MENSYUKURI
KEMERDEKAAN
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi
Dh, Fil I
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
Abu Hurairah
berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa tidak berterima kasih kepada
manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah”(HR. al-Tirmidzi No.1954).
Status Hadis
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi,
III/403 No. 1954). Al-Tirmidzi menilai hadis tersebut sahih. Selain
al-Tirmidzi, para ahli hadis yang meriwayatkan hadis tersebut antara
lain Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, XII/472 No. 7504; Imam
al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, I/85 No. 218; Imam Abu
Dawud dalam Sunan Abi Dawud, IV/403 No. 4813; Imam al-Bayhaqi
dalam Syu’ab al-Iman, VI/516 No. 9119; Imam al-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir, I/219 No. 520; dan Imam Ibn Hibban
dalam Sahih Ibn Hibban, VIII/198 No. 3407. Al-Albani
dalam Sahih al-Jami’ al-Shaghir, II/1114 No. 11487 juga
menilai hadis tersebut sahih.
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menerangkan tentang hakikat bersyukur. Orang yang bersyukur atau berterima
kasih kepada sesama yang telah berjasa, hakikatnya telah bersyukur kepada
Allah. Karena berterima kasih kepada manusia yang telah berjasa merupakan
perintah Allah. “Wala tansawul fadla bainakum (ولا تنسواالفضل بينكم)”, janganlah kamu
melupakan keutamaan atau kebaikan di antara kalian (QS. Al-Baqarah, 237).
Makna
syukur itu sendiri adalah “isti’mal al-ni’am fima khuliqat lahu”,
mempergunakan segala nikmat untuk apa nikmat-nikmat itu dibuat/diberikan (Sayid
Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith, XIV/179). Mensyukuri nikmat
baru dianggap sempurna apabila memenuhi tiga unsur. Pertama, mengakui dan
meyakini bahwasanya nikmat itu berasal dari Allah. Kedua, mempergunakan nikmat
sesuai dengan maksud Allah membuat atau memberikan nikmat itu kepada manusia.
Ketiga, memuji Allah dengan ucapan alhamdulillah pada lisannya (Abd al-Halim
Mahmud, Fatawa Abd al-Halim Mahmud, I/414). Ibn al-Qayyim,
dengan gambaran yang hampir sama mengemukakan makna syukur sebagai berikut:
وَهُوَ ظُهُوْرُ أَثَرِ نِعْمَةِ اللهِ
عَلَى لِسَانِ عَبْدِهِ: ثَنَاءً وَاعْتِرَافًا وَعَلَى قَلْبِهِ: شُهُوْدًا
وَمَحَبَّةً وَعَلَى جَوَارِحِهِ: انْقِيَادًا وَطَاعَةً
“Syukur adalah
menampakkan adanya nikmat Allah yang telah diterimanya. Secara
lisan berupa pujian (ucapan alhamdulillah) dan pengakuan bahwa nikmat
itu dari Allah, melalui hati berupa kesaksian dan kecintaan
kepada Allah, dan melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan
ketaatan kepada Allah” (Ibn al-Qayyim, Madarij al-Salikin, II/244).
Ibn
Ajibah (w. 1224 H/1809 M) menjelaskan bahwa cara manusia menyikapi nikmat itu
ada tiga tingkatan, yaitu cara awam, khawas, dan khawas
al-khawas (Ibn Ajibah, Iqadhul Humam Syarh Matan
al-Hikam, I/169).
Pertama (cara kaum
awam), mereka bergembira dengan kenikmatan yang diterima,
karena kenikmatan itu dianggap dapat memberikan kelezatan, kemudahan,
dan gengsi serta martabat di lingkungan sosialnya. Selain itu, mereka
beranggapan bahwa kenikmatan berupa kesuksesan dan hal-hal yang dapat
membahagiakan itu adalah berkat kepandaian dan keahliannya semata. Mereka tidak
menyadari bahwa kenikmatan yang telah diterimanya itu adalah karena anugerah
Allah swt. Model manusia seperti ini termasuk golongan orang-orang yang lalai
dan tersesat serta terancam siksaan dari Allah, sebagaimana dalam berfirman-Nya:
فَلَمَّا نَسُوا۟
مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا
فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan
semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am,
44).
Kedua (cara
kaum khawas), mereka bergembira
dengan kenikmatan yang diterima, karena kenikmatan itu bisa memberikan
kelezatan, kemudahan, dan gengsi serta martabat di lingkungan sosialnya.
Bedanya dengan yang pertama, model manusia yang kedua ini masih meyakini bahwa
kesuksesan dalam meraih kenikmatan itu tidak semata-mata karena kepandaian dan
kelihaiannya, tetapi juga dikarenakan adanya campur tangan atau anugerah dari
Allah swt. Model manusia seperti ini termasuk dalam kategori orang-orang yang
terpuji dan selamat dari kehinaan, sebagaimana firman Allah swt.:
قُلْ بِفَضْلِ
ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا
يَجْمَعُونَ
"Dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (QS.
Yunus, 58).
Ketiga (cara
kaum khawas al-khawas), mereka bergembira bukan karena kenikmatan
itu, dan juga bukan karena Allah telah memberikan kenikmatan itu, tetapi
gembira karena bisa mengenal lebih dekat dengan sang pemberi nikmat. Mereka
tidak tertarik dengan kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepadanya, mereka
lebih tertarik dan gembira karena bisa dekat dengan Allah, sang Pemberi nikmat.
Mereka ini tergolong manusia yang selamat, bermartabat tinggi dan sangat
terpuji. Kemampuannya bisa makrifat (mengenal) pada Pemberi
nikmat bukan karena nikmatnya itu, dapat menyelamatkannya dari segala macam
tipuan nikmat. Mereka ini malah lenyap dalam kenikmatan mencintai Sang Pemberi.
Inilah wujud syukur yang paling sempurna. Syukur yang demikian ini hanya bisa
diraih oleh orang yang sangat istimewa (khash al-khawash), yaitu
hamba-hamba Allah yang karena kedekatan dan cintanya kepada-Nya, mereka tidak
lagi tertarik kepada yang selain Allah. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
suatu saat Nabi shalat malam hingga telapak kakinya bengkak merekah, lalu
‘Aisyah bertanya: “Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah swt. telah
memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosa-mu yang telah lalu dan yang akan
datang?” Lalu beliau menjawab: “afala akunu ‘abdan syakura” (أَفَلاَ أَكُوْنُ
عَبْدًا شَكُوْرًا), apakah aku tidak boleh
menjadi hamba yang bersyukur (HR. al-Bukhari No. 1130 dan Muslim No. 7304).
Banyak
sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, bangsa Indonesia. Di
antara nikmat terbesarnya adalah nikmat kemerdekaan yang setiap 17 Agustus
selalu diperingati sebagai hari kemerdekaan Repubik Indonesia. Nikmat
kemerdekaan ini sangat berharga bagi bangsa Indonesia, karena itu harus
disyukuri. Cara mensyukurinya, pertama adalah dengan meyakini
dan menyadari bahwa kemerdekaan itu dapat dicapai karena campur tangan Allah
swt. Dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 disebutkan:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ungkapan ini menunjukkan
bahwa pendiri bangsa ini adalah manusia-manusia yang relijius dan bertauhid.
Mereka sadar benar bahwa pencapaian kemerdekaan bukanlah karena usahanya semata,
tetapi dibangun dan merdeka atas berkat Rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pernyataan “Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” tersebut sangat relevan
dengan pengertian kemerdekaan yang dikemukakan oleh Abdullah Qadiri yang
mengatakan: “la hurriyyata illa bitauhidillah”, tidak ada
kemerdekaan hakiki kecuali dengan bertauhid kepada Allah (al-Sibaq Ila
al-‘Uqul, I/104). Maksudnya, manusia tidak boleh
menyerahkan diri dan tunduk kepada siapa pun selain Allah. Sebab, penyerahan
diri dan ketundukan ini mengandung makna perendahan. Penghambaan manusia kepada
sesama manusia, apalagi kepada makhluk lain yang lebih rendah, dapat merendahkan
dan menjatuhkan harga diri manusia, bahkan melecehkan harkat dan martabat
kemanusiaan. Dalam pespektif ini, hanya orang yang bertauhid (mengesakan Allah)
yang dapat disebut sebagai orang yang benar-benar bebas dan merdeka. Dengan
bertauhid pula, ia akan mampu membebaskan diri dari berbagai belenggu yang
dapat menjauhkan dirinya dari kebenaran dan kepatuhan kepada Allah swt.
Selain
itu, cara kedua dalam mensyukuri kemerdekaan adalah dengan
mengisi alam kemerdekaan ini melalui berbagai hal yang dapat membawa kemajuan
dan kemakmuran bangsa Indonesia. Jika kita bisa
sepakat bahwa kemerdekaan itu merupakan “jembatan emas” menuju kemakmuran, maka
setiap kegiatan dan aktifitas yang diarahkan untuk mencapai kemakmuran bangsa,
pada hakikatnya adalah merupakan bentuk syukur terhadap kemerdekaan. Berangkat
dari sini, sebagai bagian dari anak bangsa, kita berkewajiban untuk menjaga dan
membawa kemerdekaan ini dengan mengisi kegiatan apa saja sesuai dengan
bidang dan keahlian masing-masing demi tercapainya kehidupan berbangsa dan
bernegara yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bukan
sekedar berteriak dan mengaku “aku NKRI”, “aku Pancasila”, “aku Indonesia”, dan
semacamnya.
Sedangkan cara ketiga dalam mensyukuri
nikmat kemerdekaan adalah dengan banyak bertahmid, memuji Allah dengan
ucapan alhamdulillah, dan banyak bersujud, termasuk sujud syukur,
menunjukkan kataatan dan kepatuhan kepada Allah.
Nah, kini, sudahkah kita mensyukuri kemerdekaan? Buatlah para pahlawan kemerdekaan dan pendiri bangsa ini tersenyum melihatmu, karena besarnya dedikasimu. Ingat kata berhikmah dari John F. Kennedy: “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country” (http://www.jfklibrary.org/), jangan tanyakan apa yang dapat diberikan oleh negara untukmu, tetapi tanyakan apa yang bisa kamu lakukan untuk negerimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar