KHUTBAH RAMAH LINGKUNGAN
(Tanggapan terhadap buku “Khutbah
Hijau Mengajak diri Ramah Lingkungan)[1]
Oleh
DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]
I
Buku-buku tentang
Islam sudah banyak diterbitkan, tetapi buku Islam yang mengkhususkan kajian
mengenai ekosistem atau sistem lingkungan hidup belum banyak, apalagi buku khutbah yang khusus
tentang lingkungan hidup dan ramah lingkungan. Kalau tidak boleh dibilang belum
ada sebelumnya, keberadaannya kini masih sangat langka. Karena itu, buku
“Khutbah Hijau: Mengajak Diri Ramah Lingkungan” yang ditulis oleh Luthfi
Muhammad, sangat penting dan strategis dalam merespons berbagai peristiwa (banjir
bandang, tanah longsor, gunung meletus, gempa, kabut asap, kebakaran, dan
lain-lain) yang belakangan sering terjadi di negeri ini.
II
Buku “Khutbah Hijau” yang berisi 17 topik khutbah jumat dan dua khutbah
Id (Idul Fitri dan Idul adha) tentang ramah lingkungan, agaknya telah mencakup tiga
perspektif, yaitu aqidah(teologis), fiqh(yurudis), dan akhlak (etika).
Dalam perspektif teologis, terdapat pengakuan dan kesadaran bahwa
1). Tuhan adalah Pencipta alam semesta, “Rabbul ‘alamin” yang mencakup manusia dan
lingkungannya; 2). Adanya proses penciptaan yang berlangsung terus-menerus
tanpa akhir sepanjang Allah menghendaki
penciptaan. Dalam Q.S.Yunus [10]: 34 dinyatakan bahwa Allah-lah yang
memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya dengan penciptaan yang baru
tanpa henti (قل الله يبدأ الخلق ثم
يعيده ) juga dijelaskan dalam Q.S.Qaaf [50]:15: أَفَعَيِينَا بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ
جَدِيدٍ ﴿١٥﴾, Maka apakah Kami letih dengan penciptaan
yang pertama ? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan
yang baru; dan 3). Adanya keterlibatan makhluk Tuhan dalam proses iradah
(kehendak Tuhan) dan qudrah (kekuasaan Tuhan) pada penciptaan alam
semesta itu. Keterlibatan makhluk-makhluk Tuhan dalam interaksi ekosistem
ciptaan-Nya, dipahami dari ungkapan gaya bahasa Al-Qur’an. Dalam banyak ayat
penciptaan, menyangkut eksistensi dan hajat kehidupan manusia di dunia ini,
Tuhan mengakuinya dengan ungkapan “Kami menciptakan”, bukan “Aku menciptakan”.
Perhatikan bagaimana Tuhan mencipta manusia dari setetes air, dengan ungkapan:
“Kami menciptakannya dari setetes air” ( أنا خلقناه من نطفة – Q.S.Yasin
[36]: 77). Begitu pula ketika terjadi
bencana alam, akibat penyimpangan dari hukum ekosistem, sehingga sejumlah
materi pada alam beraksi tidak normal, dinyatakan dengan kalimat “telah
tertulis dalam kitab (hukum ekosistem), sebelum Kami menciptakannya” (فى كتاب من قبل أن نبرأها –
Q.S.al-Hadid [57]: 22). Tegasnya, kalimat-kalimat penciptaan dengan ungkapan
“Kami menciptakan”, adalah isyarat keterlibatan makhluk Tuhan dalam prosesnya.
Berbeda halnya jika penciptaan itu dikaitkan dengan penyembahan kepada Tuhan,
yang merupakan hak prerogatif Tuhan, maka kalimat yang digunakannya adalah “Aku
ciptakan”, bukan “Kami menciptakan”. Hal itu karena yang patut disembah
hanyalah Tuhan, maka ungkapan penciptaan-Nya pun memakai kalimat “Aku”; “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ – Q.S.al-Dzariyat [51]: 56).
Dalam perspektif
fiqh, konsep dasar fiqh lingkungan diantaranya: 1) Konsep ri’ayah al-bi’ah sebagai
konsep integral ajaran Islam. Konsep ini bila dibawa ke dalam fiqh akan
bermakna bahwa setiap perilaku yang bertujuan untuk menjaga dan memperbaiki
lingkungan hidup menjadi bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan menurut
ajaran agama. Sebaliknya, setiap tindakan destruktif terhadap lingkungan hidup
berarti penistaan terhadap ajaran agama Islam itu sendiri dan diharamkan secara
fiqh; 2) Konsep kewajiban kolektif (fardu kifayah) dalam menjaga dan
memperbaiki lingkungan hidup. Kewajiban kolektif memiliki makna suatu proyek
yang hanya dapat dituntaskan secara bersama dengan melibatkan banyak stakeholder. Keterlibatan banyak
pihak itu mengharuskan upaya-upaya yang melibatkan interkoneksitas lembaga.
Dengan demikian, penanganan problem lingkungan hidup mengharuskan ijtihad
dan mujahadah semua
pihak, terutama ulama, pemerintah, dan masyarakat. Implementasi kewajiban
kolektif ini dapat diupayakan secara linier dan terprogram secara
berkelanjutan mulai dari pendidikan tentang lingkungan hidup, perumusan program
jangka pendek, menengah, dan panjang, operasional dan kontrol serta sanksi bagi
pelanggarannya. Fardu kifayah jauh lebih berat dalam
mewujudkannya, karena dalam menunaikan kewajibannya harus melibatkan banyak
pihak; dan 3). Kewajiban-kewajiban ekologis meliputi semua komponen, mulai dari
kewajiban menjaga keseimbangan ekosistem, kewajiban menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati, hingga kewajiban pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan secara lestari. Keseimbangan ekosistem adalah kondisi dinamis suatu
ekosistem yang didukung oleh fungsi ekologis yang masing-masing komponennya
secara wajar berfungsi sehingga memiliki daya dukung lingkungan yang optimum.
Keseimbangan ekosistem dalam arti luas meliputi segala gerak dinamika
kehidupan, baik dalam dunia fisik maupun sosial. Dalam dunia fisik, ekosistem
diciptakan Tuhan sangat simetris. Oleh karena itu, penodaan terhadap dunia
fisik yang berakibat berkurangnya keseimbangan ekosistem dilarang (diharamkan)
dalam fiqh lingkungan, pelakunya akan diancam dengan dosa ekologis. Sebaliknya,
setiap upaya yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki keseimbangan
ekosistem diwajibkan dalam fiqh lingkungan dan pelakunya akan diberi pahala
ekologis. Ekosistem dalam dunia fisik berada dalam banyak wilayah yang saling
ketergantungan, seperti sumber-sumber air, tanah, pegunungan, udara, atmosfer,
ozon, dan semua benda fisik yang saling bertautan untuk memberikan dukungan
bagi kelangsungan kehidupan semua makhluk. Dunia flora dan fauna juga demikian.
Spesies-spesies yang hidup di alam raya diciptakan saling bergantungan. Dari
mereka tersedia sumber-sumber energi melalui sumbangan vitamin, protein dan
zat-zat yang sangat diperlukan bagi kehidupan. Dalam perspektif keseimbangan,
tidak ada makhluk yang lebih dominan dan tidak ada “penjajahan” antar sesama
makhluk Tuhan; semua hidup saling memerlukan, saling memberi, saling memuji,
dan bertasbih dengan bahasa masing-masing.
Dalam perspektif
akhlak, intinya mengajak bersikap ramah lingkungan. Melalui Kitab Suci Al-Qur’an,
Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah
terhadap lingkungan. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam
kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut : 1). Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah
lingkungan serta melestarikannya. Dalam surat Ar Ruum ayat 9, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan
di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh
orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka
(sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak
dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka
rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum
ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan yang dikhawatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam,
sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu
Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan
serta melestarikannya. Mengolah
serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal
(rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani
:”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu
lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan
tidak akan masuk surga, kecuali
orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). Dari hadis di atas memberikan pengertian
bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara
wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita
terpelihara. Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat
tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi
dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran udara yang kita hisap
agar selalu bersih, bebas dari pencemaran. Dalam sebuah hadis disebutkan :”Tiga
hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau
lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad); 2). Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan.
Di dalam
surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di
darat dan di laut akibat ulah manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)”. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Firman Allah SWT di
dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar
manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan
tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas,
dijelaskan bahwa : ”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak)
satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai
lima mud” (HR. Muttafaq ’alaih). Satu mud sama dengan 1 1/3 liter
menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab
Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003)
membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini
membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air
secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan
air sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’.
Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah
bersabda :”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar
bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang
membuang hajat di tengah jalan
atau di tempat orang yang berteduh” Di dalam hadis lainnya ditambah dengan
membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas, jelaslah
aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan
lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak
mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya. Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam
merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan
bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam
lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan
fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif
hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib
(Abdillah, 2005 : 11-12); 3). Agar manusia selalu membiasakan diri
bersikap ramah terhadap lingkungan. Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT
berfirman : ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri
secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Fakta spritual yang terjadi
selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti.
Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah
di Jawa Tengah, Jawa Barat dan lain-lain, intrusi
air laut, tumpukan sampah di mana-mana,
polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara
lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, kecuali penduduknya terdiri dari
orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan. Dalam suatu kisah
diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan
apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga? Dia
menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar
dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari
akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadis Nabi, “Tidak seorang
muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah
atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah
shadaqah baginya”. Didorong keinginan
untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan
diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal, pohon
itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat
berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan.
Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat
berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap
lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa
hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan
pahala surga akhirat kelak di kemudian hari. Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli
terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai
khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”.
III
Secara global, buku “Khutbah Hijau
Mengajak Diri Ramah Lingkungan” karya Luthfi Muhammad adalah buku yang kehadirannya
sangat tepat dan ditunggu oleh banyak orang terutama para khatib dan
muballigh. Selain karena faktor
kelangkaannya, buku ini sangat inspiratif untuk merspons peristiwa bencana alam
yang belakangan kerap terjadi di negeri ini. Sebagai catatan kecil, pada
halaman 111, ada terjemahan yang agak mengganggu pemahaman sehingga perlu dikoreksi,
yakni terjemahan hadis berikut ini:
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ
أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
Dalam buku
tersebut diterjemahkan: “Jika terjadi Hari Kiamat dan di tangan salah satu
di antara kalian ada biji kurma, maka jika engkau tidak sanggup berdiri hingga
menanamnya, kerjakanlah”. Menurut hemat saya, terjemahan yang pas adalah
"Jika terjadi hari kiamat, sedang salah seorang dari kalian mempunyai
bibit kurma, jika mampu hendaklah jangan berdiri sampai dia menanamnya. (HR.
Ahmad No. 12512)
Daftar
Bacaan:
DR.H. Sukarni, M.Ag, Islam dan Lingkungan Hidup. Jogjakarta:
Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Hadis Explorer. Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab Hadis
Luthfi Muhammad. Khutbah Hijau, Mengajak diri Ramah Lingkungan.
Surabaya: Duta Ikhwana Salama, 2012.
Prof.KH. Ali Yafi. Merintis Fiqh
Lingkungan Hidup. Jakarta: Ufuk Press, 2006.
Syafi’i Mufid dan Munawar Fuad Noeh, Ed. Serial Khutbah Kontemporer Beagama di Abad Dua
Satu. Jakarta: Zikrul Hakim, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar