HINDARI KETENARAN
Oleh
Dr. H. Achmad
Zuhdi Dh
عَنْ سَعْدِ بْنِ
أَبِيْ وَقَّاصٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم
يَقُوْلُ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِىَّ
(رَوَاه مُسْلِمٌ)
Dari
Sa’ad bin Abi Waqqas ra. ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya,
dan yang merahasiakan diri” (HR. Muslim No. 7621).
Status Hadis
Hadis tersebut dinilai sahih oleh
Imam Muslim dalam al-Jami al-Sahih hadis No. 7621. Selain Imam Muslim,
beberapa ulama ahli hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam
Ahmad dalam al-Musnad hadis No. 1441, Imam al-Thahawi dalam Syarh
Musykil al-Atsar hadis No. 6050, Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman
hadis No.9885, Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad hadis No. 737, Imam
al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib hadis No. 4137, dan Imam Ibn
al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul hadis No. 7465. Muhammad Nashir al-Din
al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib,
III/26).
Kandungan
Hadis
Hadis tersebut
menjelaskan tentang tiga sikap seorang hamba yang dicintai oleh Allah swt.,
yaitu al-taqi, al-ghani, dan al-khafi. Pertama al-taqi, yaitu seorang
hamba yang bertakwa. Takwa artinya taat
dan patuh menjalankan perintah Allah swt. dan berusaha menjauhkan diri sejauh
mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Kedua al-ghani,
yaitu seorang hamba yang kaya. Kaya di sini maksudnya adalah kaya hati,
merasa cukup dengan pemberian Allah, ridha dengan apapun yang telah ditetapkan
oleh Allah. Ketiga al-khafi, yaitu seorang hamba yang suka
menyembunyikan diri, tidak ingin amal baiknya diketahui orang lain (al-Munawi, al-Taysir
Bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, I/544).
Keutamaan Menyembunyikan Diri
Sikap
al-khafi adalah suka menyembunyikan diri. Sikap ini dilakukan dengan
maksud agar amal ibadah yang dilakukannya terhindar dari riya’ (ingin
dilihat orang), dan terhindar dari sum’ah (ingin tenar atau populer, dan
ingin mendapatkan simpati atau pujian orang lain).
Al-Khafi
adalah salah satu sikap terpuji yang dimiliki oleh orang-orang shalih. Mereka
berusaha untuk selalu menjaga hati agar bisa ikhlas setiap beramal. Mereka
beusaha lari dari pujian dan sanjungan manusia. Mereka tidak menyukai popularitas
di kalangan manusia. Mereka hanya menginginkan Allah sebagai saksi terhadap amal
shalihnya. Mereka hanya berharap ridha dan pahala dari Allah semata.
Dalam
hadis shahih Riwayat Muslim No. 6656, Usair bin Jabir menceritakan tentang
seorang Tabiin yang sangat shalih bernama Uwais bin Amir al-Qarni: “Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia
(Umar) selalu bertanya kepada mereka: “Apakah Uwais bin Amir ada dalam
rombongan kalian?”. Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu
dengan Uwais seraya bertanya: “Apakah kamu Uwais bin Amir?” Uwais menjawab:
'Ya. Benar, saya adalah Uwais. Khalifah Umar bertanya lagi; Kamu berasal dari
Murad dan kemudian dari Qaran? ' Uwais menjawab: 'Ya benar. Selanjutnya
Khalifah Umar bertanya lagi: Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu
sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu? ' Uwais menjawab;
'Ya, benar.' Khalifah Umar bertanya lagi; 'Apakah ibumu masih ada? ' Uwais
menjawab; 'Ya, ibu saya masih ada.' Khalifah Umar bin Khaththab berkata; 'Hai
Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Uwais bin
Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari
Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh
kecuali tinggal sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti
kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya
itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampunan untuk kalian,
lakukanlah! Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku, kata Umar.
Lalu Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Setelah itu,
Khalifah Umar bertanya kepada Uwais: “Hendak pergi kemana kamu hai Uwais?”
Uwais bin Amir menjawab; 'Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul mukminin.
Khalifah Umar berkata lagi: Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada
pejabat Kufah? 'Uwais bin Amir menjawab: “Saya Iebih senang berada bersama
rakyat jelata, saya lebih senang menjadi manusia yang
tidak diperhitungkan….” (HR. Muslim No. 6.656)
Sikap
tidak ingin dipuji, tidak ingin populer, tidak ingin disanjung-sanjung adalah
sikap yang disarankan oleh Nabi saw. kepada sahabatnya. Beliau memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ
“Jauhilah sifat suka dipuji, karena
sesungguhnya dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih” (HR. Ibn Majah No. 3743). Al-Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Silsilah
al-Shahihah, III/278).
Ketika seseorang menjadi tenar,
dipuji dan disanjung banyak orang, maka ketenaran itu bisa menjadi ular
berbisa. Bisa membinasakan dunia dan akhiratnya. Semakin tenar akan semakin sulit menjaga
hatinya. Segala gerak-geriknya kemudian ingin diperhatikan orang, ingin selalu tampil
baik, biar terjaga popularitasnya, dan lain-lain untuk tujuan-tujuan duniawi.
Akhirnya orientasi hidupnya hanya untuk mengejar dunia. Mengejar ketenaran. Berapa
banyak orang yang hanya mengejar tenar, namun tidak lama kemudian ia bernasib
sial, merana, dan menderita.
Beberapa ulama ahli hikmah telah menasihatkan. Di
antaranya Ibn al-Mubarak (w.181 H/797 M) pernah berkata: “Jadilah orang yang
menyukai status khumul (محبا للخمول), suka tersembunyi dan tidak dikenal, dan membenci popularitas
(كراهية الشهرة). Namun, jangan engkau
tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati.
Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan
dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu telah menarik pujian dan
sanjungan untuk dirimu” (Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, IV/137).
Imam al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) mengatakan: “Sudah
sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, yakni
hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang
ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak”
(Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy, Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas,
I/232). Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M) mengatakan: “Beruntung
sekali orang yang dijadikan oleh Allah tidak tenar, …Aku lebih senang jika
berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa” (Ta’thirul Anfas, I/278).
Ibrahim bin Adham (w.777 M) mengatakan, “Tidaklah bertakwa kepada Allah orang
yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang” (Ta’thirul Anfas, I/286).
Al-Fudhail
bin ‘Iyad (w. 187 H/ berkata: "Jika engkau mampu untuk tidak terkenal maka lakukanlah, tidak ada
ruginya engkau tidak dikenal, tidak ada ruginya engkau tidak mendapatkan
pujian, dan tidak ada ruginya engkau dicela oleh manusia jika engkau terpuji di
sisi Allah Azza wa Jalla"(Al-Baihaqi, al-Zuhd al-Kabir, I/100).
Amalan Yang Boleh Ditampakkan
Al-Hasan Al-Bashri (w.728 M) mengatakan: “Kaum
muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan
tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah. Allah
telah memuji amalan yang dilakukan hamba-Nya, baik dengan cara
sembunyi-sembunyi maupun dengan cara terang-terangan, sebagaimana dalam
firman-Nya (QS. Al-Baqarah, 271): “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika
kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (Imam
al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, III/317).
Imam
Al-Izz bin ‘Abdus Salam (w. 639 H/1241 M) telah menjelaskan bahwa ketaatan kepada
Allah itu ada tiga macam. Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk
ditampakkan seperti adzan, iqamat, ucapan takbir ketika shalat, membaca al-Qur’an
secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika
berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat
secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang
sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin
disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka
hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam
beramal. Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi
lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca al-Qur’an
dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir
dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika
dijaharkan. Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan
terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia khawatir tertimpa riya’
atau dia tahu bahwasanya kalau dia tampakkan amalannya akan riya’, maka amalan
(sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.
Lebih
lanjut al-Izz menerangkan bahwa untuk orang yang tidak berposisi sebagai uswah
(teladan), maka orang ini lebih baik menyembunyikan sedekahnya, karena bisa
jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya. Adapun bagi orang yang
berposisi sebagai uswah, maka menampakkan amalan –seperti amalan
sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan memberi manfaat kepada fakir miskin
dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah
pada fakir miskin dengan mencontoh atau mengikuti jejaknya dalam beramal shalih
(al-Iz Ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam Fi
Mashalih al-Anam, I/165).
Sungguhpun menampakkan amal
pada kondisi tertentu diperbolehkan, namun menjaga hati dari riya’ dan sum’ah
tetaplah tidak mudah. Perlu perjuangan yang sungguh-sungguh. Karena itu, sikap
yang lebih aman adalah berusaha menghindar dari pandangan orang. Menghindar
dari pujian dan sanjungan serta menghindar dari ketenaran dan popularitas.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN (Majalah Muhammadiyah Jawa Timur) pada Desember 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar