di balik musibah ada hikmah
Oleh:
Dr.H.Achmad
Zuhdi Dh,M.Fil I
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُصِبْ مِنْهُ
Rasulullah
Saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan menimpakan
musibah(cobaan) kepadanya
(HR.
Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam hidup ini, tidak ada seorang
pun di antara kita yang tidak pernah menghadapi masalah atau bahkan musibah.
Semua orang pernah mengalaminya. Musibah itu sendiri sesungguhnya merupakan
bagian dari cobaan, yakni cobaan dari Allah kepada kita untuk mengetahui
seberapa kuat iman kita.
Cobaan yang diberikan Allah kepada kita itu bermacam-macam. Adakalanya
berkenaan dengan materi seperti kemiskinan, kelaparan, kegagalan dalam usaha
dan lain sebagainya. Adakalanya terkait dengan karir, yang tersendat-sendat dan
lambat, bahkan terkadang macet tak ada peningkatan. Dan, terkadang terkait
dengan kondisi kesehatan yang sangat rawan karena penyakit yang
menggerogotinya, sehingga hidupnya sama saja dengan matinya. Tak berdaya.
Ketika cobaan(musibah) itu menimpa kita, seharusnya kita menyadari sepenuh
hati bahwa saat itu Allah sedang menguji kita. Kita harus yakin bahwa Allah
tidak akan membebani “musibah atau cobaan” di luar kemampuan kita. Karena itu
kita mesti sabar dan tabah sambil menunggu hikmah (kemudahan atau kebaikan)
yang diberikan Allah kepada kita saat musibah telah menimpa.
Allah memberikan kabar gembira kepada kita dengan firmanNya:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
(6)
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(al-Insyirah, 5-6).
Ayat tersebut menegaskan bahwa pada saat musibah atau kesulitan menimpa kita, maka pada saat yang
sama ada kemudahan atau kebaikan lain yang akan diberikan kepada kita. Karena
itu, di saat kita menderita sakit misalnya, maka kita bisa mencari
“hikmah” yang akan Allah berikan kepada kita. Demikian pula di saat kita
mengalami kebangkrutan dalam usaha, kita tidak boleh menyerah, tetapi kita
harus bangkit dan mencari “hikmah” di balik kebangkrutan tersebut.
Ingat Prof.Dr.Hamka, karena perbedaan pandangan politik dengan Soekarno
tentang dasar negara saat itu (1959), akhirnya oleh rezim yang berkuasa
(pemerintahan Soekarno) beliau dijebloskan dalam penjara selama dua tahun empat
bulan. Tentu tidak mudah bagi Hamka untuk menerima perlakuan rezim yang menzaliminya.
Namun Hamka segera sadar bahwa musibah ini adalah bagian dari cobaan yang Allah berikan kepada dirinya. Pasti ada hikmahnya.
Benar sekali, bergitu bebas dari penjara, beliau merasakan bahwa mendekam
di penjara selama dua tahun empat bulan itu adalah anugerah yang diberikan
Allah kepadanya. Ternyata dengan mendekam dalam penjara, beliau bisa
menyelesaikan karya besarnya berupa Tafsir Al Qur’an 30 Juz yang kemudian
diberi nama Tafsir Azhar. “Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu
saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu”, ujar Hamka.
Inilah bukti kebenaran firman Allah Swt.: “Maka sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan”. Diulangi lagi firmanNya: “Sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan”(al-Insyirah, 5-6).
Berikut ini kisah nyata yang sangat mengharukan. Kisah ini diceritakan oleh
seorang istri mengenai suaminya. Ia mengisahkan: “Suamiku adalah seorang pemuda
yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan
berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H (1970 M).
Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh). Kamipun dikaruniai seorang putri
setelah setahun pernikahan kami.
Suamiku kerja di daerah timur Arab Saudi, sehingga ia berangkat kerja
selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Pada suatu hari, tanggal 9 Ramadhan tahun 1395
H (1975 M) tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di
Riyadh, ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia
dimasukkan ke Rumah Sakit, dan ia dalam
keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami
bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak.
Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami. Dan semakin menambah
kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa’) tentang ayahnya yang sangat
ia rindukan kedatangannya. Ayahnya, saat itu sebelum
berangkat kerja, telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya.
Kami
senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam
kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu,
sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan,
karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi namanya- yaitu
bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan
tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut. Aku tidak
akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini.
Akupun
memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke
sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun dapat menghafal
al-Qur’an 30 juz padahal umurnya kurang dari 10 tahun.
Putriku (Asma’) adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat
pada waktunya, ia biasa sholat tahajjud sejak
umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq
kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga kakek dan neneknya yang
sangat sayang dan dekat dengannya.
Suatu saat putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah
ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya. Pada suatu hari di tahun
1410 H(1990 M), putriku berkata kepadaku: “Ummi biarkanlah aku malam ini tidur
bersama ayahku”. Pada awalnya aku ragu, tetapi
akhirnya akupun mengizinkannya.
Putriku bercerita, pada suatu malam, aku duduk di samping ayah, aku membaca
surat Al-Baqarah hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku
mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku
lalu aku berwudhu dan shalat (tahajjud)–sesuai yang Allah tetapkan untukku.
Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di
tempat shalatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, “Bangunlah! Bagaimana
engkau tidur sementara Ar-Rahmaan (Allah) terjaga? Bagaimana engkau tidur
sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa
seorang hamba di waktu ini?”. Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang
terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku
memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata
dalam do’aku, “Yaa Robbi, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa ‘Adziim
(Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha
Besar)…, Yaa Muta’aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha
Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba
dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami
Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…
Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu..,
Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah
mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari
perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…
Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin
lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku,
angkatlah penderitaannya…” Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun
tertidur sebelum subuh.
Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., “Siapa engkau?, apa yang kau lakukan
di sini?”. Akupun
bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku
tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…,
ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…
Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya
karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya
dan beristighfar. Ia barkata, “Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau
tidak halal bagiku…!”. Maka aku berkata kepadanya, “Aku ini putrimu Asmaa'”.
Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para
dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi
merekapun keheranan.
Salah
seorang dokter dari Mesir berkata, “Maha suci Allah Yang telah menghidupkan
kembali tulang belulang yang telah kering…”. Sementara ayahku tidak mengetahui apa
yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun
menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah
Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi
Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya
kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu
apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??
Dengan kuasa Allah, setelah 15 tahun mengalami koma, akhirnya sang suami
sembuh dan bisa kembali bersama keluarga dalam keadaan baik, sejahtera dan
bahagia. Saat itu usianya hampir 46 tahun. Allahu Akbar!
Kisah
ini lagi-lagi membuktikan bahwa di balik musibah (kesulitan) itu ada hikmah, kemudahan,
dan kebaikan-kebaikan lain yang akan diberikan Allah kepada kita. (Sumber : firanda.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar