Selasa, 25 Februari 2025

Cium Isteri Sebelum Salat

CIUM ISTERI SEBELUM SALAT Salat

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Kami berdua (suami isteri) sering melakukan persentuhan kulit satu dengan yang lain, di antaranya dengan bersalaman dan berciuman. Hal ini sering kami lakukan saat mau berpamitan atau pas baru datang dari suatu perjalanan, dan terkadang hal ini kami lakukan saat hendak melakukan salat. Ada teman saya yang mengatakan bahwa bersentuhan suami isteri itu dapat membatalkan wudu, sama saja dengan bersentuhan dengan wanita lain yang bukan mahram (yang boleh dinikahi). Melalui rubrik konsultasi Agama MATAN ini kami mohon Pengasuh berkenan membahasnya secara tuntas, dan bagaimana menurut fatwa tarjih Muhammadiyah? Demikian, atas perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsira! (Abdurrahman, Madiun).

Pembahasan:

Masalah hukum menyentuh kulit wanita, apakah membatalkan wudu atau tidak merupakan masalah fikih yang sudah dibahas sejak zaman klasik, namun rasanya masih tetap aktual dan masih sering diperbincangkan oleh masyarakat kita. Pembahasan ini umumnya berangkat dari pemahaman ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 dan al-Nisa ayat 43:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. Al-Maidah, 6 dan Al-Nisa, 43).

            Sebagian ulama memahami kata “laamasa” pada ayat tersebut secara dzahir, yaitu bertemunya antara kulit wanita dengan kulit laki-laki, selain jimak (bersenggama). Dari pemahaman ini mereka kemudian berpendapat bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram yang tanpa penghalang, dapat membatalkan wudu, apakah sengaja atau tidak sengaja, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ibn Mas’ud dan Ibn Umar, kemudian al-Zuhri kalangan Tabi’in, dan Imam Syafii serta para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

            Sebagian ulama yang lain memahami kata “laamasa” ini dengan pengertian jimak (bersenggama). Dengan demikian, persentuan dengan tangan biasa (termasuk mencium), apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat, maka hal itu tidak membatalkan wudu. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ali dan Ibn Abbas, kemudian Atha dan Thawus dari kalangan Tabiin, kemudian Imam Hanafi dan para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

 Di kalangan ulama Empat Madzhab ada tiga pendapat mengenai hukum laki-laki menyentuh wanita (kulit dengan kulit) yang bukan mahramnya. Pertama, menyatakan batal, apakah menyentuh wanita dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafii. Kedua, menyatakan tidak batal, apakah saat menyentuh tadi ada syahwat atau tidak ada syahwat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Hanafi. Ketiga, mengompromikan antara dua pendapat, yaitu tidak batal laki-laki menyentuh wanita apabila saat menyentuh tidak ada syahwat, tetapi bila ada syahwatnya dapat membatalkan wudunya. Pendapat ini didukung oleh Imam Maliki dan Imam Hanbali (Ibn Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/438).

Berikut ini beberapa alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudu:

Imam al-Syafii rahimahullah menjelaskan mengenai firman Allah (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) bahwa yang dimaksudkan adalah bersentuhan kulit dengan tangan, bukan berjimak. Pemahaman ini dengan beberapa alasan, di antaranya Allah telah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “lamsun nisaa’” (menyentuh wanita) dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “lamsun nisaa’” termasuk jenis hadas kecil seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub (Imam al-Syafii, al-Umm, I/15).  

Dalam hadis disebutkan bahwa kata al-lamsu bermakna meraba, yaitu:

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

Zinanya tangan adalah dengan meraba” (HR. Ahmad 8582, II/349). Al-Albani mengatakan hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah 2804, VII/5).

            Selain itu ada keterangan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudu.” (Imam Malik, Muwatha’ Malik 134, II/60, Imam al-Syafii, Musnad al-Syafii 28, I/11). Al-Albani menilai hadis (atsar) ini sahih (al-Albani, Misykat al-Mashabih Li al-Tibrizi 331, I/71).

            Lebih rinci Al-Bujairimi al-Syafii menerangkan dalam Hasyiyahnya:

اِعْلَمْ أَنَّ اللَّمْسَ نَاقِضٌ بِشُرُوطٍ خَمْسَةٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَيْنَ مُخْتَلِفَيْنِ ذُكُورَةٍ وَأُنُوثَةٍ. ثَانِيهَا: أَنْ يَكُونَ بِالْبَشَرَةِ دُونَ الشَّعْرِ وَالسِّنِّ وَالظُّفْرِ. ثَالِثُهَا: أَنْ يَكُونَ بِدُونِ حَائِلٍ. رَابِعُهَا: أَنْ يَبْلُغَ كُلٌّ مِنْهُمَا حَدًّا يُشْتَهَى فِيهِ. خَامِسُهَا: عَدَمُ الْمَحْرَمِيَّةِ.

 Ketahuilah bahwa al-lams termasuk pembatal wudu dengan lima syarat, yaitu: (1) Antara lawan jenis, laki-laki dan wanita; (2) Menyentuh kulit, bukan rambut, gigi, atau kuku; (3) Tanpa penghalang (haa-il); (4) Telah memiliki kecenderungan syahwat; (5) Sesama bukan mahram” (Sulaiman Al-Bujairimi al-Syafii, Hasyiyah al-Bujairimi, I/211).

Adapun beberapa dalil yang digunakan ulama untuk menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu adalah sebagai berikut:

Hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudu, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik menyentuh istri maupun yang selain isteri, yang bukan mahram atau mahram. Berikut di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. al-Bukhari 382).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ   صلى الله عليه وسلم  لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR Muslim 1118).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudu. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan salatnya. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudu, sebagaimana hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ   صلى الله عليه وسلم  قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudu (lagi) (HR. Abu Dâwud 178 dan al-Tirmidzi 86). Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, I/316).

Hadis-hadis tersebut tentunya juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umatnya kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususannya, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau.

Dalam buku Tanya Jawab Agama jilid V hal. 2-3, Fatwa Tarjih Muhammadiyah mengambil sikap setuju atau sefaham dengan pandangan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian di suatu malam di mana ‘Aisyah, istri Nabi saw, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud (Muhammad Bin Yusuf al-Salihi al-Syami, Subul al-Huda Wa al-Rasuad Fi Sirah Khair al-‘Ibad, VIII/146).

Dalam peristiwa lain yang juga termuat dalam Sahih al-Bukhari 382, diterangkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku (Ali Muhammad al-Shalabi, al-Sirah al-Nabawiyah ‘Ard Waqa’i‘ Wa Tahlil Ahdats, IV/234).

Dua peristiwa tersebut bisa menjadi dalil dan dapat dijadikan sebagai contoh konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan kulit laki-perempuan (termasuk suami-isteri) yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu.

Harus difahami bahwa perbedaan pendapat tentang ini sudah terjadi sejak masa Sahabat Nabi saw.  Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jima’, namun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu menyelisihi penafsiran di atas. Ibn Abbas berkata: (kata) mass, lams, mubasyarah (semuanya berarti menyentuh), maksudnya adalah jimak, tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki (Imam al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, VIII/389-393).

Bila dicermati pandangan di atas, maka tampak adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat sendiri. Karena itu kita bisa mengkaji lebih lanjut mengenai pendapat-pendapat yang berbeda tersebut, mana di antara pendapat-pendapat yang mendekati pesan al-Qur’an dan hadis-hadis sahih.

Menurut Tarjih Muhammadiyah, pendapat Sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah adalah pendapat Ibn Abbas ra., karena banyak hadis yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita (termasuk ciuman antara suami-isteri) tidak membatalkan wudu (Tanya Jawab Agama V, hal. 2-3). Wallahu A’lam!

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Januari 2025)

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar