HUKUM NON-MUSLIM IKUT BERKURBAN
Oleh
Dr.H. Achmad
Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.!
Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon
penjelasan bagaimana hukum orang yang bukan muslim (non-muslim) ikut berkurban
pada suasana Idul Adha. Apakah diperbolehkan? Atas penjelasan dan
pencerahannya, kami sampaikan banyak terima kasih (Sri S dari Surabaya).
Wassalamu’alaikum
wr.wb.!
Jawaban:
Ada keterangan dari al-Quran bahwa
amalan yang dilakukan oleh orang kafir (yang tidak beriman kepada Allah)
maka amalnya tidak akan diterima. Allah swt. berfirman:
وَمَا مَنَعَهُمْ
أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada
yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan
karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. Al-Taubah, 54).
Dalam
surat Ibrahim ayat 18, Allah menegaskan: “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya,
amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada
suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat
sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia), yang demikian itu
adalah kesesatan yang jauh”(QS. Ibrahim, 18).
Ayat-ayat
tersebut menegaskan bahwa amalan yang dilakukan oleh orang kafir (tidak beriman
kepada Allah) maka amalannya akan sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah. Muhammad
Bin Shalih al- ‘Utsaimin, dalam kitabnya (Fiqh al- ‘Ibadat, I/337-338)
mengatakan bahwa syarat diterimanya amal ibadah itu ada dua. Pertama
harus ikhlas, artinya semata-mata karena Allah dengan mengharapkan ridha dan
pahala dari-Nya. Kedua harus mengikuti petunjuk Rasulullah (al-mutaba’ah
lirasulillah saw.). Dalam sebuah hadis Riwayat al-Nasai, Nabi saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ
مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya
Allah tidak akan menerima suatu amal yang tidak didasari oleh keikhlasan dan
mencari ridha Allah swt. (HR. al-Nasai No. 3140). Hadis ini dinilai hasan shahih oleh al-Albani (Shahih Wa
Dhaif Sunan al-Nasai, VII/212).
Orang
kafir, karena tidak beriman kepada Allah, maka amal-amal yang dilakukannya percuma,
tidak diterima oleh Allah swt. Demikian juga, apabila ada orang kafir ikut serta ibadah
kurban (menyembelih hewan kurban) pada saat suasana Idul Adha maka ibadahnya tidak
sah dan tidak diterima oleh Allah Swt.
Selanjutya,
bagaimana jika ada non-muslim ikut serta menitipkan hewan untuk disembelih pada
suasana Idul Adha, apakah boleh diterima oleh panitia, dan bagaimana status
hukumnya?
Bila
hewan yang diserahkan oleh non-muslim itu diniatkan untuk ibadah kurban,
maka jelas tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah swt, karena tidak
memenuhi syarat sahnya suatu ibadah yaitu harus ikhlas karena Allah swt. Selama
ia masih non-muslim, maka tidak mungkin amalnya bisa ikhlas karena Allah,
karena ia tidak mengimaniNya.
Sungguhpun
demikian, bukan berarti panitia tidak boleh menerima hewan yang berasal dari
non-muslim untuk disembelih. Dalam hal ini panitia masih boleh menerima hewan
tersebut bukan sebagai hewan kurban tetapi sebagai hibah(pemberian). Tentang
bagaimana hukum menerima hibah dari orang kafir, berikut ini beberapa hadis
yang bisa dijadikan acuan:
1. Hadis
dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik, beliau bercerita:
جَاءَ مُلاعِبُ الأَسِنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ، وَعَرَضَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلامَ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"فَإِنِّي لا أَقْبَلُ
هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ"
“Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai
senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Rasulullah dengan membawa
hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk
masuk Islam. Rasulullah lantas bersabda: “Sungguh aku tidak menerima hadiah dari
orang musyrik.” (HR. Abd al-Razzaq No. 19658 dan
al-Thabrani No. 15486). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah
al-Kamilah, IV/226).
2. Hadis
dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم
– تَبُوكَ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ
– صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ
“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau
berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari 1481).
Ibn Hajar
al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Kitab Shahih al-Bukhari,
menulis sebagai berikut:
قَوْلُهُ :( بَاب قَبُولِ اَلْهَدِيَّةِ مِنْ
اَلْمُشْرِكِينَ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْف اَلْحَدِيث
اَلْوَارِد فِي رَدِّ هَدِيَّة اَلْمُشْرِك
“Ucapan Imam al-Bukhari pada “Bab menerima
hadiah dari orang-orang musyrik”, maksudnya kebolehan menerima hadiah dari kaum
musyrikin. Dalam tulisan ini seakan-akan al-Bukhari memberi isyarat tentang
lemahnya hadis yang menolak hadiah orang musyrik (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/230).
Al-Asqalani
juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadis yang
bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah
bahwa hadis yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah
pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan orang Islam atau
berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadis yang membolehkannya diarahkan
kepada tujuan menghibur dan kepentingan mendakwahkan Islam.
Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengatakan:
وَأَوْرَدَ اَلْمُصَنِّفُ عِدَّةَ أَحَادِيثَ
دَالَّةٍ عَلَى اَلْجَوَازِ فَجَمَعَ بَيْنَهَا اَلطَّبَرِيُّ بِأَنَّ
اَلِامْتِنَاعَ فِيمَا أُهْدِيَ لَهُ خَاصَّة وَالْقَبُول فِيمَا أُهْدِيَ
لِلْمُسْلِمِينَ وَفِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ مِنْ جُمْلَةِ أَدِلَّةِ اَلْجَوَازِ مَا وَقَعَتْ
اَلْهَدِيَّة فِيهِ لَهُ خَاصَّة ، وَجَمَعَ غَيْرُهُ بِأَنَّ اَلِامْتِنَاعَ فِي
حَقِّ مَنْ يُرِيدُ بِهَدِيَّتِهِ اَلتَّوَدُّدَ وَالْمُوَالَاةَ وَالْقَبُولَ فِي
حَقّ مَنْ يُرْجَى بِذَلِكَ تَأْنِيسُهُ وَتَأْلِيفُهُ عَلَى اَلْإِسْلَامِ
وَهَذَا أَقْوَى مِنْ اَلْأَوَّلِ
“Sang pengarang menyebutkan beberapa hadits
yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Imam al-Thabari membuat
komparasi bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus
diberikan kepada beliau, dan hadis yang menerima diarahkan kepada pemberian
untuk orang-orang Islam secara umum. Pendapat ini perlu dikaji ulang, sebab di
antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada
Nabi. Ulama lain memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah
non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya
adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan
memberinya simpati agar masuk Islam. Ini adalah pendapat yang lebih kuat
dibandingkan yang pertama(al-Asqalani, Fath al-Bari, V/231; bac juga al-Syaukani, Nayl
al-Authar, VI/77).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ada pertanyaan
mengenai hukum menerima hadiah hewan hidup dari orang non-muslim untuk
disembelih saat idul adha. Jawaban fatwa menyatakan:
فلا مانع من قبول الهدية من الكفار بأنواعهم سواء كانت
الهدية شاة أضحية أو غيرها مما أباح الله الانتفاع به بشرط ألا يكون ذلك على حساب دين
المسلم، وقد كان النبي- صلى الله عليه وسلم- وصحابته الكرام يقبلون الهدية من الكفار
وربما أهدوا للكفار أيضا
Tidak masalah menerima hadiah dari orang kafir
dalam bentuk apapun, baik berupa kambing qurban atau yang lainnya, yang Allah
bolehkan untuk dimanfaatkan. Dengan syarat, jangan sampai ada latar belakang
balas budi agama. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat yang mulia, mereka menerima hadiah dari orang kafir, dan terkadang
mereka juga memberikan hadiah kepada orang kafir (Fatawa Syabakah Islamiyah,
no. 116210).
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa status hewan dari orang non-Muslim yang diserahkan kepada
panitia untuk disembelih pada suasana Idul Adha adalah tidak sah sebagai ibadah
kurban. Namun hewan sembelihan dari mereka tetap boleh diterima oleh orang
Islam (panitia kurban) atas nama hibah atau sedekah, bahkan menjadi langkah
yang baik untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama. Hewan pemberian
non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya dilakukan sesuai
syariat Islam.
Masalah
berikutnya, bagaimana jika yang non-muslim tersebut ikut bergabung (urunan)
bersama tujuh orang untuk kurban seekor sapi, apakah bisa merusak niat
kurbannya enam orang yang muslim?
Mengenai
masalah tersebut, Imam al-Nawawi mengatakan:
يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية، سواء
كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين، أو بعضهم يريد اللحم فيجزئ عن المتقرب، وسواء
أكان أضحية منذورة أم تطوعا، هذا مذهبنا وبه قال أحمد وداود وجماهير العلماء، إلا
أن داود جوزه في التطوع دون الواجب. وبه قال بعض أصحاب مالك. وقال أبو حنيفة: إن
كانوا كلهم متقربين جاز، وقال مالك: لا يجوز الاشتراك مطلقا كما لا يجوز في الشاة
الواحدة.
Boleh
urunan 7 orang untuk seekor onta atau sapi, baik mereka semua satu rumah, atau
dari keluarga yang berbeda, atau ada sebagian yang tidak berniat qurban karena
hanya menginginkan dagingnya dan sah untuk yang berniat qurban. Baik qurban
nadzar atau qurban sunah. Inilah pendapat madzhab kami (syafiiyah), dan ini
pendapat Imam Ahmad, Daud al-Zahiri, dan mayoritas ulama. Hanya saja, Daud
membolehkan urunan jika qurbannya bukan qurban wajib. Dan ini pula yang menjadi
pendapat sebagian Malikiyah. Sementara Abu Hanifah mengatakan, ’Jika mereka
semua niatnya untuk qurban, boleh urunan.’ Kemudian Imam Malik mengatakan,
’Tidak boleh urunan secara mutlak, sebagaimana tidak boleh urunan untuk seekor
kambing.
Dalam
hal ini, Imam an-Nawawi menguatkan pendapat yang membolehkan urunan hewan
qurban, meskipun ada yang tidak berniat untuk qurban. Pada lanjutan
keterangannya, al-Nawawi membawakan sejumlah alasan untuk mendukung pendapat
yang beliau nilai lebih kuat:
واحتج أصحابنا بحديث جابر قال { نحرنا مع رسول الله
صلى الله عليه وسلم البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة} رواه مسلم. وعنه قال { خرجنا
مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مهلين بالحج، فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
أن نشترك في الإبل والبقر كل سبعة منا في بدنة} رواه مسلم. قال البيهقي: وروينا عن
علي وحذيفة وأبي مسعود الأنصاري وعائشة رضي الله عنهما أنهم قالوا ” البقرة عن
سبعة ” وأما قياسه على الشاة فعجب، لأن الشاة إنما تجزئ عن واحد، والله أعلم.
Ulama
kami (syafiiyah) berdalil dengan hadis Jabir yang mengatakan, ’Kami melakukan
qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seekor
onta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.’ Riwayat Muslim. Juga dari
Jabir, ’Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangka melakukan haji. Kemudian beliau memerintahkan untuk urunan onta dan
sapi, setiap 7 orang untuk satu ekor.’ Riwayat Muslim. al-Baihaqi mengatakan,
’Kami mendapat riwayat dari Ali, Hudzaifah, Abu Mas’ud al-Anshari, dan A’isyah
radhiyallahu ’anhum, bahwa mereka berpendapat, ’Sapi boleh untuk 7 orang.’
Sementara diqiyaskan dengan kambing, ini sangat mengherankan. Karena kambing
hanya boleh untuk satu orang.’ Allahu a’lam. (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, VIII/398-399).
Berdasarkan
keterangan keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa dibolehkan urunan
qurban meskipun salah satu peserta tidak berniat untuk qurban. Termasuk ketika
salah satu peserta adalah orang kafir. Karena masing-masing mendapatkan jatah
sesuai niatnya. Yang qurban sah sebagai qurban, yang tidak qurban berhak
mendapat apa yang diinginkan. Dan niat seseorang tidak mempengaruhi niat orang
lain. Wallahu A’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar