QADHA PUASA
BAGI ORANG
YANG TELAH MENINGGAL
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi
Dh,M.Fil I
Para ulama sepakat bahwa seseorang
yang meninggal pada bulan suci Ramadhan apabila dia tidak memiliki hutang puasa
maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan bagi keluarga yang ditinggalkan
untuk menggantinya. Demikian pula mereka bersepakat bahwa orang yang tidak
berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu seperti sakit atau dalam perjalanan,
kemudian pada saat itu juga dia meninggal dunia, sehingga tidak ada kesempatan
lagi untuk mengqadhanya, maka tidak ada kewajiban apapun bagi wali atau ahli
waris orang tersebut untuk mengganti puasanya atau membayarkan fidyah untuknya.
Sebab orang tadi tidak memiliki kesempatan untuk mengganti hutang puasa yang
ditinggalkan sebelum meninggal dunia (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, III/84
dan al-Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, VII/26).
Sedangkan apabila dia memiliki hutang
puasa Ramadhan, baik yang disebabkan karena udzur syar’i (seperti sakit dan
safar) maupun bukan, kemudian dia memiliki waktu untuk mengqadha puasa
tersebut, tetapi dia tidak memanfaatkan waktu itu, dan ternyata dia meninggal
sebelum sempat membayar hutang puasanya, maka dalam kondisi ini para ulama
berbeda pendapat, yakni sebagai berikut:
Pendapat Pertama, pihak
keluarga atau ahli waris wajib menggantikannya (untuk mengqadhanya), karena
memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak, baik yang
berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT. Adapun cara mengqadha puasanya adalah dengan
membayar fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada
seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya. Ini
merupakan pendapat madzhab Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Di antara hujjah yang
dijadikan dalil adalah hadis Nabi SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ
فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Dari
Ibn Umar ra, Nabi Saw bersabda: “Siapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
puasa satu bulan, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang
miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi No.718, Ibn Majah
No.1757, dan Ibn Khuzaimah No.2056).
Pendapat Kedua, pihak
keluarga atau ahli waris wajib menggantikannya (untuk mengqadhanya) dengan cara
berpuasa. Tidak boleh digantikan dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya,
pelaksanaan qadha’ puasa tersebut, selain harus dilakukan oleh keluarganya atau
ahli warisnya, juga boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin ahli waris
atau keluarganya. Ini adalah pendapat madzhab Dhahiri dan sebagian madzhab
Syafi’I. Pendapat ini berdalil dengan
sabda Nabi Saw:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ
صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban
qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari
dan Muslim, dari Aisyah).
Pendapat Ketiga, pihak
keluarga dan ahli waris tidak ada kewajiban untuk menggantikannya, baik itu
mengqadha’ puasa ataupun membayar fidyah, kecuali jika orang yang meninggal
tersebut berwasiat, maka harus ditunaikan. Namun bentuk penunaian wasiatnya
adalah dengan membayar fidyah, bukan dengan mengadha’ puasa. Ini adalah
pendapat madzhab Maliki (Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, I/240).
Pendapat keempat, pihak
keluarga atau ahli waris mengqadhanya dengan cara berpuasa bila hutang puasanya
itu puasa nadzar, tetapi apabila hutangnya itu puasa Ramadhan maka cukup dengan
membayar fidyah. Di antara hadis yang dijadikan dalil adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما
- قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ
عَنْهَا قَالَ « أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ
أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا ». قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ « فَصُومِى عَنْ
أُمِّكِ ».
Dari Ibn Abbas ra, ia berkata: “Seorang
wanita datang menghadap Nabi SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus
berpuasa atas namanya?’ Beliau menjawab: “Bagaimana jika ibumu punya hutang,
apakah kamu harus membayarnya, ‘Ya benar’. Nabi Saw bersabda: “karena itu
berpuasalah kamu untuk ibumu” (HR.Muslim No.2752)
Sebab
munculnya Perbedaan Pendapat
Sebab perbedaan pendapat yang terjadi
adalah karena ada beberapa hadis yang seakan-akan bertentangan maknanya,
sehingga para ulama memiliki penafsiran yang berbeda dalam memahami hal
tersebut. Yang pertama adalah hadis riwayat ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW
bersabda: “Orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka wali orang
tersebut harus mengadha’ puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang kedua adalah
hadis riwayat Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Orang yang
meninggal dunia dan memiliki hutang puasa satu bulan, maka walinya wajib
memberi makan satu orang miskin per hari yang ditiggalkan.” (HR. Tirmidzi dan
Ibnu Majah). Dan yang ketiga adalah hadis riwayat Ibn Abbas: “Seorang wanita
datang menghadap Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal
dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa
atas namanya?” Beliau menjawab: “Bagaimana jika ibumu punya hutang, apakah kamu
harus membayarnya, ‘Ya benar’. Nabi Saw bersabda: “karena itu berpuasalah kamu
untuk ibumu” (HR.Muslim No.2752).
Bagi ulama yang berpendapat menqadhanya
dengan cara berpuasa, mereka berdalil kepada hadis pertama (riwayat Aisyah), sedangkan terhadap
hadis kedua (riwayat Ibn Umar) dinilai hadis mauquf, yaitu berasal dari perkataan
Ibnu Umar sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun yang berpendapat tidak
boleh mengadha dengan berpuasa tetapi cukup dengan membayar fidyah, mereka berpendapat
bahwa hadis ‘Aisyah di atas berkenaan dengan masalah puasa nadzar. Atau makna “Hendaknya
walinya berpuasa untuknya” diartikan sebagai membayar fidyah sebagai ganti dari
puasa. Dan yang berpendapat mengqadha dengan berpuasa hanya untuk puasa nadzar
berdalil kepada hadis riwayat Ibn Abbas,
sedangkan puasa wajib selain nadzar bisa diqadha dengan fidyah berdasar kepada
keumuman ayat “bagi mereka yang tidak kuat berpuasa maka wajib membayar fidyah
kepada orang miskin” (QS. Al-Baqarah, 184)
(Al-Mughni, III/152, Al-Majmu’
Syarh Al-Muhaddzab, VI/371, Bidayat al-Mujtahid, I/240).
Dari beberapa pendapat ulama tersebut
dapat diakomodasi dan dicari jalan tengahnya, yaitu bahwasanya boleh bagi ahli
waris mengqadhanya dengan berpuasa untuk orang yang meninggal dan berhutang
puasa, tapi hukumnya tidak wajib. Sehingga jika ahli waris menggantinya dengan
memberi makan orang miskin (fidyah) maka hal tersebut diperbolehkan. Imam al-Nawawi
memilih atau merajihkan pendapat ini: “Aku katakan bahwasanya pendapat yang
paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan seorang wali
untuk berpuasa qadha bagi orang yang telah meninggal (selain menggantinya
dengan fidyah). Baik itu puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa wajib yang
lain. Dalilnya adalah hadis-hadis shahih yang baru saja kami sebutkan, dan
tidak ada dalil yang bertentangan dengannya. Sehingga pendapat inilah yang terpilih
sebagai pendapat madzhab Al-Syafi’i. Sebab beliau telah berkata, “Jika hadis
itu shahih maka itu adalah madzhabku, sehingga tinggalkanlah pendapatku yang
bertentangan dengannya.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab,
VI/370).
Wallahu a’lam bish shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar