HUKUM JIMA' (MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI-ISTERI)
SAAT BERPUASA RAMADHAN
oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Assalamu’alaikum wr wb !
Ustadz AZ
rahimakumullah !
Saya mau bertanya tentang hukum orang yang melakukan hubungan
suami-isteri pada saat berpuasa Ramadhan. Apa kafarat (denda)nya ? Bagaimana
cara melaksanakannya ? Apakah kedua-duanya (suami dan isteri) harus
melaksanakan kafarat tersebut, atau suaminya saja ?
Atas jawabannya
saya ucapkan terima kasih dan jazakumullah khairan katsiran !
Wassalam,
Santoso
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wr wb !
Ulama telah
sepakat bahwa orang yang melakukan jima’ (hubungan suami-isteri) pada
saat berpuasa Ramadhan, maka puasanya batal. Selain itu juga diwajibkan
membayar kafarat (denda). Adapun kafaratnya adalah (1) memerdekakan budak; atau
(2) berpuasa dua bulan berturut-turut; atau (3) memberi makan fakir-miskin
sebanyak 60 orang (Muhammad bin Shami Syaibah, Mukhtashar al-Fiqh, I/21).
Keterangan
tersebut berdasarkan hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah berikut ini:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ
عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى
وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ
رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ
سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ »
. فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ
أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا
– يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ،
فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ
قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi Saw.
kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau. Lalu pria tersebut
mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi Saw berkata, “Apa yang
terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri,
padahal aku sedang berpuasa.” Kemudian Rasulullah Saw bertanya, “Apakah
engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi
menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi Saw bertanya lagi, “Apakah engkau mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau bertanya
lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi
juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi Saw diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi Saw.
Kemudian beliau berkata,“Di mana
orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, saya.” Kemudian
beliau mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi
mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku,
wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga
ujung barat kota Madinah dari keluargaku”. Nabi Saw lalu tertawa sampai
terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau Saw berkata, “Berilah makanan
tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Menurut mayoritas ulama, jima’ bagi orang yang
berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan
atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, ditambah
dengan menunaikan kafarah. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak.
Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa),
puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal
ini. Namun yang dipersoalkan adalah apakah
keduanya (suami-isteri) sama-sama dikenai kafarah.
Dalam hal ini, pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah
dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya tentang wanita yang diajak
bersetubuh di bulan Ramadhan, tidaklah terkena kewajiban kafarah. Jadi, yang
menanggung kafarah adalah suami. Alasannya, dalam hadis di atas, Nabi Saw tidak
memerintahkan wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafarah
sebagaimana suaminya. Seandainya wanita memiliki kewajiban kafarah, maka Nabi
Saw tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafarah
adalah hak harta. Oleh karena itu, kafarah dibebankan pada laki-laki
sebagaimana mahar.
Berdasarkan hadis tersebut di atas, kafarah yang harus
dikeluarkan oleh suami adalah sebagai berikut:
1.
Membebaskan seorang budak;
2.
Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut; dan
3.
Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Para ulama berselisih pendapat, apakah
pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu
membebaskan seorang budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua berpuasa dua
bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga,
yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara
tiga itu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kafaratnya harus tertib, sedangkan
Malikiyah boleh memilih(Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu,
III/113).
Ibn al-‘Arabi menyatakan, dalam hadits ini
terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi
makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini
merupakan pendapat mayoritas ulama. Menurut nya, dalil kewajiban tertib urut
(dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau
pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian
diurutkan dengan puasa dua bulan berturut-turut setelah membebaskan budak,
kemudian baru memberi makan 60 orang miskin (al-Syaukani, Nail al-Authar, IV/590).
Sedangkan
Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya berturut-turut (tidak ada pilihan) ini
dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena
mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih
salah satunya atau tidak boleh (al-Asqalani, Fath al-Bari, IV/168).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar