CERDAS ALA RASULULLAH SAW.
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشِرُ عَشْرَةٍ، فَجَاءَ رَجُلٌ
مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، مَنْ أَكْيَسُ النَّاسِ
وَأَحْزَمُ النَّاسِ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ ذِكْرًا لِلْمَوْتِ، وَأَشَدُّهُمُ
اسْتِعْدَادًا لِلْمَوْتِ
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasulullah Saw. sebagai orang yang kesepuluh. Tiba-tiba
seorang lelaki Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah! Siapakah orang
yang paling cerdas dan paling kuat tekadnya di kalangan umat manusia ini?
Beliau menjawab: “Yaitu orang yang paling sering mengingat kematian dan senantiasa
bersiap siaga untuk menghadapinya (HR. al-Thabrani No. 13536).
Status
Hadis:
Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 13536. Selain al-Thabrani,
banyak ulama ahli hadis yang juga meriwayatkannya. Di antaranya al-Tirmidzi
dalam Sunan al-Tirmidzi No. 2459, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah
No. 4259, al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 10549, al-Haytsami dalam Majma’
al-Zawaid No. 18214, al-Suyuti dalam Jami’ al-Ahadits No. 33919,
al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 5053, al-Iraqi dalam al-Mughni
An Haml al-Asfar No. 3538, Ali Ibn Hisamuddin dalam Kanz al-Ummal
No. 42792, al-Bazzar dalam Musnad al-Bazzar No. 6175, dan Ibn Abd
al-Barr dalam al-Istidzkar, V/94. Setelah memperhatikan dari berbagai
jalur periwayatan, Syaikh al-Albani menilai bahwa hadis tersebut hasan (M.
Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, III/372).
Kandungan Hadis:
Hadis tersebut memaparkan peristiwa
audensi 10 (sepuluh) sahabat kepada Nabi Saw. di Masjid Nabawi. Sepuluh sahabat
itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abdurrahman Bin Auf, Ibn Mas’ud,
Mu’adz, Hudzaifah, Abu Said al-Khudri, dan Ibn Umar. Saat itu, tiba-tiba ada seorang pemuda Anshar
menanyakan tentang siapa orang yang paling cerdas dan paling kuat tekadnya.
Nabi Saw. menjawab bahwa orang yang paling cerdas dan paling kuat tekadnya
adalah orang yang paling banyak mengingat datangnya kematian dan yang paling
siap menghadapinya. Peristiwa ini dicatat dalam sejumlah kitab Tarikh atau
Kitab Sejarah Islam. Di antaranya oleh Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam,
II/631; Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VIII/774; dan al-Halabi, al-Sirah
al-Halabiyah, III/184).
Dalam
kehidupan kita sekarang ini, kebanyakan orang memandang bahwa yang disebut
cerdas itu hanya dinilai dari indikator duniawi dan kebendaan saja. Misalnya,
ketika ada anak sekolah berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya maka
ia dianggap sebagai anak yang paling cerdas. Ketika seorang siswa lulusan SMA
berhasil memasuki Perguruan Tinggi ternama atau unggulan maka anak itu dianggap
sebagai anak yang sangat cerdas. Ketika seorang lulusan sarjana kemudian
mendapatkan tempat kerja yang layak serta dikenal sangat kreatif dan inovatif
dalam kinerjanya dan berhasil mendapatkan penghasilan yang besar maka ia
dipandang sebagai karyawan yang sangat cerdas dan andal.
Pandangan tersebut tidak
sepenuhnya salah. Namun jika dicermati, ukuran kecerdasan yang dipakai
masyarakat tersebut pada umumnya hanya sebatas ukuran duniawi dan kebendaan. Sedangkan
Rasulullah Saw. ketika ditanya tentang siapa orang yang paling cerdas, maka beliau
menjawab:
أَكْثَرُهُمْ
ذِكْرًا لِلْمَوْتِ، وَأَشَدُّهُمُ اسْتِعْدَادًا لِلْمَوْتِ
Orang
yang paling cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat datangnya
kematian dan yang paling siap menghadapinya (HR. al-Thabrani No.
13536).
Mengapa Rasulullah mengatakan bahwa
orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat datangnya
kematian? Karena, manusia yang banyak mengingat kematian, tidak akan mudah tertipu
oleh kenikmatan dunia ini. Ia tidak akan membangga-banggakan kemegahan dan
kekayaan dunia ini yang sifatnya semu dan sementara. Sebaliknya, ia akan semakin
terdorong mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat kelak, yang memang lebih
utama dan kekal abadi selamanya. Di sinilah letak kecerdasannya, ia tidak
tertipu dengan dunia ini. Ia bisa mengambil pilihan tepat, yaitu mengejar
keberuntungan kehidupan akhirat yang lebih utama.
Alkisah,
di zaman Nabi Musa as., telah hidup seorang bernama Qarun. Menurut Ibnu Ishak,
Qarun adalah paman Nabi Musa. Sementara, menurut A'masy dan lainnya, Qarun
adalah sepupu Nabi Musa. Ayah Nabi Musa yang bernama Imran adalah
kakak dari ayah Qarun yang bernama Yashar. Baik Nabi Musa maupun Qarun adalah
keturunan Nabi Ya'kub. Pada mulanya, Qarun telah hidup dalam keadaan sangat miskin.
Begitu miskinnya, sampai-sampai ia tidak sanggup menafkahi keluarganya.
Menyadari
kondisi yang sangat memprihatinkan ini, Qarun meminta tolong kepada Nabi Musa
untuk mendoakan agar Allah memberikannya harta benda yang berlimpah. Saat itu Nabi
Musa menyetujuinya tanpa ragu karena tahu betul bahwa Qarun adalah seorang yang
sangat salih dan pengikut ajaran Ibrahim yang sangat baik. Doa Nabi Musa pun
dikabulkan oleh Allah. Akhirnya, Qarun pun menjadi kaya raya. Ia kemudian
memiliki ribuan gudang harta yang penuh berisikan emas dan perak. Ia dengan
bangga memamerkan kekayaannya. Suatu saat, dia keluar dengan pakaian yang
sangat mewah dengan didampingi oleh 600 orang pelayan yang terdiri atas 300 orang
laki-laki dan 300 orang perempuan. Bukan hanya itu, ia juga dikelilingi oleh
4.000 orang pengawal dan diiringi 4.000 ekor binatang ternak yang sehat, plus
60 ekor unta yang membawa kunci-kunci gudang kekayaannya (al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf,
III/346; Abu Ja’far al-Thabari, Tafsir al-Thabari, XIX/528; Abu
al-Barakat al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi, III/247).
Fantastis!
Namun
sayang, setelah keinginan Qarun menjadi kaya raya terwujud, ia mempergunakan
hartanya dalam kesesatan, kezaliman, dan permusuhan, sehingga membuatnya
menjadi orang yang sombong. Qarun mabuk dan terlena dengan kekayaannya. Janji
Qarun untuk lebih khusyuk beribadah dan membantu sesama setelah menjadi kaya, tak
terbukti. Dia mendurhakai Allah dan mengkhianati Musa as., kemudian memilih
untuk menyembah Sobek, dewa berkepala buaya serta dewa-dewa lainnya.
Ketika
Qarun diingatkan agar bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat berupa harta
kekayaan yang telah diberikan, ia menolak dan berkata dengan pongah. Ia
mengatakan bahwa kekayaannnya itu adalah semata-mata karena kepintaran dan
kelihaiannya semata. Akhirnya Allah pun murka, selanjutnya menghukum Qarun
dengan menenggalamkannya ke dalam perut bumi bersama rumah dan harta
kekayaannya. Kisah Qarun tersebut tersirat dalam al-Qur’an surat al-Qasas ayat
76 sd 81.
Kisah
tersebut menggambarkan bahwa Qarun tidak cerdas. Ia telah tertipu dengan
bergelimangnya harta dan kehormatan dunia yang sebenarnya bersifat semu dan
sementara. Bila Qarun berpikiran cerdas, mestinya kekayaan hartanya itu
disyukuri dengan cara memanfaatkannya untuk banyak beramal shalih, membantu
kaum lemah, dan melakukan hal-hal untuk kemaslahatan orang banyak, sehingga bisa
dijadikan sebagai bekal atau investasi untuk kehidupan akhirat.
Allah
swt. mengingatkan dalam Surat al-Qasas ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS.
Al-Qasas, 77).
Ayat tersebut mengingatkan manusia agar mengejar
akhirat (surga), yakni kehidupan masa depan yang sejati dan abadi dengan
memanfaatkan harta benda dan apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah untuk
disedekahkan di jalan yang diridhai Allah, untuk fakir miskin, dan menolong
hamba-hamba Allah yang membutuhkan. Sungguhpun demikian Allah masih mengizinkan
manusia untuk menikmati dunia ini pada batas-batas yang tidak sampai melalaikannya
pada kehidupan akhirat
(Abdurrahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/623).
Itulah pilihan cerdas. Ukuran kecerdasan bukan lagi soal
pencapaian pendidikan. Bukan soal bergelimangnya dengan materi, bukan pula soal
seberapa banyak cita-cita, harapan, dan keinginan yang sudah diraih. Akan
tetapi, kecerdasan adalah kemampuan melihat masa depan. Kemampuan memilih dan
mengutamakan kehidupan di akhirat, setelah datangnya kematian. Dalam sebuah
hadis disebutkan:
عَنْ
شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ
أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللّهِ
Dari Syaddad bin Aus, Nabi Saw.
bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang yang suka melakukan muhasabah
(introspkesi) terhadap dirinya sendiri dan suka beramal demi kepentingan hidup
setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti
hawa nafsunya dan berharap kepada Allah dengan harapan kosong, ingin dapat
ampunan Allah, tetapi tidak berusaha menjaga diri dan tidak mau bertaubat” (HR.
al-Tirmidzi No. 2459, Ibn Majah No. 4260, dan al-Hakim No. 7639). Hadis ini statusnya
diperdebatkan. Sebagian ulama seperti al-Albani melemahkannya (al-Albani, al-Silsilah
al-Dha’ifah, XI/320), sedangkan al-Tirmidzi menilainya hasan (al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirnidzi, IV/219 dan al-Hakim menilainya shahih (al-Hakim, al-Mustadrak,
IV/251).
Dalam
hadits tersebut, Rasulullah saw.
menjelaskan, bahwa orang cerdas adalah orang yang pandangannya jauh ke
depan, tidak hanya berhenti pada kehidupan dunia ini, tetapi juga
kehidupan setelah kematian, hingga sampai kehidupan yang abadi di akhirat
kelak. Akhirat dipandang sebagai negeri yang dirindukan setelah kehidupannya di
dunia yang fana ini. Pandangan seperti ini bisa terjadi pada orang yang
memiliki keimanan yang kuat, terutama keimanan kepada adanya hari pembalasan.
Bagi orang yang tidak meyakini adanya hari pembalasan, tentu tidak akan pernah
berpikir untuk menyiapkan bekal amal apa pun.
Bagaimana dengan sikap kita selama ini, sudahkah bertindak cerdas, mampu mengambil pilihan-pilihan cerdas? Semoga kita termasuk orang yang cerdas ala Rasulullah saw., sehingga tidak mudah tertipu dan terlena oleh dunia ini. Amien!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar