuat menghindari maksiat, kuat
melaksanakan ibadat, dan kuat dalam mengendalikan diri saat dilanda amarah. Seseorang
yang berpuasa dengan baik, maka puasanya bisa menjadi perisai (pelindung) dari
lima hal, yaitu dari dosa dan maksiat, dari api neraka, dari kekikiran, dari
musibah, dan dari amarah.
Pertama, puasa bisa menjadi perisai dari perbuatan dosa dan
maksiat. Puasa yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh, akan menjadi perisai dari berbagai perbuatan dusta dan
dosa. Allah hanya akan menerima ibadah puasa seseorang kalau puasanya tidak
sekedar menahan makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala kemaksiatan
dan dosa. Nabi mengingatkan: “Barang siapa (saat berpuasa) tidak meninggalkan
perkataan dusta, tidak meninggalkan perbuatan dusta, dan tidak meninggalkan
tindakan bodoh, maka Allah tidak butuh atas (puasanya, meskipun ia),
meninggalkan makan dan minum” (HR. al-Bukhari No. 6057). Ini berarti puasa
seseorang hanya akan diterima oleh Allah apabila disertai dengan berusaha
meninggalkan berbagai perbuatan dosa dan maksiat. Ibn Rajab mengatakan bahwa
puasa bisa menghalangi seseorang dari maksiat ketika didunia, sebagaimana
firman Allah swt. (QS.
Al-Baqarah, 183): Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa” (Ibn Rajab, Jami’ al- ‘Ulum Wa
al-Hikam, I/271).
Kedua, puasa bisa menjadi
perisai dari ancaman neraka. Dari Utsman
bin Abi al- ‘Ash ra., Rasulullah saw. bersabda: “Puasa adalah perisai dari
neraka (الصِّيَامُ
جُنّةٌ مِنَ النَّار), seperti perisai
salah seorang di antara kamu dari peperangan” (HR. Ahmad: 16278, al-Nasai:
4/167, dan Ibnu Majah: 1639, al-Albani: sahih). Ibnu Rajab memberikian komentar
yang sangat indah: “Bila puasa adalah perisai dirinya dari berbagai maksiat
(ketika didunia), maka di akhirat kelak, puasa tersebut lebih pantas menjadi
perisainya dari azab neraka (كان له في الآخرة جنة من النار), namun apabila puasanya tidak bisa menjadi perisai baginya
dari maksiat ketika didunia, maka lebih-lebih diakhirat kelak tidak akan
menjadi perisai dirinya dari api neraka” (Ibn Rajab, Jami’
al- ‘Ulum Wa al-Hikam,
I/271).
Ketiga, puasa menjadi perisai dari sifat kikir. Ketika seseorang sedang
berpuasa, terutama saat memasuki siang hari, biasanya perut mulai terasa
lapar. Di saat kelaparan (puasa) inilah
akan tumbuh kesadaran bagi orang yang berpuasa untuk berempati kepada orang
lain terutama terhadap kaum fakir-miskin yang terbiasa kekurangan makan dan
sering kelaparan. Kesadaran untuk berempati ini kemudian menumbuhkan keinginan
untuk membantu mereka, bersedekah dan menyantuni mereka. Ada ulama salaf
ditanya, kenapa orang disuruh berpuasa? Beliau menjawab:
لِيَذُوْقَ
الغنيُّ طَعْمَ الْجُوْعِ فَلاَ يَنْسَى الْجَائِعَ
“Agar supaya orang kaya
bisa merasakan lapar, sehingga ia tidak akan melalaikan orang yang kelaparan”
(Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, I/168). Di sinilah ibadah puasa
bisa menggugah kesadaran untuk berbagi kepada orang lain, sehingga tidak lagi kikir.
Keempat, puasa menjadi perisai
dari musibah. Ibn
al-Najjar meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda: فَإِنَّ الصِّيَامَ جُنَّةٌ مِنَ
النَّارِ وَمِنْ بَوَائِقِ الدَّهْر, Artinya: “Sesungguhnya puasa adalah perisai dari api
neraka, dan perisai dari musibah dan bencana zaman” (al-Suyuthi, Jami
al-Ahadis No. 42810, al-Muttaqi, Kanz
al-Ummal No. 23603, dan al-Munawi,
Faid al-Qadir No. 5059). Hadis ini dha’if. Meskipun hadis ini dhaif, namun
makna dan kandungannya benar, sebab semua jenis ibadah bisa membentengi
seseorang dari berbagai bencana dan musibah. Allah swt. berfirman (QS. Al-Syura,
30): “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan-perbuatan
tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu). Ayat ini
mengisyaratkan bahwa penyebab turunnya bencana adalah dosa dan maksiat, dan
kebalikannya ibadah dan amal salih bisa menolak bala dan berbagai bencana atau
musibah.
Kelima, puasa menjadi perisai dari tindakan bodoh dan nafsu
amarah. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah
saw. bersabda: “Puasa itu perisai, maka (saat berpuasa) janganlah berkata kotor
(cabul) dan jangan membuat kegaduhan. Dalam Riwayat lain dikatakan: “janganlah melakukan
tindakan bodoh (bertindak tanpa berpikir lebih dulu). Apabila ada orang yang
mengajak berkelai atau menghinanya, maka katakanlah aku sedang berpuasa, aku
sedang berpuasa ((HR. Al-Bukhari No. 1894 dan Muslim No. 1151). Hadis ini
mengajarkan agar ibadah puasa yang kita lakukan bisa menjadi sarana untuk
belajar bersabar dalam menghadapi berbagai masalah, dan belajar mengendalikan
diri dari kemarahan dan angkara murka. Berikut ini ada kisah inspiratif “ular
dan gergaji” (الثعبان والمنشار) mengenai pentingnya bersabar dan mempertimbangkan akal sehat
sebelum bertindak.
Seekor ular memasuki gudang tempat kerja seorang tukang kayu
di malam hari. Kebiasaan si tukang kayu adalah membiarkan sebagian peralatan
kerjanya berserakan dan tidak merapikannya. Ketika ular itu masuk ke sana,
secara kebetulan ia merayap di atas gergaji. Tajamnya mata gergaji menyebabkan
perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya. Ia pun membalas
dengan mematuk gergaji itu berkali-kali. Serangan yang bertubi-tubi menyebabkan
luka parah di bagian mulutnya. Marah dan putus asa, ular berusaha mengerahkan
kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. Ia pun lalu membelit kuat
gergaji itu. Belitan itu menyebabkan tubuhnya terluka amat parah, akhirnya ia
pun binasa (https://www.eshamel.net/vb/t45151.html). Ini adalah “pelajaran” akibat dari kemarahan yang tak
terkendali atau tindakan bodoh mengabaikan akal sehat. Karena itu, setiap
menghadapi suatu persoalan, jangan buru-buru ambil keputusan. Kendalikan diri,
tenangkan hati, dan gunakan akal sehat sebelum mengambil keputusan. Imam Syafii
berkata: “Jika mau bicara pikirkan dulu, jika membawa maslahat bicaralah, jika
ragu jangan bicara” (al-Nawawi, al-Adzkar, I/419).
Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM JATIM pada April 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar