GHIBAH
DI BULAN RAMADHAN,
BATALKAH
PUASANYA?
Oleh:
Dr.H.Achmad
Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb!
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah!
Mohon penjelasan tentang hukum ghibah saat berpuasa Ramadhan, apakah puasanya
batal? Bagaimana jika ghibah itu dilakukan dengan maksud baik seperti
menjelaskan keadaan (kebiasaan buruk) teman kepada seorang Ustadz dengan maksud
untuk memperbaiki akhlaknya, apakah diperbolehkan? Atas jawabannya, saya
sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran!
Wassalamu’alaikum wr wb! (Shoimah,
Sidoarjo).
Jawaban:
Menurut Nabi, yang disebut ghibah itu adalah membicarakan (aib) orang
lain, atau membicarakan orang lain tentang apa saja yang tidak disukainya. Jika
yang dibicarakan tentang orang lain itu tidak benar atau tidak sesuai dengan faktanya,
maka pembicaraan itu bukan
ghibah lagi tetapi fitnah atau dusta. Dalam hadis
shahih disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- قَالَ «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ» قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى
أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Tahukah kamu, apa itu
ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu
mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai
dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang
dirinya, maka berarti kamu telah meng-ghibahnya (menggunjingnya). Namun apabila
yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya
(menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim No. 6758
).
Ghibah termasuk perbuatan yang keji dan tak terpuji serta
haram hukumnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hujurat: 12).
Abu Ja’far al-Thabari berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan ghibah
kepada seseorang masa hidupnya sebagaimana Allah telah mengharamkan memakan
dagingnya ketika ia telah mati”(al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al- Qur’an, XXII/ 308).
Imam al-Qurthubi berkata: “Para ulama sepakat
bahwa ghibah merupakan dosa besar.” Beberapa hadis yang
menunjukkan atas hal itu, di antaranya adalah hadis riwayat Abu Dawud No. 4878,
dari Anas, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ‘Pada saat di-mi’raj-kan saya
melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar
wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya: “Wahai Jibril,
siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang
makan daging manusia (berbuat ghibah, pen.) dan mencela kehormatan orang
lain’.” (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XVI/336).
Ghibah itu memang haram dan dosa besar,
tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa ghibah itu tidak termasuk amalan yang
dapat membatalkankan puasa. Sementara itu, Imam Ibnu Hazm menganggap bahwa
semua perbuatan haram bisa membatalkan puasa. Beliau berkata: “Puasa juga bisa
batal dengan menyengaja berbuat maksiat, apa pun perbuatan maksiat tersebut
tanpa ada satu pun yang terkecuali, jika dia melakukannya sengaja dan ingat
kalau sedang puasa. Seperti menyentuh atau mencium selain istrinya,
berdusta, ghibah, namimah (mengadu domba),
sengaja meninggalkan shalat, berbuat zhalim (aniaya), atau perbuatan haram
lainnya”(Ibn Hazm, Al-Muhalla, IV/304).
Mengingat ghibah itu perbuatan haram
dan dosa besar, maka bagi yang sedang berpuasa, sungguhpun tidak batal puasanya
menurut jumhur ulama, tetapi ibadah puasanya dianggap sia-sia, artinya tidak
bermakna dan tidak berpahala. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ
بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
tidak meninggalkan perkataan dusta, melakukan kedustaan serta berbuat usil,
maka Allah Ta’ala tidak membutuhkan (puasanya,
walaupun) ia meninggalkan makannya dan minumnya” (HR. Bukhari No.1903).
Sungguhpun perbuatan
ghibah itu diharamkan, tetapi dalam situasi tertentu ghibah dibolehkan,
selama bertujuan untuk kebaikan dan demi kemaslahatan. Imam al-Nawawi, dalam
kitabnya (al-Adzkar al-Nawawiyah, I/430-432), mengemukakan ada enam
sebab yang membolehkan seseorang melakukan ghibah, yaitu:
Pertama, dalam kasus penganiayaan. Orang yang teraniaya boleh mengadukan orang yang menganiaya dirinya kepada pihak yang berwenang misalnya kepada polisi. Orang yang teraniaya
tadi dapat melaporkan kepada polisi bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil
dan tidak senonoh.
Kedua, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan
menyadarkan pelaku kemaksiatan agar kembali ke jalan yang benar. Misalnya kita
katakan kepada seseorang (Ustadz) untuk mengingatkan “kebiasaan buruk” teman
kita agar sadar.
Ketiga, meminta fatwa kepada ulama atau ustadz tentang keburukan perangai suaminya. Kebolehan ini berdasarkan ucapan Hindun binti ‘Utbah kepada Rasulullah
Saw. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu
Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan
anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa
sepengetahuannya”. Rasulullah Saw bersabda: “Ambillah dari hartanya yang bisa
mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu sesuai kebutuhannya” (HR. Bukhari No.
5049).
Keempat, untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu
bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan karena alasan ini adalah seperti (a) kritik terhadap para perawi hadits, para saksi
dan para penulis buku, sesuai kesepakatan
ulama; (b) menceritakan kekurangan seseorang ketika kita dimintai pertimbangan
sebelum melakukan urusan penting dengan orang tersebut, seperti kata Nabi Saw saat dimintai pertimbangan
menjadi calon suami Fatimah binti Qais. Rasulullah Saw bersabda: “Muawiayah adalah seorang yang miskin, tidak
berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya.
Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Akhirnya Fathimah binti Qois menikah dengan Usamah dan bahagia bersamanya” (HR. Muslim No. 1480); (c) jika
kita melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita
mengingatkan pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk
orang lain, bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli;
(d) jika kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang
yang gemar bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir
orang tersebut akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut
dengan menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka
dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang
tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya; (e) apabila ada orang yang
memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana
mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan
keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga
bisa mengarahkan anak buahnya untuk bekerja dengan baik.
Kelima, Orang yang terang-terangan melakukan berbagai
dosa besar atau kebid’ahan. Dalam kasus seperti ini dibolehkan menceritakan
kejelekan yang dia lakukan dengan terang-terangan, namun tidak diperkenankan
menyebutkan kejelekan yang lain kecuali berdasarkan alasan yang bisa
dibenarkan.
Keenam, Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan
tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya” maka
dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang
yang dimaksudkan, bukan maksud untuk menjelekkan. Dari Abu Hurairah,
sesungguhnya Rasulullah pernah mengucapkan salam padahal beliau baru
mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Maka seorang yang memiliki julukan Dzul
Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah shalat dikerjakan secara qashar ataukah
engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata kepada orang-orang
di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah lantas
bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian
bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama lagi (HR
Bukhari no 682). Dzul Yadaini adalah julukan bagi seorang
shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di atas adalah
dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama panggilannya
yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dimiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar