APAKAH TAWAF HARUS SUCI ?
Oleh
DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
A.
Permasalahan:
Ulama berbeda pendapat
mengenai syarat tawaf dalam ibadah haji. Sebagian ulama berpendapat bahwa tawaf
harus dilakukan dalam keadaan suci, sementara ulama yang lain berpendapat bahwa
tawaf tidak harus dalam keadaan suci.
B. Alasan ulama yang tidak
mensyaratkan suci dalam melakukan tawaf
Ulama
yang tidak mensyaratkan suci ketika tawaf
di Baitullah pada umumnya berdasarkan dalil (hadis) bahwa bersuci (wudu) itu
hanya disyaratkan ketika hendak salat saja. Berikut ini hadis yang dijadikan
dasar:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ
فَقُرِّبَ عَلَيْهِ طَعَامٌ فَقَالُوْا: أَلاَ نَأْ تِيْكَ بِوُضُوْءٍ ؟ فَقَالَ:
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِا لْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَ ةِ (رواه النسائى)
Artinya:
Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah Saw keluar
dari buang air lalu dihidangkan kepadanya makanan kemudian mereka bertanya:
“Apakah tidak sebaiknya kami bawakan untukmu air untuk wudu?” Ia menjawab:
“Sesungguhnya aku hanya diperintah wudu apabila hendak melakukan salat.
(HR.Al-Nasa-i)
Di samping alasan hadis tersebut, juga
berdasarkan ijma ulama yang mengatakan bahwa melakukan sa’i dari Shafa
ke Marwa itu boleh tanpa suci. Ini berarti, tidaklah semua ibadah itu
disyaratkan suci dari haid sebagai syarat suci dari hadas, seperti berpuasa.[1]
C. Alasan Ulama yang mensyaratkan suci sebelum melakukan tawaf
Ulama
yang mensyaratkan harus suci ketika melakukan tawaf di Baitullah pada umumnya
mengacu kepada beberapa hadis sebagai berikut:
1. HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Abu Nu’aim,
al-Thahawi dan al-Baihaqi:
قاَلَ ثُمَّ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَا ئِشَةَ فَوَجَدَهَا تَبْكِىْ فَقَالَ
مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ شَأْنِىْ أَنِّىْ قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ
أَحْلِلْ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُوْنَ إِلَى الْحَجِّ
اْلأَنَ فَقَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهَااللهُ عَلَى بَنَاتِ أَدَمَ
فَاغْتَسِلِىْ ثُمَّ أَهِلِّى بِالْحَجِّ ثُمَّ حُجِّىْ وَاصْنَعِىْ مَا يَصْنَعُ
الْحَاجُّ غَيْرَأَنْ لاَ تَطُوْفِي فِى الْبَيْتِ وَلاَ تُصَلِّى (رواه
أحمد وأبو داود) فَفَعَلَتْ (رواه
مسلم وأبونعيم وأبو داود والطحاوى والبيهقى وأحمد)
وَفِىْ رِوَايَةٍ فَنَسَكَتِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ أَنَّهَا لَمْ تَطُفْ
بِالْبَيْتِ (رواه أحمد)
Artinya:
Jabir berkata: “Kemudian
Rasulullah Saw menemui ‘Aisyah ra dalam keadaan menangis. Beliau bertanya:
“Kenapa engkau menangis?”. Aisyah menjawab: “Saya kedatangan haid. Padahal kaum
muslimin sudah bertahallul sementara aku belum bertahallul. Aku juga belum
sempat bertawaf di Baitullah, sementara kaum muslimin sedang pergi melaksanakan
haji”. Nabi Saw bersabda: “Itu adalah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah
bagi setiap kaum wanita. Mandilah kemudian berihramlah untuk haji kemudian
laksanakan manasik haji, dan lakukan apa yang dilakukan oleh kaum muslimin,
hanya saja jangan tawaf di Baitullah dan jangan salat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Lalu ‘Aisyah ra melakukannnya (HR. Muslim, Abu Nu’aim, Dawud, al-Nasa-i,
al-Thahawi, al-Baihaqi dan Ahmad). Dalam riwayat lain disebutkan: “Ia
melaksanakan semua manasik haji kecuali tawaf di Baitullah (HR.Ahmad).[2]
2.
HR. Al-Nasa-i dan al-Darimi:
اَلطَّوَافُ
بِالْبَيْتِ صَلاَ ةٌ إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيْهِ النُّطْقَ فَلاَ يَنْطِقُ
إِلاَّ بِخَيْرٍ
(رواه
النسائى والدارمى)
Artinya:
Tawaf di Baitullah itu sama dengan salat,
hanya saja Allah membolehkan berbicara (dalam melakukan tawaf). Maka dari itu
tidak dibolehkan bicara kecuali yang baik (HR.al-Nasa-i dan al-Darimi).[3]
3. HR. Al-Bukhari dan Muslim:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِنَّ أَوَّلَ
شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَدِمَ
أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه
البخارى ومسلم )
Artinya:
Aisyah ra berkata: Sesungguhnya yang pertama sekali dilakukan Nabi Saw
ketika tiba (di masjid al-Haram) adalah berwudu, kemudian beliau melakukan tawaf
di Baitullah (HR. Al-Bukhari dan Muslim).[4]
D.
Pendapat ulama tentang keharusan suci dari hadas sebelum tawaf :
1.
Ulama al-Syafi’iah,
mereka berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari hadas
sebagaimana syarat dalam salat;[5]
2.
Ulama al-Malikiah,
mereka berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari hadas
kecil maupun besar; apabila di tengah-tengah melakukan thawah ia berhadas atau
ia mengetahui badan dan pakaiannya terkena najis maka batal tawafnya;[6]
3. Ulama al-Hanabilah, berpendapat
bahwa di antara syarat tawaf adalah harus suci dari kotoran sebagaimana syarat
dalam salat, di antaranya suci dari hadas kecil maupun hadas besar;[7]
4. Ulama al-Hanafiah, berpendapat bahwa suci dari hadas itu
bukan syarat sahnya haji akan tetapi wajib haji. Jika ia dalam keadaan berhadas
kecil tawafnya tetap sah, tetapi ia harus membayar “dam” dengan menyembelih
seekor kambing. Jika ia berhadas besar seperti dalam keadaan junub atau haid, tawafnya
sah tetapi harus menyembelih seekor unta, dan dianjurkan mengulanginya bila
masih berada di Makkah;[8]
5. Syekh Bin Baz pernah ditanya mengenai kewajiban berwudu dalam
ibadah haji. Beliau menjawab bahwa berwudu tidak diwajibkan dalam kegiatan sai
dan lain-lain manasik haji kecuali ketika tawaf. Apabila hendak tawaf maka
harus berwudu, apabila tanpa berwudu maka tawafnya batal.[9]
6. Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pernah ditanya: “Apakah
harus dalam keadaan suci ketika hendak melempar jumrah?”. Beliau menjawab:
Tidak, bersuci tidak diharuskan dalam kegiatan manasik haji apa pun kecuali
ketika tawaf di Baitullah, karena Nabi Saw pernah melarang ‘Aisyah ra.
melakukan tawaf ketika sedang dalam keadaan haid (HR. Al-Bukhari dan Muslim).[10]
7. Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa di antara syarat tawaf adalah
harus suci, baik dari hadas kecil, hadas besar maupun dari najis.[11]
8. Nasir bin Musfir al-Zahrani dalam bukunya Ibhaj al-Haj[12]
menulis bahwa syarat-syarat sahnya tawaf adalah niat dalam hati (tidak
dilafalkan), dalam keadaan suci, menutup aurat, tujuh kali keliling,
baitullah berada di sebelah kirinya, dan berada di belakang hijr
Isma’il.
9.Tim Majelis
Tarji>h} dan Tajdi>d Pimpinan Pusat Muh}ammadi>yah menyatakan bahwa
seseorang yang melakukan t}awa>f haruslah suci dari h}adath kecil maupun
besar. Apabila bat}al wud}u>nya maka harus wud}u> lagi dan melanjutkan
kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan. Karena dalam t}awa>f
dapat diselingi dengan perbuatan lain seperti s}ala>t ketika ada panggilan iqa>mah atau
istirahat ketika merasa lelah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan At}a>
dalam kitab Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/589-590.[13]
E. Kesimpulan
Ulama yang berpendapat bahwa tawaf
tidak diharuskan dalam keadaan bersuci karena beralasan bahwa sesuai hadis Nabi
Saw, beliau hanya diperintah untuk berwudu ketika mau salat saja. Ulama ini
juga beralasan bahwa tawaf di Baitullah itu sama dengan manasik lainnya dalam
haji yang tidak disyaratkan dalam keadaan suci.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa tawaf
disyaratkan dalam keadaan bersuci karena beralasan bahwa ‘Aisyah ketika
kedatangan haid pernah diperbolehkan melakukan apa saja dalam berhaji, kecuali tawaf. Di samping itu, Nabi Saw
sendiri pernah mengatakan bahwa tawaf itu sama juga dengan salat, karena itu
harus juga suci dari hadas dan najis.
Mana di antara kedua pendapat
tersebut yang lebih kuat? Tentu masing-masing kelompok memandang alasannya yang
lebih kuat. Bagi penulis, memegangi pendapat yang mengharuskan suci ketika tawaf,
lebih aman dan selamat. Di samping didukung oleh mayoritas ulama, karena
dalil-dalil yang dipergunakannya dapat dipertanggung-jawabkan keabsahannya.
Ulama Hanafiah memang menganggap sah (tetapi tidak sempurna) tawafnya tanpa
suci, sehingga masih mewajibkan bagi yang bersangkutan untuk membayar “dam”
dengan menyembelih seekor kambing bila berhadas kecil, dan seekor unta bila berhadas
besar seperti junub dan haid.
Wallahu A’lam bi al-shawab !
[1] Ibn Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, tt), 250. Ibn
Rusyd mengemukakan bahwa ijma’ ulama berpendapat bahwa tawaf harus
dilakukan oleh orang yang suci dari hadas. Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa
tawaf tanpa suci tidak sah, baik sengaja atau karena lupa. Abu Hanifah berkata
bahwa tawaf tanpa suci tidak sempurna dan disunnahkan mengulanginya setelah
suci dengan “dam”. Abu Tsaur berkata bahwa orang yang melakaukan tawaf
tanpa wudu, tawafnya sah bila tidak mengerti, tetapi apabila mengerti tawafnya
tidak sah. Syafi’i menambahkan bahwa di samping harus suci dari hadas juga
harus suci dari pakaiannya seperti salat.
[2] M. Nashir al-Din al-Albani, Hajjat
al- Nabi Saw Kama Rawaha ‘Anhu Jabir Radiyallahu ‘Anh , terj. Abu Amar
Basyir al-Maidani (Solo: al-Qawam,2004), 81-82. baca juga Al-Tabari, Hajjat
al-Mustafa Sallallahu ‘alaih wasallam (Riyad: Dar Atlas al-Hadra, 2003),
32-33.
[3] Ibn Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid,Vol.I, 250. Menurut Sayid Sabiq, hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, al-Daruquthni dan disahihkan oleh al-Hakim, Ibn
Khuzaimah dan Ibn al-Sakan. Baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I
(Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 588.
[5] Abd al-Rahman al-Jazairi, al-Fiqh
‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, 1986), 653.
[9] Muhammad bin Abd Aziz al-Musnad,
Fatwa-Fatwa Haji & Umrah, terj. Asmuni Shalihin Zamakhsyari (Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2002), 153-154.
[11] Di antara alasan yang digunakan
oleh Sayyid Sabiq adalah berdasarkan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ibn
‘Abbas ra bahwasanya Nabi Saw pernah bersabda bahwa tawaf di Baitullah itu sama
dengan salat, hanya saja Allah membolehkan berbicara (dalam melakukan tawaf).
Maka dari itu tidak dibolehkan bicara kecuali yang baik. HR. Al-Tirmidzi,
al-Daruquthni dan disahihkan oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn al-Sakan.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 588.
[12] Nasir bin Musfir al-Zahrani, Ibhaj al-Haj (Riyad:
Maktabah al-‘Abikan, 1423 H), 40.
[13] Tim Majelis Tarji>h} dan Tajdi>d
PP.Muh}ammadi>yah, Fatwa>-Fatwa> Tarji>h: Tanya Jawab Agama-2 (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar