SHALAT SAAT TERJADI BENCANA
Oleh
حَدَّثَنَا
الأَزْرَقُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: كُنَّا بِالأَهْوَازِ نُقَاتِلُ الْحَرُورِيَّةَ
فَبَيْنَا أَنَا عَلَى جُرُفِ نَهَرٍ إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي، وَإِذَا لِجَامُ
دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُ وَجَعَلَ يَتْبَعُهَا
Al-Azraq bin Qais menceritakan: "Kami pernah
berada di daerah Al-Ahwaz memerangi kelompok Haruriyyah. Ketika aku berada di
tepian sungai ada seseorang yang sedang mengerjakan shalat sementara dia tetap
memegang tali kekang tunggangannya. Maka hewan tunggangannya mengganggunya
dengan bergerak kesana kemari hingga ia mengikuti kemana gerak hewannya
itu" (HR.
al-Bukhari No. 1211).
Status Hadis
Hadis tersebut
dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari No. 1211. Beberapa
ulama Hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam Musnad
Ahmad No. 19770, Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi No. 3249, Imam Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 3719, Imam
al-Nawawi dalam Khulasat al-Ahkam No. 1725, dan al-Mizzi dalam Tuhfat
al-Asyraf No. 11953. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih
(al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, III/387).
Kandungan Hadis
Hadis tersebut
menjelaskan tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Barzah Al-Aslamiy yang sedang melaksanakan shalat di tepi sungai. Saat sedang salat beliau
sambil memegang tali kendali hewan untanya. Tiba-tiba untanya lari ke sana
kemari, dan beliau terpaksa mengikuti gerak hewannya. Ia membatalkan shalatnya.
Dalam redaksi yang lengkap telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Sahih
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْأَزْرَقُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ كُنَّا
بِالْأَهْوَازِ نُقَاتِلُ الْحَرُورِيَّةَ فَبَيْنَا أَنَا عَلَى جُرُفِ نَهَرٍ
إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي وَإِذَا لِجَامُ دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتْ
الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُ وَجَعَلَ يَتْبَعُهَا قَالَ شُعْبَةُ هُوَ أَبُو بَرْزَةَ
الْأَسْلَمِيُّ فَجَعَلَ رَجُلٌ مِنْ الْخَوَارِجِ يَقُولُ اللَّهُمَّ افْعَلْ
بِهَذَا الشَّيْخِ فَلَمَّا انْصَرَفَ الشَّيْخُ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ قَوْلَكُمْ
وَإِنِّي غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّ
غَزَوَاتٍ أَوْ سَبْعَ غَزَوَاتٍ وَثَمَانِيَ وَشَهِدْتُ تَيْسِيرَهُ وَإِنِّي
إِنْ كُنْتُ أَنْ أُرَاجِعَ مَعَ دَابَّتِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَدَعَهَا
تَرْجِعُ إِلَى مَأْلَفِهَا فَيَشُقُّ عَلَيَّ.
Artinya: Al-Azraq bin Qais menceritakan: "Kami pernah berada di daerah
Al-Ahwaz ketika kami memerangi kelompok Haruriyyah. Ketika aku berada di tepian
sungai ada seseorang yang sedang mengerjakan shalat sementara dia tetap
memegang tali kekang tunggangannya. Maka hewan tunggangannya mengganggunya
dengan bergerak kesana kemari hingga ia mengikuti kemana gerak hewannya
itu". Syu'bah berkata bahwa dia adalah Abu Barzah Al-Aslamiy (Sahabat Nabi
saw); Tiba-tiba seorang dari Khawarij berkata: "Ya Allah, apa yang
dilakukan orang ini?" Ketika orang tadi selesai dari shalatnya, dia
berkata; "Sungguh aku mendengar percakapan kalian. Sungguh aku sudah
pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak enam, tujuh atau hingga
delapan kali peperangan dan aku menyaksikan kemudahan-kemudahan yang Beliau
ajarkan. Bagiku mengikuti hewan tungganganku itu lebih aku sukai daripada aku
memaksa kembali ke padang gembalaan tempat hewan itu biasa berkeliaran, yang
nanti pasti lebih menyulitkan aku" (HR. Bukhari
No. 1211).
Para
ulama fikih sepakat bahwa hadis tersebut bisa dijadikan sebagai dasar atau
dalil bolehnya menghentikan salat ketika terjadi musibah yang dapat
membahayakan dirinya atau saat terjadi bencana alam secara mendadak. Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, mengatakan:
وَفِيهِ حُجَّةٌ لِلْفُقَهَاءِ فِي قَوْلِهِمْ:
أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ يُخْشَى إِتْلَافُهُ مِنْ مَتَاعٍ وَغَيْرِهِ يَجُوزُ قَطْعُ
الصَّلَاةِ لِأَجْلِهِ
Artinya: “Hadits ini menjadi dalil para
fuqaha bahwa pada segala situasi dan kondisi yang dikhawatirkan dapat merusak
harta benda dan lain-lain, seseorang boleh menghentikan shalat karenanya" (al-Asqalani,
Fath al-Bari, III/82).
Pada prinsipnya, ketika seseorang sudah memulai
shalatnya, ia tidak diperkenankan membatalkan shalatnya, kecuali ada uzur. Imam
Syafii mengatakan:
إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ فِي
أَوَّلِ وَقْتِهَا أَوْ غَيْرِهِ حُرِمَ قَطْعُهَا بِغَيْرِ عُذْرٍ
“Jika
seseorang sudah masuk ke dalam shalat wajib, baik di awal
waktu maupun tidak di awal waktu, maka ia diharamkan (dilarang) untuk
menghentikan shalatnya tanpa udzur (al-Nawawi, al-Majmu’, III/74).
Keterangan
Imam Syafii tersebut menegaskan bahwa apabila seseorang sudah memulai shalat
maka tidak diperbolehkan atau diharamkan membatalkan shalatnya, kecuali ada
udzur. Hal ini menunjukkan bahwa larangan membatalkan shalat itu berlaku
apabila dalam keadaan normal. Namun, apabila ada udzur misalnya terjadi musibah
atau bencana alam seperti gempa di sekitarnya atau ada sebab lainnya yang dapat
membahayakan dirinya, maka membatalkan shalat saat itu diperbolehkan demi
menyelamatkan diri (jiwa)nya.
Membatalkan shalat demi menyelematkan diri karena
terjadi bencana tersebut telah dibenarkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al Baqarah: 195).
Juga
berdasarkan sabda Nabi Saw: لَا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ
“Tidak
boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (untuk orang
lain)”
(HR. Ahmad No. 2865 dan Ibnu Majah No. 2341). Al-Albani menilai hadis ini sahih (Irwa
al-Ghalil, III/408).
Ibnu Rajab dalam
kitabnya Fath al-Bari mengutip beberapa pendapat ulama sebelumnya. Qatadah berkata: “Jika
pakaiannya telah dicuri maka ia mengikuti
pencurinya dan meninggalkan shalatnya”. Abdur Razzaq telah meriwayatkan di
dalam kitabnya dari Mu’ammar dari al-Hasan dan Qatadah terkait seorang laki-laki
yang saat mendirikan shalat, binatang tunggangannya pergi atau diserang oleh
binatang buas? Keduanya menjawab: “Ia boleh pergi (memutus shalatnya)”.
Dari Mu’ammar, dari Qatadah, ia berkata: “Saya
telah bertanya kepadanya, saya katakan: “Ada seorang laki-laki sedang shalat,
lalu ia melihat seorang bayi di pinggir sumur, ia merasa khawatir bahwa bayi
itu akan jatuh ke dalamnya, apakah ia boleh pergi (memutus shalatnya)?”, dia
berkata: “Ya”, saya katakan: “lalu ia melihat seorang pencuri yang ingin mengambil
kedua sandalnya?”, ia menjawab: ya boleh pergi (memutus shalatnya).
Menurut madzhab Sufyan: “Jika tiba-tiba terjadi
sesuatu yang janggal, sementara seseorang sedang berada di dalam shalat, maka
ia pun (boleh) memutus (shalatnya)”, diriwayatkan terkait hal ini dari Mu’afa. Demikian
juga jika ia mengkhawatirkan ternak dan tunggangannya lepas. Menurut madzhab
Malik: “Bagi orang yang binatang tunggangannya lepas, sementara ia dalam
keadaan shalat, maka ia berjalan mendekatinya jika tunggangannya tersebut
berada di hadapannya, atau sebelah kanan atau kirinya. Jika berada jauh dari
jangkauannya maka ia mencarinya dan menghentikan shalatnya” (وإن بعدت طلبها وقطع الصَّلاة).
Menurut madzhab sahabat-sahabat kami: “Jika ia
melihat orang yang tenggelam atau terbakar, atau kedua anak yang sedang
berperang, atau yang serupa dengannya, sementara ia mampu untuk
menyelamatkannya, maka ia boleh menghentikan shalatnya dan menyelamatkannya”. Di
antara mereka ada yang membatasinya pada shalat sunnah, dan yang benar adalah
mencakup pada shalat wajib dan yang lainnya.
Imam Ahmad juga berkata: إذا
رأى صبياً يقع في بئر، يقطع صلاته ويأخذه
“Jika
ia melihat seorang anak jatuh ke dalam sumur, maka ia menghentikan shalatnya
dan menolongnya”. Sebagian sahabat kami berkata: “Ia menghentikan shalatnya
jika membutuhkan banyak pekerjaan untuk menolongnya, jika pekerjaan tersebut ringan
maka tidak perlu membatalkan shalatnya”. Demikian juga perkataan Abu Bakar
terkait dengan orang yang keluar (dari shalat) menyusul orang yang berutang dan
lalu ia kembali dan memulai shalatnya lagi” (Ibn Rajab, Fath al-Bari,
VI/400-401).
Al-Bahuti dalam kitab Kisyaf
al-Qina menegaskan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban
kebakaran hukumnya wajib. Sungguhpun ia sedang melaksanakan shalat wajib atau
sunnah, ia harus membatalkan shalatnya dulu untuk bisa menolong orang yang
sedang dalam bahaya tersebut. Ketentuan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Sedangkan shalat masih tetap
bisa dilakukan dengan cara qadha (dikerjakan pada waktu yang lain saat sudah
aman). Berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya yang harus
disegerakan. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang
yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah (Kasyaf
al-Qi’na, 1/380).
Sikap
tersebut sesuai dengan kaidah fiqh yang ditulis Al-Subki dalam kitabnya al-Asybah
Wa al-Nadzair (I/476) yang berbunyi:
درء
المفاسد أولى من جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (potensi bahaya)
lebih didahulukan (diutamakan) daripada mengambil maslahat (kebaikan).
Dalam kondisi shalat tidak dapat
dilakukan pada waktunya karena alasan darurat, maka shalat dapat dilakukan pada
waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya). Pada dasarnya tidak ada
dalil yang kuat untuk menqadha shalat terutama bagi mereka yang tidak
melaksanakan shalat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tertidur atau karena
lupa, maka yang bersangkitan melakukan shalat ketika ia terbangun atau ketika
ingat (HPT-3 hal. 674-676).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, baik dari
al-Qur’an, al-Hadis, maupun ijtihad para ulama, dapat disimpulkan bahwa apabila
seseorang sedang melaksanakan shalat, kemudian tiba-tiba terjadi musibah
seperti bencana alam atau musibah lainnya yang dimungkinkan dapat membahayakan
dirinya apabila diteruskan shalatnya, maka saat itu ia diperbolehkan
menghentikan atau membatalkan shalatnya. Selanjutnya ia bisa melaksanakan
(melanjutkan) shalatnya tadi apabila situasi dan kondisi sudah aman. Wallahu
A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM JATIM edisi September 2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar