QADHA DAN FIDYAH PUASA
oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi DH, M.Fil I
Assalamu’alaikum
wr. wb !
Ustadz AZ yg dirahmati Allah !
Mohon penjelasan tentang qadha dan fidyah puasa, dan siapa
saja yg boleh melakukannya ?
Jazakumullah khairan katsiran ! (Ibu Aminah, Krian).
Jawab:
Qadha Puasa
Yang dimaksud dengan qadha’ adalah mengganti
(mengerjakan) suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan. Misalnya mengganti
(mengerjakan) ibadah puasa Ramadhan di bulan Syawal atau bulan yang lain,
karena pada bulan Ramadhan tidak bisa melaksanakan ibadah puasa disebabkan
sakit atau safar (bepergian).
Adapun
orang yang diperbolehkan meng-qadha’ puasa adalah orang yang tidak berpuasa
Ramadhan karena sakit, safar (dalam perjalanan), atau karena pada saat
Ramadhan sedang kedatangan haid. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa di antara kamu ada
yang sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajiblah
baginya meng-qadha puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).
Dalam hadis riwayat Muslim, Aisyah
mengatakan:
فَنُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami (wanita haid) diperintahkan meng-qadha puasa, dan
tidak diperintahkan meng-qadha shalat” (HR. Muslim No. 789).
Berdasarkan ayat al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 184 dan hadis dari Aisyah ra riwayat Muslim tersebut dapat difahami
bahwa orang yang boleh meng-qadha puasa Ramadhan adalah orang-orang yang
pada saat berada di bulan Ramadhan tidak bisa berpuasa disebabkan oleh sakit, safar
(bepergian), atau karena haid.
Tentang waktu qadha’
puasa Ramadhan, tidak harus dilaksanakan
di bulan Syawal, tetapi boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain sampai dengan
bulan Sya’ban (sebelum datangnya Ramadhan). Dalam hadis ada riwayat yang menjelaskan bahwa ‘Aisyah
pernah menunda qadha’ puasanya sampai datangnya bulan Sya’ban.
عَنْ أَبِى
سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - تَقُولُ كَانَ يَكُونُ
عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى
شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Abu Salamah pernah mendengar Aisyah ra. berkata: “Aku
pernah punya hutang puasa Ramadhan (karena haid), lalu aku tidak bisa meng-qadha-nya
kecuali pada bulan Sya’ban (sebulan sebelum Ramadhan), karena sibuk bersama
Rasulullah Saw.” (HR. Muslim No. 2743).
Sungguhpun meng-qadha puasa Ramadhan
boleh diakhirkan sampai dengan bulan Sya’ban, namun lebih baik bila bisa
dilakukan lebih awal, misalnya pada bulan Syawal. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ
فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan
dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun:
61)
Adapun mengakhirkan qadha’
Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, ada dua kategori. Pertama, karena sebab
udzur, seperti sakit yang berkepanjangan. Terhadap orang yang ada sebab udzhur
ini, cukup melakukan qadha saja, kapan bisanya, tanpa kafarah.
Adapun kategori kedua, yakni mengakhirkan qadha hingga datang Ramadhan
berikutnya tanpa adanya sebab udzur, atau karena melalaikannya, maka kepada
orang ini dianggap berdosa, kemudian wajib qadha dan terkena kafarah,
yakni memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya.
Demikian menurut sebagian Ulama, di antaranya Abdullah Bin Baz (Abdullah Bin
Baz, Majmu’ Fatawa, XV/340).
Ulama berbeda pendapat
tentang kewaiban kafarah bagi orang yang melalaikannya atau tanpa udzur ini.
Jumhur ulama mewajibkan kafarah dengan alasan beberapa sahabat Nabi, di
antaranya Ibn Abbas juga mewajibkan kafarah. Sementara ulama lain
seperti Imam Hanafi, tidak mewajibkan kafarah. Pendapat yang tidak
mewajibkan kafarah ini didukung atau diperkuat oleh Imam al-Bukhari.
Alasan tidak mewajibkannya karena tidak ada dalil (al-Qur’an dan al-Hadis) yang
menunjukkan wajibnya kafarah. Menurut ulama ini, termasuk al-Syaukani, “pendapat
sahabat” tidak bisa dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan dengan nas
al-Qur’an (Sulaiman bin Muhammad, I’anat al-Muslim Fi Syarh Shahih Muslim, I/47-48).
Sebagai pendapat yang
moderat, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
berpendapat bahwa kafarah bagi orang yang sengaja menunda qadha’
puasa (melalaikannya) sampai Ramadhan berikutnya, tidaklah wajib (membayar kafarah),
tetapi hanya sunnah, karena tidak ada dalil yang mewajibkannya (al-Utsaimin, al-Syarh
al-Mumthi’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, VI/ 445).
Fidyah
Fidyah adalah menebus kewajiban puasa dengan (mengganti) memberi
makan orang miskin. Kewajiban
membayar fidyah ini dibebankan kepada orang yang tidak kuat melaksanakan ibadah
puasa Ramadhan. Misalnya, orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi
berpuasa, dan orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh. Hal ini telah disebutkan dalam firman Allah Swt:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Cara Penunaian Fidyah
Fidyah dapat dilakukan dengan
menghidangkan menu makanan lengkap siap saji kepada sejumlah orang sesuai
jumlah hari yang ditinggalkan. Jika puasa yang ditinggalkannya selama tujuh
hari, maka ia harus memberi makan sebanyak tujuh orang miskin. Atau boleh juga
dengan memberi makan satu orang miskin selama tujuh hari. Menurut riwayat, Anas
bin Malik (sahabat Nabi Saw), ketika sudah tua renta (umur 110 tahun), beliau
tidak berpuasa, lalu beliau memberi makan satu orang miskin setiap hari (selama
Ramadhan) dengan makanan roti dan daging (Ibn ‘Asyur, al-Tahrir Wa
al-Tanwir, ll/166). Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud dengan memberi makan
seorang miskin adalah memberi makan satu hari satu orang miskin seperti
biasanya ia (sendiri) makan (Abu al-Thib, Fath al-Bayan Fi Maqashid
al-Qur’an, I/365).
Ulama
berbeda pendapat bagi wanita hamil dan wanita menyusui yang mengkhawatirkan
dirinya atau anaknya kalau tetap berpuasa, apakah mereka termasuk dalam
kategori orang yang tidak kuat puasa, sehingga cukup membayar fidyah saja. Ibn
Katsir mengatakan, ada empat pendapat tentang wanita hamil dan wanita menyusui
terkait dengan hukum berpuasa. Pendapat pertama, boleh tidak berpuasa tetapi
wajib bayar fidyah dan wajib qadha. Kedua, boleh tidak berpuasa
tetapi wajib membayar fidyah tanpa qadha; ketiga, boleh tidak
berpuasa, tetapi wajib meng-qadha saja tanpa fidyah; dan keempat,
boleh tidak berpuasa, dan tidak perlu fidyah serta tidak perlu meng-qadha
(Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, I/158).
Ibn
Hajar al-Asqalani, dalam Talkhish al-Habir, mengatakan bahwa orang-orang yang termasuk
dalam kategori orang yang tidak kuat (الذين يطيقونه) berpuasa
adalah orang yang sudah tua renta, wanita menyusui dan wanita hamil yang
khawatir kondisi anaknya. Mereka ini boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya
harus membayar fidyah, yakni memberi makan orang miskin setiap harinya. Ibn Abbas pernah mengatakan kepada seorang
wanita yang sedang hamil:
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّتِي لاَ
تُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ بِالْفِدَاءِ وَلاَ قَضاَءَ عَلَيْكِ
“Engkau berkedudukan
sama dengan orang yang tidak kuat puasa, karena itu kamu harus membayar fidyah,
dan tidak perlu meng-qadha”. Sanad hadis ini menurut
al-Daruquthni shahih (al-Asqalani, Talkhish al-Habir,
II/209). Wallahu A’lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar