MUSIK DAN NYANYIAN
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ
الْأَشْعَرِيُّ وَاللهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
(رواه البخارى)
Berkata
kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy‘ari, dia berkata, berkata kepadaku
‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari, demi Allah tidaklah dia membohongi aku, dia
mendengar Nabi saw. bersabda: “Di antara umatku akan ada suatu kaum yang
menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik” (HR.
Al-Bukhari No. 5590).
Status Hadis
Hadis
tersebut termasuk dalam kumpulan hadis-hadis sahih oleh al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari
No. 5590. Selain al-Bukhari, Abu Dawud juga meriwayatkannya
dalam Sunan Abi Dawud No. 4041, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir
No. 3339, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban No. 6754, al-Bayhaqi dalam al-Sunan
al-Kubra No. 6317, Tamam
al-Dimasyqi dalam Musnad al-Muqillin No. 8, al-Suyuthi
dalam Jami’ al-Ahadis No. 19598, al-Mundziri dalam al-Targhib Wa
al-Tarhib No. 3138, Abu al-Fadl dalam al-Musnad al-Jami
No.12604, dan Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 7937.
Sebagian ulama seperti Ibn Hazam al-Dhahiri (W. 1064 M) dalam al-Muhalla,
IX/59 mendaifkan (melemahkan) hadis ini sebagai hadis yang munqati’ karena
menilai ada sanad yang terputus yaitu antara
al-Bukhari dan Shadaqah
bin Khalid. Ulama kontemporer yang setuju dengan penilaian Ibn
Hazm adalah Yusuf al-Qardhawi dalam Fatawa al-Muasharah, II/454 yang
menilai matan dan sanad hadis tersebut tidak selamat dari kekacauan. Menurut
al-Qardhawi banyak ulama mempermasalahkan nama perawi Hisyam bin Ammar (perawi
antara al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid).
Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah (W.1350 M) berkata: “Untuk
menjawab tuduhan Ibn Hazm tentang kelemahan hadis tersebut, dapat diterangkan sebagai
berikut: (1) Telah disepakati bahwa al-Bukhari telah bertemu Hisyam bin ‘Ammar
dan mendengar (hadis) darinya, sehingga apabila al-Bukhari berkata: ‘Hisyam
telah berkata’, maka kedudukan perkataan itu sama dengan “dari Hisyam”. (2)
Jika al-Bukhari tidak mendengar (langsung) hadis ini dari Hisyam, maka dia
tidak akan memperbolehkan dirinya untuk memastikan bahwa riwayat ini darinya,
kecuali kalau telah sahih bahwa Hisyam (benar-benar) telah meriwayatkan hadis
ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk menyatakan bahwa seorang syaikh
telah meriwayatkan sebuah hadis padahal dia tidak mendengar langsung dari
syaikh tersebut-pen) -biasanya- karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadis
itu dari syaikh tersebut dan karena masyhur (terkenal)nya hal tersebut. Sudah
maklum bahwa al-Bukhari adalah makhluk Allah yang paling jauh dari penipuan.
(3) Bahwasanya al-Bukhari telah memasukkan hadis tersebut dalam kitabnya yang
terkenal dengan al-Sahih, dengan berhujjah (berargumen) dengannya,
seandainya hadis itu bukan hadis sahih, tentu beliau tidak akan melakukan yang
demikian. (4) al-Bukhari memberikan ta’liq (lafazh yang menunjukkan
terputusnya sanad-pen) dalam hadis itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm
(kepastian), tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrid (cacat). Bahwasanya
jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadis atau
hadis itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan: ‘Diriwayatkan
dari Rasulullah saw.’ dan juga dengan ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau. Karena
itu, jika beliau berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, berarti dia telah
memastikan bahwa hadis itu disandarkan kepada Rasulullah saw. (5) Seandainya
kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak ada artinya, maka cukuplah bagi
kita bahwa hadis tersebut sahih dan muttashil (bersambung sanadnya)
menurut perawi hadis yang lain” (Ibn al-Qayyim, Ighasat al-Lahfan,
I/259-260).
Ibn Hajar al-Asqalani (W.1449 M)
dalam Fath al-Bari, X/52 menjelaskan bahwa melalui penelitian berbagai
jalur dapat disimpulkan sanad hadis tersebut bersambung dan sahih. Mengenai
perawi bernama Hisyam bin Ammar, ia adalah salah seorang guru dari Imam
al-Bukhari sehingga sanadnya bersambung. Ulama lain yang juga mensahihkan hadis
ini adalah Ibn al-Salah (W.1245 M) dalam
Muqaddiman Ibn Shalah, I/36, al-Nawawi (W.1277 M) dalam Syarh Shahih
Muslim, I/18, Ibn Taymiyah (W.1328) M) dalam al-Istiqamah, II/187,
Ibn al-Qayyim (W.1350 M) dalam Ighatsat al-Lahfan, I/259), Ibn Rajab
al-Hanbali (W.1393 M) dalam Nuzhat al-Asma’, I/40, al-Syaukani (W.1834
M) dalam Nayl al-Authar, VIII/179, dan al-Albani (W.1999 M) dalam al-Silsilah
al-Shahihah, I/90.
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan bahwa kelak ada sebagian umat Islam, umat Nabi Muhammad
saw. yang berani menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.
Ungkapan Nabi tersebut oleh sebagian ulama difahami bahwa sejak awal, perbuatan
zina itu haram. Demikian juga menggunakan sutera, mengonsumsi khamr, dan
memainkan alat-alat musik itu juga haram. Namun, seiring dengan berubahnya
situasi dan kondisi serta kadar keimanan suatu kaum, hal-hal yang tadinya haram
kemudian dihalalkan.
Khusus
tentang larangan alat-alat musik, selain merujuk kepada hadis tersebut(HR.
Al-Bukhari No. 5590) juga
ada hadis lain dari Abu Umamah al-Bahili ra., Rasulullah saw.
bersabda: Kelak ada di antara umatku yang tidaklah bermalam kecuali untuk
makan-makan dan hura-hura, lalu di pagi harinya seperti kera dan babi (lantaran
mereka meneguk khamer, memakan riba, mengenakan sutra, dan mendatangkan para
biduanita, serta pemutusan silaturahim (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak No.
8572 dan al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 5226). al-Albanai menilai
hadis ini hasan (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah, IV/135).
Juga
hadis dari Imran bin Hushain ra., Rasulullah saw. bersabda: (Kelak pada umatku
akan terjadi penenggelaman manusia ke bumi, perubahan bentuk dan terlemparnya oleh
batuan dari langit). Seorang sahabat bertanya: Kapan hal itu akan terjadi wahai
Rasulullah?) (Rasulullah saw. menjawab: Jika mereka telah meneguk minuman
khamer, menjadikan para biduwanita –sebagai pelampias syahwat- dan memukul
berbagai tabuhan musik). Dalam riwayat lain: (jika tampak perkakas musik dan
para biduawinta, dan diteguknya minuman khamer) (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan
al-Tirmidzi No. 2212
dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir
No. 5810). Al-Albani menilia hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’
al-Shaghir, I/683).
Dalam
memahami hadis-hadis tersebut, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama
menjadikan hadis tersebut sebagai dalil haramnya menggunakan alat-alat musik. Di
antara ulama yang mengharamkan musik adalah ulama dari kalangan empat
madzhab. Wahbah al-Zuhayli menyebutkan bahwa jumhur ulama dari empat madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali) cenderung pada pendapat haramnya alat
musik, seperti alat musik kecapi, tamborin, gendang, drum,
seruling, rebab, dan lainnya, termasuk alat musik yang bersenar, semua jenis
seruling dan alat musik yang dipetik.
Oleh karena itu orang yang mendengarkannya ditolak kesaksiannya
berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari No. 5590 tersebut di atas (al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami Wa Adillatuhu, IV/212-213).
Ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh
mereka yang mengharamkan alat musik adalah firman Allah swt:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman, 31: 6).
Ibnu ‘Abbas dan Ibn Mas’ud mengatakan,
bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut (لَهْوَ الْحَدِيثِ) adalah alat-alat musik
dan nyanyian (Ibn Abbas, Tanwir al-Miqbas, I/344; Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, VI/330). Secara rasional memang dapat
dipahami bahwa alat-alat musik dan nyanyian dapat menyebabkan manusia lalai
dari ketaatan kepada Allah,
lalai dari membaca al-Qur’an, dan lalai dari dzikir kepada
Allah swt. (al-Thabari, Jami’
al-Bayan, XX/130).
Al-Thabari
mengutip pendapat sejumlah
ulama seperti Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan lainnya yang menyatakan bahwa
musik hukumnya haram. Imam Syafi’I berkata: “Menyanyi hukumnya makruh dan
menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safih
(orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”. Begitu
juga dengan Imam Malik. Guru al-Syafi’i ini melarang keras musik. Menurutnya,
“Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang
penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena
termasuk cacat). Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama
Madinah kecuali Ibrahim Ibnu Sa’id (Abu al-Abbas, “Ara al-Ulama Fi al-Ghina”, Muqaddimah
al-Muhaqqiq Kitab Kaf al-Ri’a’ an Muharramat al-Lahwi Wa al-Sima Li Ibn
Hajar al-Haytami, I/7).
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa musik
hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu
Hanifah ini didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sufyan al-Tsauri,
Hammad, Ibrahim, al-Sya’bi dan ulama lainnya. Imam Ahmad juga berpendapat bahwa
sejumlah alat musik itu hukumnya haram, karena termasuk kemungkaran yang harus
dihilangkan. Suatu saat Imam Ahmad ditanya tentang menyanyi, maka ia mengatakan
bahwa hal itu bisa menumbuhkan kemunafikan dalam hati, karena itu aku tidak
menyukainya (al-Ghazali,
Ihya Ulum al-Din, II/269, Abu al-Abbas, Ara al-Ulama Fi al-Ghina, I/7).
Adapun ulama yang memperbolehkan mendengarkan
musik (nyanyian) di antaranya adalah Abu Thalib al-Makki (W. 998 M). Menurut
Abu Thalib, para sahabat Nabi saw. seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin
Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka
mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah
mentradisi di kalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu
Thalib, ketika dia berada di Makkah, pada saat peringatan hari-hari besar,
orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik (Abu Thalib al-Makki, Qut
al-Qulub, II/1090-1097).
Beberapa ulama lainnya yang memperbolehkan
mendengar musik adalah Imam Ibn Hazm (W.456 H/1064 M), Imam al-Adfawi (W. 338
H), dan Imam Ibn Thahir al-Maqdisi (W.507 H). Mereka berpendapat bahwa hadis-hadis
yang dipegangi ulama yang mengharamkan nyanyian (alat-alat musik) itu tidak
sahih, ada cacatnya. Al-Qadi Abu Bakar Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tak ada satu
pun hadis sahih yang mengharamkan nyanyian. Ibn Hazm bahkan mengatakan bahwa
hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk mengharamkan nyanyian, semuanya batil
dan maudu’(palsu). Tentang QS. Luqman ayat 6 yang dijadikan dalil untuk
mengharamkan nyanyian, Ibn Hazm mengatakan bahwa ayat itu (bukan
tentang larangan musik atau nyanyian), tetapi menjelaskan tentang sifat perbuatan orang kafir yang mempermainkan
ajaran Allah (Ibn
Hazm, al-Muhalla, IX/60, Abu al-Abbas, Ara al-Ulama Fi al-Ghina, I/9-10).
Imam al-Ghazali (W.1111 M) termasuk ulama yang
memperbolehkan mendengar musik (nyanyian). Beliau meriwayatkan, suatu ketika
Abi Hasan bin Salim ditanya Abu Thalib: “Mengapa engkau melarang mendengarkan
musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang
mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab: “Saya tidak pernah melarang
orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik
dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik”
(Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, II/268). Lebih lanjut al-Ghazali berkata
bahwa syair itu perkataan, kalau isinya baik maka baik, jika isinya buruk maka
buruk. Sesuai denga muatannya, maka mendengarkan nyanyian bisa dihukumi mubah,
mustahab, wajib, makruh, dan bisa juga haram (Abu al-Abbas, Ara al-Ulama Fi
al-Ghina, I/9-10, Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, III/126).
Sayyid
Sabiq menyebutkan tiga dalil yang dipedomani oleh ulama yang memperbolehkan
musik (nyanyian). Pertama, hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya.
Aisyah ra. berkata: (Saat
itu Nabi saw. berada di Madinah), dan aku memiliki dua gadis anshar, keduanya
menabuh rebana, dan menyanyikan syair-syair yang menggambarkan perang Bua’ts,
yaitu peristiwa di hari terbunuhnya para tokoh Aus dan Khazraj. Nabi berbaring
di atas tikarnya sambil memalingkan wajahnya, dan bertutupkan selembar kain.
Kemudian Abu Bakar tiba dan membentak kedua penyanyi itu seraya berkata: “Kenapa
ada seruling setan di rumah Rasul?”. Lalu Nabi menyingkap tabir kain dari
wajahnya seraya bersabda: “Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, ini adalah hari
raya. Sesungguhnya pada setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah
hari raya kita”. Aisyah berkata: “Ketika Abu Bakar lengah, lalu aku mendorong
keduanya keluar rumah” (HR. al-Bukhari No.3931, Muslim No. 2100, al-Nasai No.
1597, Ibnu Majah No. 1898, dan Ahmad No. 24682).
Kedua, hadis Riwayat Ahmad dan al-Tirmidzi. Buraidah
al-Aslami ra. berkata: Rasulullah saw. pergi perang. Ketika pulang datanglah
gadis hitam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku bernadzar, jika tuan pulang
dengan selamat akan aku tabuhkan rebana dan bernyanyi”. Maka Rasulullah saw.
bersabda: “Jika engkau telah nadzar, maka tabuhlah rebana itu, jika tidak, maka
jangan lakukan. Lalu ia menabuhnya. Lalu Abu Bakar masuk dan ia tetap menabuh
rebananya. Ketika Ali masuk ia juga tetap menabuh rebananya. Ketika Usman masuk
ia tetap menabuh rebananya. Kemudian ketika Umar masuk, maka ia menyembunyikan
rebananya di bawah pantatnya dan mendudukinya. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
setan takut padamu wahai Umar. Ketika aku duduk, ia menabuh rebanaya. Ketika
Abu Bakar masuk ia tetap menabuh rebananya. Ketika Usman masuk ia tetap menabuh
rebananya. Namun ketika anda masuk iapun menyembunyikan rebananya” (HR.
al-Tirmidzi No. 3690 dan Ahmad No. 23011). Al-Albani: sanad hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah
al-Kamilah, IV/183).
Ketiga, berdasarkan riwayat yang
sah bahwasanya banyak dari kalangan Sahabat dan Tabiin yang mendengarkan
nyanyian dan alat-alat musik. Di kalangan Sahabat misalnya Abdullah bin Zubayr,
Abdullah bin Jakfar, dan lain-lain. Dari kalangan Tabiin, di antaranya Umar bin
Abdul Aziz, Syuraykh al-Qadi, Abdul Aziz bin Maslamah, Mufti Madinah, dan
lain-lain (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, III/57-58).
Sudah menjadi realitas, sejak awal Islam hingga sekarang terjadi perbedaan pandangan di
kalangan ulama mengenai hukum mendengarkan musik dan nyayian. Sebagian ulama
tidak memperbolehkan dan sebagian yang lain memperbolehkan. Masing-masing
memiliki argumentasi sendiri, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis dan
pertimbangan akal sehat. Ulama yang tidak memperbolehkan (mengharamkan)
cenderung lebih berhati-hati, karena sering kali musik dan nyanyian digunakan
untuk hiburan dan bersenang-senang disertai wanita dan minum-minuman keras.
Sedangkan ulama yang membolehkan cenderung karena pertimbangan bahwa nyanyian
dan musik telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia.
Majelis Tarjih Muhammadiyah (MTT-PPM) memandang bahwa seni suara (musik dan nyanyian) adalah
merupakan ekspresi indah manusia, dengan demikian tidak dapat dikatakan
bertentangan dengan agama. Allah itu indah dan suka pada keindahan (HR. Muslim
No. 275). Namun demikian perlu diperhatikan
bagaimana suatu seni (musik dan nyanyian) itu disajikan. Seni suara, khususnya
alat-alat bunyian hukumnya tergantung pada illatnya, yakni ada tiga macam. Pertama,
Apabila musik menarik kepada keutamaan dan membawa kebaikan, maka hukumnya
sunnah; Kedua, apabila musik hanya sekedar untuk main-main belaka (tidak
mendatangkan kebaikan apa-apa), maka hukumnya makruh. Akan tetapi, apabila
mengandung unsur negatif maka haram; Ketiga, apabila musik mengundang kemaksiatan,
maka hukumnya haram. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik
(nyanyian) itu diperbolehkan secara kondisional dan juga diharamkan secara
kondisional (Majalah SM Edisi 9 Tahun 2018). Wallahu A’lam!
Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN (Majalah PWM Jawa Timur) edisi Maret 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar