SALAT TAHIYATUL MASJID BAKDA ASAR
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Dari
Abu Qatadah al-Salami, bahwasanya Nabi saw bersabda: “Apabila seorang di antaramu memasuki masjid maka salatlah dua
rakaat sebelum ia duduk”
(HR. Bukhari No. 444 dan Muslim
No. 1687)
Status Hadis
Hadis tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari dan Muslim
dalam masing-masing Kitab Sahihnya. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Sunan Abi Dawud No. 467, al-Tirmidzi dalam Sunan
al-Tirmidzi No. 316, al-Nasai dalam Sunan al-Nasai No. 730, Ibn
Majah dalam Sunan Ibn Majah No. 1013, Malik dalam al-Muwata’ No.
559, Ahmad dalam Musnad Ahmad No. 22652, al-Darimi dalam Sunan
al-Darimi No. 1393, Abd al-Razaq dalam Musannaf Abd al-Razaq No.
1673, al-Bayhaqi dalam Ma’rifat al-Sunan Wa al-Asar No. 1700, al-Tabrani
dalam al-Mu’jam al-Ausat No. 9175, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban
No. 2495, Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Khuzaimah No. 1325, dan Ibn
al-Mubarak dalam Musnad Ibn al-Mubarak No. 68. Syekh al-Albani juga
menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Irwa al-Ghalil No. 467,
II/220-221).
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan tentang perintah
melaksanakan salat dua rakaat setiap memasuki masjid sebelum duduk. Para ulama
ahli fiqh menamai salat ini dengan salat tahiyatul masjid. Ulama berbeda
pendapat dalam memahami perintah salat tahiyatul masjid. Sebagian ulama
mengatakan wajib dan sebagian ulama yang lain mengatakan sunah.
Berikut ini akan dibahas mengenai alasan-alasan ulama yang mengatakan salat tahiyatul masjid itu wajib atau sunah. Selain itu dibahas juga bagaimana jika salat tahiyatul masjid itu dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang salat, seperti setelah subuh, saat matahari tepat di atas kepala, dan setelah asar.
Alasan ulama bahwa salat tahiyatul masjid itu wajib.
Ulama dari
kalangan madzhab Dhahiri berpendapat bahwa hadis
tersebut di
atas menunjukkan perintah wajib untuk melakukan salat dua rakaat setiap memasuki masjid. Menurut kaidah usul fiqh bahwa pada asalnya perintah itu menunjukkan
wajib. Karena salat tahiyatul masjid itu diperintahkan, maka berarti hukumnya
wajib.
Selain
itu terdapat hadis lain yang melarang duduk sebelum salat dua rakaat saat
memasuki masjid. Dari Abu Qatadah, Nabi saw
bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ
رَكْعَتَيْنِ
“Apabila salah seorang di
antara kalian memasuki
masjid maka
janganlah ia duduk sebelum melakukan salat
dua rakaat” (HR. Muslim No. 1688). Dalam hadis tersebut, Nabi saw. melarang
orang yang ketika memasuki masjid langsung duduk sebelum salat dua raka’at.
Dalam kaidah ushul fiqh,
setiap
larangan asalnya haram, karena itu setiap memasuki
masjid dilarang duduk sebelum salat, artinya seseorang
wajib melakukan salat tahiyatul masjid terlebih dahulu.
Ada lagi sebuah
hadis yang dinilai dapat memperkuat pendapat tentang wajibnya salat tahiyatul
masjid, yakni dari Jabir ra., ia berkata: “Seseorang memasuki masjid pada hari
Jum’at dan Nabi saw sedang berkhutbah, lalu beliau saw bertanya: ’Apakah engkau
sudah salat?’ dia berkata: ’Belum’. Beliau saw berkata: “(Kalau begitu) salatlah
dua rakaat” (HR. al-Bukhari No. 931). Hadis tersebut menunjukkan bahwa salat dua rakaat (salat tahiyatul masjid)
itu lebih penting daripada mendengarkan khutbah. Jika mendengarkan khutbah itu
wajib, maka salat tahiyatul masjid itu tentu lebih wajib. Demikian alasan ulama
yang mewajibkan salat tahiyatul masjid. Pendapat ini dianut oleh ulama madzhab
Dhahiri (Al-Syawkani, Nailul Awthar, III/82; al-Mubarakfuri, Tuhfat
al-Ahwadzi, II/216).
Alasan ulama bahwa salat tahiyatul masjid itu sunah
Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat bahwa hadis tersebut di atas
memang merupakan perintah untuk salat dua rakaat setiap memasuki masjid, yaitu
salat tahiyatul masjid. Namun, perintah dalam hadis
tersebut tidak bisa diartikan menunjukkan wajib, karena terdapat hadis lain
yang menunjukkan dan menegaskan bahwa salat yang wajib itu dibatasi hanya yang lima waktu.
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ
أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ
عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ
شَيْئًا
Dari
Talhah bin Ubaidillah; ada seorang Arab badui menemui Rasulullah saw. dengan rambut acak-acakan, ia berkata: Ya
Rasulullah, beritahukanlah kepadaku salat apakah yang Allah wajibkan atasku? Nabi menjawab: "Salat lima waktu,
kecuali jika engkau mau mengerjakan yang sunah" (HR.
Al-Bukhari No.
1891). Hadis tersebut menunjukkan bahwa salat yang wajib itu
hanya yang lima waktu itu, sedangkan yang lain itu hanya sunah. Karena itu,
hukum salat tahiyatul masjid hanyalah sunah, tidak wajib. Tentang dalil-dalil (hadis-hadis)
yang dipakai ulama untuk mewajibkan salat tahiyatul masjid tersebut dapat
difahami sebagai berikut: (1) Salat tahiyatul masjid tetap dilaksanakan
sekalipun khatib sedang menyampaikan khutbah di hari Jum’at. (2) Salat
tahiyatul masjid tetap dilakukan sekalipun sudah duduk karena lupa atau tidak
tahu atau karena sengaja dan belum lama waktunya menurut pendapat yang rajih
dalam masalah ini(Al-Usaimin, Syarh Riyadussalihin, I/1384).
Ada satu hadis
lagi yang bisa memperkuat pendapat bahwa salat tahiyatul masjid itu sunah,
tidak sampai wajib. Dari Abu Waqid al-Laisi, ia berkata: “Bahwasanya tatkala
Rasulullah saw sedang duduk di dalam masjid bersama jamaah, tiba-tiba
datang tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah saw dan
yang satunya pergi. Kemudian keduanya berdiri di hadapan beliau. Salah seorang
dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk di tempat yang kosong
itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka. Setelah Rasulullah saw. selesai
dari majlisnya, beliau bersabda: “Maukah aku kabarkan tentang tiga orang tadi?
Adapun seorang dari mereka, ia datang menemui Allah maka Allah datang
menemuinya. Adapun yang seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya. Adapun
yang seorang lagi, ia berpaling maka Allah berpaling darinya.” (HR. Al-Bukhari No.
474 dan Muslim No. 5810).
Dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa ada tiga orang sahabat yang datang
ke masjid, di tengah-tengah jamaah yang lain. Mereka langsung duduk dan tidak diperintahkan
untuk salat tahiyatul masjid. Atas dasar ini dapat difahami bahwa salat
tahiyatul masjid itu hukumnya hanya sunah, tidak sampai wajib. Jumhur ulama
termasuk empat imam madzhab berpendapat bahwa hukum salat tahiyatul masjid itu sunah
(Ibn Hajar al-Asqalani, al-Fath al-Bari, I/537-538; al-Suyuti, Tanwir
al-Hawalik, I/136).
Al-Nawawi berkata: “Sahabat-sahabat kami berpendapat, tidak disyaratkan berniat tahiyatul masjid dengan salat dua rakaat, jika dia salat dua rakaat dengan niat salat sunah mutlak atau dua rakaat rawatib atau bukan rawatib atau salat fardhu, maka hal itu cukup baginya dan terwujud untuknya apa yang diniatkannya dan terwujud pula tahiyyatul masjid secara otomatis, dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam hal ini”(Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, V/ 226; dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, IV/ 52.)
Salat tahiyatul masjid
bakda asar (pada waktu terlarang salat).
Secara garis besar ada tiga waktu yang dilarang melakukan salat. Yaitu: (1)
Waktu setelah salat Subuh sampai matahari naik sekitar satu anak panah (2,5
meter, yaitu sekitar 15 menit dari terbit matahari); (2) Waktu matahari tepat
di atas kepala sampai waktu salat Zhuhur; dan (3) Waktu setelah salat Ashar
sampai terbenamnya matahari.
Keterangan tiga waktu terlarang tersebut dapat difahami dari dua hadis
berikut ini: Pertama, dari Abu Said al-Khudri, ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
لَا
صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ
الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ (رواه البخاري)
“Tidak
boleh salat setelah subuh sampai matahari naik (sedikit), dan tidak boleh salat
setelah asar sampai matahari menghilang atau terbenam” (HR. al-Bukhari No. 586). Kedua,
dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, berkata: Tiga waktu yang
Rasulullah saw. melarang kami untuk salat dan menguburkan orang yang mati di
kalangan kami pada waktu-waktu tersebut: (1) Ketika matahari terbit sampai naik
(sedikit), (2) ketika matahari berada di kulminasi (titik tertinggi) sampai
tergelincir, dan (3) ketika matahari condong untuk terbenam sampai terbenam (HR.
Muslim No. 1966).
Menurut Imam Syafii, salat yang terlarang pada waktu-waktu terlarang
tersebut hanyalah salat sunat yang tanpa sebab, seperti salat sunat mutlak
(salat untuk semata-mata mendekatkan diri kepada Allah). Adapun untuk
salat-salat yang ada sebabnya, seperti salat tahiyatul masjid, salat gerhana,
salat jenazah, sujud tilawah, sujud syukur dan lain sebagainya, maka yang
demikian ini dibolehkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Malik memasukkan semua
salat terlarang ke dalam waktu terlarang salat, kecuali salat fardu yang hilang
atau lepas (al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, I/461).
Beberapa hadis yang yang
dijadikan dalil bahwa salat-salat yang ada sebab dapat dilakukan pada
waktu-waktu terlarang adalah sebagai berikut:
Pertama, salat yang terlupa dapat dilakukan kapan saja saat ia ingat. Dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi saw.
bersabda: Barangsiapa lupa salat atau tertidur darinya, maka kaffaratnya
(tebusannya) ialah hendaknya ia mendirikan salat tersebut apabila ia
mengingatnya (HR.
al-Bukhari No. 597 dan Muslim No. 1600).
Kedua, Nabi saw pernah salat sesudah asar
karena suatu kesibukan sehingga terlupa salat sunah bakda dhuhur. Dari Ummu Salamah, Nabi saw. salat dua rakaat setelah asar, dan
beliau bersabda: Orang-orang dari (kabilah) Abdul Qais telah menyibukkanku dari
salat dua rakaat tersebut setelah Zhuhur (HR. al-Bukhari No. 589).
Ketiga, Nabi membolehkan tawaf dan salat pada
waktu kapan pun. Dari Jubair bin Muth’im, Nabi saw. bersabda: “Hai
Bani Abdu Manaf, janganlah kalian melarang seseorang tawaf di Ka’bah ini dan
shalat waktu kapanpun ia berkehendak, baik malam atau siang” (HR. al-Tirmidzi
No. 868, al-Nasai No. 585, Ibn Majah No. 1254). Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Irwa al-Ghalil,
II/238).
Dari keterangan hadis-hadis di
atas dapat
disimpulkan bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan salat fardu pada waktu terlarang
ketika ada sebab, misalnya karena lupa atau tertidur. Demikian juga
tidak terlarang melaksanakan salat-salat sunah yang ada sebabnya, misalnya
salat sunah tawaf (sebab tawaf), salat sunah rawatib yang terlupakan, dan salat
tahiyatul masjid (sebab memasuki masjid). Majelis Tarjih dan Tajdid PPM juga
berpendapat bahwa salat yang ada sebabnya dapat dilakukan pada waktu terlarang
salat, termasuk bolehnya salat tahiyatul masjid bakda asar (Majalah SM Edisi 15
Tahun 2018). Wallahu A’lam!
Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN (PWM Jawa Timur) pada bulan Pebruari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar