GHIBAH YANG
DIBOLEHKAN
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi
Dh, M.Fil I
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «أَتَدْرُونَ مَا
الْغِيبَةُ» قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ
فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
(رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ghibah adalah kamu membicarakan
saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila
orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti
kamu telah mengghibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan
itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa
bukti).”
(HR. Muslim no. 6758 ).
(HR. Muslim no. 6758 ).
Status Hadis:
Hadis
tersebut adalah hadis shahih riwayat Muslim Nomor 6758 yang termuat dalam kitabnya
(Imam Muslim, al-Jami al-Shahih, VIII/21). Selain diriwayatkan
oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 4876;
al-Tirmidzi No. 1934; Ahmad No. 8985; Ibn Abi Syaibah No. 25538; Malik No.
3618; Ibn Hibban No. 5758; al-Nasa-i No. 2714; dan lain-lain. Muhammad
Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, Shahih
al-Targhib Wa al-Tarhib, III/52).
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menjelaskan tentang ghibah. Menurut Nabi, yang disebut ghibah itu adalah membicarakan (aib) orang
lain, atau membicarakan orang lain tentang apa saja yang tidak disukainya. Jika
yang dibicarakan tentang orang lain itu tidak benar atau tidak sesuai dengan faktanya,
maka pembicaraan itu bukan ghibah lagi tetapi fitnah atau dusta.
Ghibah
termasuk perbuatan yang keji dan tak terpuji serta haram hukumnya. Allah
Subhanahu Wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula
menggunjing (ghibah) satu sama lain.
Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).
Imam
al-Syaukani rahimahullah dalam kitab Tafsirnya (Fath
al-Qadir, V/92) mengatakan: “Allah Ta’ala mengumpamakan ghibah (menggunjing
orang lain) seperti memakan bangkai seseorang, karena bangkai sama sekali tidak
tahu siapa yang memakan dagingnya. Hal ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak
mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikian keterangan dari Al-Zujaj”.
Al-Syaukani rahimahullah lebih
lanjut menjelaskan: “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan
manusia itu seperti dagingnya. Jika dagingnya saja diharamkan untuk dimakan,
begitu pula dengan kehormatannya, juga tidak boleh dicemarkan. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ghibah
adalah perbuatan yang teramat keji. Karena itu, sangatlah tercela orang yang
melakukan ghibah, dan secara syarak hukumnya haram”.
Abu Ja’far al-Thabari
berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
ghibah kepada seseorang masa hidupnya sebagaimana Allah telah mengharamkan
memakan dagingnya ketika ia telah mati”(al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al- Qur’an, XXII/
308).
Sungguhpun
perbuatan ghibah itu diharamkan, tetapi dalam situasi tertentu ghibah
dibolehkan, selama bertujuan untuk kebaikan dan demi kemaslahatan. Imam
al-Nawawi, dalam kitabnya (al-Adzkar al-Nawawiyah, I/430-432),
mengemukakan ada enam sebab yang membolehkan seseorang melakukan ghibah,
yaitu:
Pertama, dalam kasus penganiayaan. Orang yang teraniaya
boleh mengadukan orang yang
menganiaya dirinya kepada pihak yang berwenang misalnya kepada polisi. Orang yang teraniaya tadi dapat melaporkan kepada polisi bahwa dirinya
telah diperlakukan tidak adil dan tidak senonoh.
Kedua, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan
menyadarkan pelaku kemaksiatan agar kembali ke jalan yang benar. Misalnya kita
katakan kepada seseorang (Ustadz) untuk mengingatkan “kebiasaan buruk” teman
kita agar sadar.
Ketiga, meminta fatwa dengan berkata
kepada seorang ulama atau ustadz bahwa bapakku
atau saudaraku telah menganiaya diriku….
apakah
dia berhak melakukan hal tersebut? Solusi apa yang bisa aku lakukan agar terhindar
dari penganiayaannya? Ucapan
semacam ini diperbolehkan karena memang diperlukan. Akan tetapi, lebih baik
jika menggunakan bahasa yang agak disamarkan.
Semisal dengan mengatakan, “Bagaimana hukum seseorang atau seorang
suami, orang tua atau anak yang berbuat demikian dan demikian?”.
Kebolehan menyebutkan
identitas pelaku berdasarkan ucapan Hindun binti ‘Utbah kepada Rasulullah
Saw. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu
Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan
anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa
sepengetahuannya”. Rasulullah Saw bersabda: “Ambillah dari hartanya yang bisa
mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu sesuai kebutuhannya” (HR. Bukhari No.
5049).
Keempat, untuk
memperingatkan kaum muslimin dari suatu bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan
karena alasan ini adalah seperti (a) kritik
terhadap para perawi hadits, para saksi dan para penulis buku,
sesuai kesepakatan ulama; (b) menceritakan kekurangan
seseorang ketika kita dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting
dengan orang tersebut, seperti kata Nabi Saw saat dimintai pertimbangan menjadi
calon suami Fatimah binti Qais. Rasulullah
Saw bersabda: “Muawiayah adalah seorang
yang miskin, tidak berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka
memukul istrinya. Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Akhirnya
Fathimah binti Qois menikah
dengan Usamah dan bahagia bersamanya” (HR. Muslim No. 1480); (c) jika kita
melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita mengingatkan
pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk orang lain,
bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli; (d) jika
kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang yang gemar
bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir orang tersebut
akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut dengan
menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka dan
praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang
tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya; (e) apabila ada orang yang
memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana
mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita
laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak
atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga bisa mengarahkan anak
buahnya untuk bekerja dengan baik.
Kelima, Orang yang terang-terangan
melakukan berbagai dosa besar atau kebid’ahan. Dalam kasus seperti ini
dibolehkan menceritakan kejelekan yang dia lakukan dengan terang-terangan,
namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang lain kecuali berdasarkan
alasan yang bisa dibenarkan.
Keenam, Untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang
terkenal dengan julukan tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan
semisalnya” maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi
penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi tidak
boleh jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela.
Akan tetapi lebih baik jika bisa menjelaskan orang yang dimaksudkan tanpa
menyebutkan julukan tersebut. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah
mengucapkan salam padahal beliau baru mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat.
Maka seorang yang memiliki julukan Dzul Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah
shalat dikerjakan secara qashar ataukah engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata
kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul
Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah
lantas bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam
kemudian bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama
lagi (HR Bukhari no 682).
Dzul Yadaini adalah julukan
bagi seorang shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di
atas adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama
panggilannya yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dia miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar