SI MISKIN PUN BERKURBAN
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ جَهْدُ الْمُقِلِّ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ.
Dari
Abu Huairah ra, ia bertanya: Ya Rasulallah, sadaqah apa yang paling utama? Nabi
Saw bersabda: “(Sadaqah yang paling utama) adalah sadaqah maksimal yang
dilakukan oleh orang yang tidak punya, dan mulailah (sadaqah) dari orang yang
kamu tanggung.” (HR. Abu Dawud No. 1679).
Status
Hadis:
Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dalam
Sunan Abi Dawud No. 1679 tersebut dinilai sahih oleh Muhammad
Nashiruddin al-Albani (Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I/214). Selain diriwayatkan
Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Nasa-i dalam Sunan
al-Nasa-i No. 2526; Ahmad dalam Musnad Ahmad No. 8702; al-Hakim
dalam al-Mustadrak No. 1509; Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban
No. 2444; dan al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 7561;
Kandungan
Hadis
Hadis tersebut menerangkan tentang
dua hal. Pertama tentang sadaqah yang paling utama, dan kedua tentang orang
yang perlu diutamakan atau didahulukan dalam menerima sadaqah.
Pertama tentang sadaqah yang paling utama
dan paling mulia adalah sadaqah yang dilakukan oleh orang miskin, yang sedikit
hartanya. Ia bersadaqah karena benar-benar ingin sadaqah. Ia sadaqah bukan
karena berkelebihan harta. Ia bisa bersadaqah setelah bersusah payah dan sekian
lama menyisihkan hartanya sedikit demi sedikit hingga terkumpul dalam jumlah
tertentu baru kemudian disadaqahkan. Menurut Badruddin al-Aini, yang dimaksud
dengan kalimat afdhalus-shadaqah jahd al-muqill adalah bahwa usaha
maksimal yang dilakukan orang miskin dan ditempuh dengan susah payah agar dapat
menghimpun harta untuk kemudian disadaqahkan, maka itulah sadaqah yang paling
utama (al-‘Aini, Syarh Sunan Abi Dawud, VI/431).
Sikap seperti ini menunjukkan kesungguhan dan rasa
tawakkal yang sangat tinggi. Ia tidak mementingkan diri sendiri, ia justru
mementingkan orang lain. Sikap seperti ini pernah ditunjukkan oleh sahabat
Nabi, Abu Bakar dan Umar. Ibn Hajar al-Asqalani mengutip hadis riwayat Abu
Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya bahwasanya
tatkala Nabi Saw menganjurkan agar kaum muslimin bersadaqah, maka Umar ingin
lebih dulu dan ingin mengungguli Abu Bakar dalam bersadaqah. Pada paginya, Umar
bersadaqah setengah dari hartanya. Nabi bertanya: “berapa bagian yang kau
berikan untuk keluargamu, wahai Umar?”. Sama, setengahnya Ya Rasul, jawab Umar.
Nabi mendoakan semoga mendapatkan barakah. Kemudian Abu bakar mensadaqahkan
seluruh hartanya. Nabi bertanya, bagaimana dengan keluargamu, wahai Abu Bakar?
Mereka sudah saya serahkan kepada Allah dan Rasulnya, jawab Abu Bakar. Umar
berkata: “Demi Allah saya tidak sanggup lagi mengungguli Abu Bakar
(al-Asqalani, Fath al-Bari, V/25; Ibn Rajab, latha-if al-Ma’arif,
I/241).
Orang yang kuat dalam bersadaqah dan lebih mementingkan
orang lain daripada dirinya sendiri mendapat pujian dari Allah dan dijanjikan
akan mendapatkan keberuntungan. Allah berfirman: “…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr,
9).
Kedua tentang orang yang seharusnya diutamakan mendapatkan sadaqah.
Dalam hadis tersebut Nabi memerintahkan agar lebih mendahulukan
orang yang selama ini menjadi tanggungannya, misalnya keluarganya sendiri. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Saw dari Salman bin Amir:
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ
وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya sadaqah yang
diberikan kepada orang miskin itu pahalanya satu sadaqah. Sedangkan sadaqah kepada
kerabat pahalanya dapat dua, yaitu pahala sadaqah dan pahala
menjalin hubungan kekerabatan.”(HR. al-Nasa-i No. 2582). Al-Albani mengatakan hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Wa Dha’if
Sunan al-Nasa-i, I/17).
Berikut
ini kisah nyata yang sangat mengharukan terjadi tahun 2012 M. Kisah ini
dituturkan langsung oleh pedagang hewan kurban. Kisahnya menceritakan seorang
miskin yang ingin bersedekah kepada ibunya sendiri dengan membantu menggapai
cita-cita sang ibu untuk bisa menunaikan ibadah kurban yang telah lama diimpikannya.
Berikut
kisahnya:
Suatu hari, seorang wanita datang memperhatikan
dagangan (hewan kurban) milik saya. Dilihat dari penampilannya sepertinya tidak
akan mampu membeli. Namun tetap saya coba menghampiri dan menawarkan kepadanya.
Silakan bu..!! "Lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil
bertanya, kalau yang itu berapa Pak?" tanya ibu tersebut. "Yang itu
Rp.700.000 bu," jawab saya..
"Harga pasnya berapa..?" tanya kembali si Ibu.
"Rp 600.000 deh. Harga segitu untung saya kecil, tapi
biarlah," jawab saya..
"Tapi, uang saya hanya Rp 500 .000. Boleh pak?", pintanya.
Waduh, saya bingung, karena itu harga modalnya. Akhirnya saya berembug
dengan teman sampai akhirnya diputuskan diberikan saja dengan harga itu kepada
ibu tersebut. Saya pun mengantar hewan kurban tersebut sampai ke rumahnya.
Begitu tiba di rumahnya....... Astaghfirullah. ALLAHU Akbar. Terasa menggigil
seluruh badan karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga dengan ibunya
yang sudah sepuh dan putranya di rumah gubug berlantai tanah tersebut. Saya
tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau
barang-barang elektronik. Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan
bantal lusuh. Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus.
"Mak, bangun mak, nih lihat saya
bawa apa..?" kata ibu itu pada nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya
terbangun. "Mak, saya sudah belikan emak kambing buat kurban, nanti kita
antar ke masjid ya mak," kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
Si nenek sangat terkejut. Tapi nampak
jelas raut bahagia di wajahnya. Ia segera berjalan keluar dengan langkah yang
gontai karena usianya yang senja.
Sambil mengelus-elus kambing, nenek itu
berucap: "Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau emak mau berkurban,"
ujarnya.
"Nih pak, uangnya. Maaf ya, kalau tadi
nawarnya terlalu murah, karena saya hanya seorang tukang cuci di kampung sini.
Saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing, hewan kurban atas nama emak
saya," kata ibu muda itu.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak,
sambil menahan tetes air mata, saya berdoa : "Ya Allah, ampuni dosa hamba,
hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang
miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa."
"Pak, ini ongkos
kendaraannya," panggil ibu itu. "Sudah bu, biar ongkos kendaraannya
saya yang bayar," kata saya sambil menyembunyikan mata saya yang sudah
berkaca-kaca..
Saya cepat pergi
sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat
teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hamba-Nya yang dengan
kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orangtuanya (sang Ibu)
meski dengan segala keterbatasan ekonominya. Subhanallah…!!(Tribunjambi.com).
Untuk menggapai kemuliaan
ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan yang
macam-macam. Kita bisa belajar keikhlasan dari ibu ini yang dengan susah payah
menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari hasil upah cucian setiap harinya.
Ibu ini menabung uangnya untuk menggapai kemuliaan hidup, bukan untuk dirinya
sendiri, tapi demi sang ibunda tercinta.
Berapa banyak di
antara kita yang diberi kecukupan harta dan penghasilan, namun masih saja ada
keengganan untuk berkurban. Padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas,
ataupun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal
dibandingkan seekor hewan kurban. Nah, bagaimana
dalam menghadapi Idul Adha tahun ini? Sudahkah kita menyiapkan seekor hewan
untuk berkurban? Ingat kata Ibn
al-Qayyim: “Ibadah kurban itu lebih utama daripada sadaqah biasa dengan nilai
yang sama” (Ibn al-Qayyim, Tuhfat al-Mawlud, I/65).
Semoga kisah si
miskin yang ikut kurban tadi bisa menginspirasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar