RUQYAH MASA JAHILIYAH
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Sebelum
kedatangan Islam, ruqyah sudah
dikenal di kalangan masyarakat Arab. Ruqyah merupakan warisan bangsa Arab dalam rangka mendapatkan
berkah dan permohonan kepada Allah. Ruqyah
berasal dari agama-agama samawi, kemudian diselewengkan oleh orang-orang sesat
lalu dimasukkan ke dalam sihir dan pengobatan. Mereka mencampur-adukkan dengan
ucapan-ucapan yang bisa jadi mereka sendiri tidak memahami artinya. Dalam
praktiknya juga ditambah dengan suatu benda seperti bebatuan, atau
potongan-potongan tulang dan rambut hewan. Akhirnya bercampur-aduklah perkara ruqyah di kalangan masyarakat jahiliah. Setelah
Islam datang, ruqyah digunakan untuk
terapi dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan bacaan-bacaan doa yang ma’tsur
melalui sarana doa.
Pada masa jahiliah, ruqyah
diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap
berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang
dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya
guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kekuatan natural, guna meraih
manfaat atau menolak bahaya. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa
menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin
dan sebagainya. Karena pemahaman yang demikian ini maka Nabi saw pernah
melarang ruqyah. Beliau pernah
bersabda bahwa sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah itu
adalah syirik (HR. Abu Dawud). Al-Tama'im jama’ dari al-tamimah
yaitu suatu jimat perlindungan yang dikalungkan di leher anak untuk penangkal ‘ayn.
Jika yang dikalungkan itu dari al-Qur’an, di kalangan ulama ada dua pendapat. Ada
yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Pendapat yang lebih kuat dan aman adalah yang
melarangnya. Sedangkan Al-Tiwalah adalah aji-aji pengasihan (jawa: pelet)
yang dibuat dan dimaksudkan agar sang suami mencintai isterinya atau agar
isteri mencintai suaminya.
Sehubungan
dengan pernyataan Nabi Saw bahwa ruqyah
itu mengandung syirik, ‘Abdullah bin Mas‘ud menjelaskan kepada isterinya yang
pernah sembuh matanya karena diterapi ruqyah
oleh orang Yahudi. Ibn Mas‘ud berkata:
إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ
فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا
“Sesungguhnya cara seperti itu
adalah perbuatan setan yang menyolok matanya dengan tangannya sehingga ketika
diterapi ruqyah dapat menahan rasa
sakitnya” (HR. Ahmad).
Nabi
Saw memang pernah melarang ruqyah,
tetapi tidak berlaku pada semua jenis ruqyah.
Ruqyah yang dilarang Nabi Saw
hanyalah ruqyah yang di dalamnya
terdapat unsur syirik seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang jahiliah dan orang
Yahudi. Selama ruqyah tidak dimasuki
unsur syirik maka dibolehkan. Seorang sahabat Nabi Saw bernama ‘Awf bin Malik
al-Asyjai berkata: “Kami dahulu pada masa jahiliah pernah melakukan ruqyah kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw: “bagaimana
pendapatmu terhadap ruqyah yang kami
lakukan?”. Nabi Saw kemudian minta ditunjukkan caranya melakukan ruqyah,
lalu Nabi Saw menyatakan: “tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak terdapat unsur syirik di dalamnya (HR. Muslim).
Di kalangan kaum
Yahudi, dalam melakukan ruqyah ada
yang bekerjasama dengan jin atau setan selain ada juga yang menggunakan Kitab
Allah. Seorang Yahudi yang dikenal suka bekerjasama dengan jin atau setan
adalah Labid bin Al-'A’sham yang pernah menyihir Nabi Saw.(HR. al-Bukhari). Sedangkan praktik ruqyah dengan Kitab Allah pernah dilakukan oleh wanita Yahudi yang
melakukan ruqyah kepada ‘Aisyah ra pada saat ia sakit.
Diceritakan bahwa suatu ketika 'Abu Bakr
datang ke rumah ‘Aisyah ra yang sedang menderita sakit. Saat itu ada seorang
wanita Yahudi yang akan mengobati ‘Aisyah dengan cara ruqyah.
Maka 'Abu Bakr memerintahkan wanita Yahudi itu untuk melakukan ruqyah dengan Kitab Allah yaitu dengan
Taurat dan Injil.
Keterangan
tersebut menunjukkan bahwa ruqyah,
selain dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliah, juga
dilakukan oleh orang-orang Arab Yahudi. Imam Muslim meriwayatkan dari 'Ibn ‘Abbas
ra bahwa pernah ada seorang ahli ruqyah
bernama Dimad dari kabilah Bani 'Azad
Shanu’ah pergi ke Mekkah. Ketika Dimad mendengar dari orang-orang jahiliah Mekkah yang
mengatakan bahwa Muhammad telah gila, ia ingin sekali melakukan ruqyah kepada beliau. Akhirnya Dimad
dapat bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan menawarkan diri kepada beliau untuk
dapat melakukan ruqyah. Dimad
berusaha meyakinkan Nabi Saw bahwa dirinya bisa melakukan ruqyah dan Allah akan
menyembuhkan siapa saja yang telah diberikan ruqyah olehnya.
Mendengar tawaran dari Dimad itu, Nabi Saw menjawabnya dengan kalimat sebagai
berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami
memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya.
Barangsiapa yang diberi petunjuk maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat
memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali
Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya” (HR. Muslim).
Mendengar jawaban
Nabi Saw seperti itu Dimad penasaran kemudian minta kepada Nabi saw untuk
mengulanginya lagi, maka Rasulullah saw pun mengulanginya hingga tiga kali.
Setelah itu Dimad berkomentar dengan penuh kekaguman, katanya: “aku sering
mendengar perkataan-perkataan tukang ramal, tukang sihir dan para penyair,
namun sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau (Nabi Saw)
ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalaman lautan”. Setelah
itu Dimad berbaiat kepada Rasulullah Saw untuk memeluk agama Islam dan kaumnya
pun kemudian diajaknya memeluk Islam.
Di kalangan
sahabat Nabi Saw, sebelum masuk Islam, banyak yang mempunyai keahlian melakukan
ruqyah. Tetapi mereka mengalami
kebimbangan ketika Nabi Saw melarang ruqyah.
Di antara mereka itu adalah keluarga ‘Amr bin Hazm.
Suatu ketika mereka menemui Rasulullah Saw untuk menanyakan perihal larangan ruqyah. Mereka lalu memperlihatkan
kepada Nabi Saw bagaimana cara melakukan ruqyah
dari sengatan kalajengking atau gigitan ular berbisa. Setelah memperhatikan
cara-cara mereka melakukan ruqyah,
Nabi Saw kemudian mengatakan: “saya kira tidak ada masalah dengan ruqyah yang kalian lakukan. Barangsiapa
ada di antara kalian yang bisa menolong saudaranya, maka lakukanlah”(HR. Muslim).
Setelah Nabi
memberikan lampu hijau tentang bolehnya melakukan ruqyah, beberapa sahabat pun melakukan ruqyah, baik terhadap diri sendiri ataupun kepada orang lain.
Pernah suatu ketika sejumlah rombongan sahabat Nabi Saw melakukan perjalanan, dan ingin singgah dan bertamu di sebuah
kampung, tetapi tidak diizinkan. Saat itu kepala kampungnya menderita sakit
karena sengatan ular atau kalajengking. Untuk memenuhi permintaan mereka, salah
seorang sahabat Nabi Saw mendatangi kepala kampung kemudian melakukan ruqyah untuk kesembuhannya dengan cara
meniup dan sedikit meludah sambil membacakan surat al-Fatihah. Dengan izin Allah, sakit yang diderita kepala
kampung itu hilang dan sembuh total (Ibn Asyur, al-Tahrir Wa al-Tanwir;
Ali Al-Mubarak, Ruqyah Syar’iyah; Ali al-Syaikh, al-Tamhid Li Syarh Kitab al-Tauhid; Jawwad Ali, al-Mufashshal Fi Tarikh
al-Arab Qabl al-Islam; al-Dzahabi, Tarikh
al-Islam; Ibn al-Atsir, Asad al-Ghabah).
(Sumber: Buku Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, Terapi Qur’ani,
hal. 28-33).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar