JANGAN
SIA-SIAKAN KESEMPATAN
Oleh:
Dr.H. Achmad
Zuhdi Dh, M.Fil I
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di
dalamnya, yaitu sehat dan sempat (HR. al-Bukhari No. 6412 dari Ibn Abbas ra.)
Status
Hadis
Hadis
tersebut statusnya sahih. Selain Imam al-Bukhari yang meriwayatkannya dalam
kitab Sahih al-Bukhari, I/3218 hadis No. 6412, beberapa ulama ahli hadis
lain yang juga meriwayatkannya adalah Imam al-Tirmidzi dalam kitab al-Sunan,
IV/126 hadis No. 2304; Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad, IV/177 hadis
No. 2340; Imam Ibn Majah dalam kitab al-Sunan, II/1396 hadis No. 4170;
Imam Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, VII/82 hadis No. 34357;
Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, IV/341 hadis No. 7845; Imam
al-Thabrani dalam kitab al-Ausath, VI/193 hadis No. 6163; Imam
al-Bayhaqi dalam kitab al-Sunan, III/370 hadis No. 6760; dan Imam
al-Darimi dalam kitab al-Sunan, II/385 hadis No. 2707; Muhammad Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Misykat
al-Mashabih tahqiq al-Albani, V/3 hadis No. 5155 menilai bahwa hadis
tersebut sahih.
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menjelaskan tentang dua nikmat yang banyak dilupakan atau dilalaikan
oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan nikmat sempat. Kedua nikmat ini sangat
penting dan sangat menentukan kehidupan seseorang. Sabda Nabi saw: “kebanyakan
manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan bahwa orang yang mendapatkan
taufik (bimbingan) untuk itu, tidak banyak.
Ibnul
Jauzi rahimahullah berkata:
قَدْ
يَكُون الْإِنْسَان صَحِيحًا وَلَا يَكُون مُتَفَرِّغًا لِشُغْلِهِ بِالْمَعَاشِ، وَقَدْ
يَكُون مُسْتَغْنِيًا وَلَا يَكُون صَحِيحًا، فَإِذَا اِجْتَمَعَا فَغَلَبَ عَلَيْهِ
الْكَسَل عَنْ الطَّاعَة فَهُوَ الْمَغْبُون، وَتَمَام ذَلِكَ أَنَّ الدُّنْيَا مَزْرَعَة
الْآخِرَة، وَفِيهَا التِّجَارَة الَّتِي يَظْهَر رِبْحهَا فِي الْآخِرَة
“Kadang-kadang
manusia itu sehat, tetapi tidak punya waktu longgar, karena kesibukannya dengan
penghidupan. Kadang-kadang manusia itu cukup (waktu dan kebutuhannya), tetapi
tidak sehat. Jika keduanya terkumpul (dalam kondisi sehat dan sempat), lalu
dikalahkan oleh kemalasannya melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang
tertipu. Kesempurnaan akan diperoleh bila ia bisa menjadikan dunia ini sebagai ladang
akhirat. Di dunia inilah tempat ia berdagang yang keuntungannya akan nampak di
akhirat”.
Lebih lanjut
Ibnul Jauzi berkata: “Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk
ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang mendapatkan kejayaan dan kebahagiaan.
Dan barangsiapa menggunakan keduanya untuk maksiat kepada Allah, maka dia
adalah orang yang tertipu”(al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, IX/553; Ibn
Hajar, Fath al-Bari, XI/230).
Nikmat Sehat
Banyak
manusia yang sehat, anggota tubuhnya juga sempurna, namun mereka tertipu.
Mereka lalai, tidak pandai mensyukuri nikmat sehat itu sebagaimana mestinya.
Seharusnya nikmat sehat itu digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan
ketaatan dalam beribadah. Tetapi kebanyakan mereka malah bermalas-malasan
bahkan melakukan perbuatan maksiat. Sementara di luar sana ada sebagian orang
yang ingin bekerja dan beribadah maksimal, tetapi tidak sanggup melakukannya
dikarenakan sakit atau menderita cacat. Orang seperti ini, biasanya baru sadar
kalau sudah tidak lagi sehat dan sebagian tubuhnya tidak lagi berfungsi dengan
baik.
Dikisahkan bahwa
ada seseorang yang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesedihannya di
hadapan orang arif (bijak). Orang arif itu bertanya: “Apakah engkau senang
menjadi buta dengan mendapatkan uang 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”.
Orang arif itu bertanya lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu dengan
mendapatkan uang 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu bertanya
lagi: “Apakah engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan
kedua kaki dengan mendapatkan uang 20 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”.
Orang arif itu bertanya lagi: “Apakah engkau senang menjadi gila dengan
mendapatkan 10 ribu dirham?”. Ia menjawab: “Tidak”. Orang arif itu berkata: “Nah
renungkan baik-baik, apakah engkau tidak malu mengeluh di hadapan Tuanmu (Allah
swt), sedangkan Dia memiliki harta setara dengan 50 ribu
dinar padamu” (Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin,
IV/47).
Kisah
ini mengingatkan setiap orang agar pandai mensyukuri nikmat, terutama nikmat
sehat yang memungkinkan ia bisa memanfaatkannya untuk melakukan apa saja yang
ia bisa.
Nikmat Senggang
Waktu
adalah sesuatu yang terus berjalan ke depan dan tak akan kembali lagi. Oleh
karena itu, banyak sekali manusia yang menyesal karena tidak pandai
memanfaatkan waktu senggangnya. Ia tertipu oleh hawa nafsunya, ia melalaikannya
sehingga waktu berlalu begitu saja, tanpa ada manfaat dan faidahnya. Hidupnya
dan waktu senggangnya hanya dihabiskan untuk perbuatan yang sia-sia.
Waktu
ibarat pedang bermata dua, jika digunakan untuk kebaikan, bekerja keras,
menggapai mimpi indah, maka kebaikan dan keindahan pula yang akan diraihnya.
Sebaliknya, jika digunakan untuk keburukan, bermalas-malasan, dan berbagai
perilaku yang tidak bermanfaat, maka keburukan juga yang akan ia dapatkan.
Ada
kisah menarik tentang seseorang yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan
kebaikan yang sebenarnya akan menguntungkan bagi dirinya, tetapi peluang itu tidak
dimanfaatkannya.
Orang itu dipanggil Pak Misrun.
Ia bekerja sebagai seorang mandor pada sebuah perusahaan pengembang perumahan.
Selama ini perusahaan yang mempekerjakannya selalu puas atas kinerjanya. Saat
itu, usianya sudah menginjak kepala enam. Fisiknya sudah terlihat rapuh. Karena
itu ia mulai mempertimbangkan untuk berhenti, pensiun.
Suatu saat, Pak Misrun mengajukan pengunduran dirinya kepada pemimpin
perusahaan, tetapi ditolaknya secara halus, dengan alasan karena tenaga Pak
Misrun masih sangat dibutuhkan. Selain dedikasinya yang tinggi, juga karena
ketulusan dan amanahnya. Sampai tibalah di hari itu, Pak Misrun benar-benar ingin
berpamitan untuk berhenti kerja. Permohonan yang sekian kali ini sepertinya ada
tanda-tanda akan dikabulkan. Pimpinan berkata: “Boleh saja, jika Pak Misrun
ingin mengundurkan diri, tetapi mohon kerjakan dulu satu proyek rumah untuk
yang terakhir kali”.
Pak Misrun sebenarnya sudah merasa lelah, tidak bisa lagi menikmati
segala macam pekerjaannya. Karena itu, meskipun tawaran pimpinan perusahaan tersebut
diterima, Pak Misrun melakukannya tidak dengan semangat seperti awal-awal dia
bekerja. Kali ini ia mengerjakannya asal-asalan, setengah hati, dan cenderung
yang penting asal jadi, asal selesai. Pilihan bahan-bahan bangunan dan furniture,
perkakas rumah tangga seperti meja, kursi, almari, kulkas, dan televisi, pun
tidak dipilihkan yang bagus seperti biasanya.
Singkat cerita, selesai sudah proyek rumah yang dikerjakan oleh Pak
Misrun itu. Karena sudah selesai, maka Pak Misrun berniat untuk menghadap sang
pimpinan perusahaan. Beberapa kunci rumah dan kamar pun di genggamnya. Namun,
ketika hendak masuk ke dalam ruangan si bos, sekretaris kantor memberi kabar
bahwa si bos sedang menunaikan ibadah umrah dan menitipkan dua amplop besar
untuk Pak Misrun. Penasaran dengan isi dari dua amplop tersebut, Pak Misrun
membukanya dengan seksama.
Amplop pertama berisi ucapan terima kasih perusahaan kepada Pak Misrun atas
pengabdiannya selama ini. Sedangkan amplop kedua berisi Surat Sertifikat Tanah.
Sedikit terkejut, ketika isi surat kepemilikan tanah tersebut ternyata
mencantumkan nama dirinya (Misrun) sebagai pemilik dari rumah yang baru saja
diselesaikannya.
Terselip secarik kertas kecil, tulisan tangan sang pimpinan. “Dengan
telah dibukanya kedua amplop ini saya mengucapkan untuk terakhir kalinya ucapan
terima kasih atas pengabdian yang tulus dari Pak Misrun untuk perusahaan ini.
Sebagai tanda mata kami, mohon berkenan menerima satu unit rumah dengan seluruh
isi yang telah Pak Misrun siapkan”.
Kontan, berbagai gejolak rasa
menyergap hatinya. Di antara rupa-rupa rasa itu adalah penyesalan yang tak
terhingga. Kenapa, untuk terakhir dia bekerja, dia tidak maksimal mengerjakan
proyek yang sebenarnya direncanakan untuk sebuah hadiah atas pengabdiannya
selama ini (http//republika.co.id). Kisah ini patut menjadi renungan kita. Allah swt. berfirman:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
Jika engkau melakukan suatu kebajikan, maka
kebajikan itu sebenarnya untuk dirimu sendiri; dan jika engkau melakukan
keburukan, keburukan itu juga untuk dirimu sendiri (QS. Al-Isra, 7).
Allah mengingatkan:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu mengatakan; “Sungguh jika kamu bersyukur,
pasti Aku akan tambah (nikmat) kepadamu, tapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).
Salah
satu bentuk syukur kepada Allah atas nikmat sehat dan senggang adalah tidak
menyia-nyiakan kesempatan.
Materi tersebut juga bisa disaksikan melalui youtube berikut ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar