CIUM ISTERI SEBELUM SALAT Salat
Oleh
Permasalahan:
Kami
berdua (suami isteri) sering melakukan persentuhan kulit satu dengan yang lain,
di antaranya dengan bersalaman dan berciuman. Hal ini sering kami lakukan saat
mau berpamitan atau pas baru datang dari suatu perjalanan, dan terkadang hal
ini kami lakukan saat hendak melakukan salat. Ada teman saya yang mengatakan
bahwa bersentuhan suami isteri itu dapat membatalkan wudu, sama saja dengan
bersentuhan dengan wanita lain yang bukan mahram (yang boleh dinikahi). Melalui
rubrik konsultasi Agama MATAN ini kami mohon Pengasuh berkenan membahasnya
secara tuntas, dan bagaimana menurut fatwa tarjih Muhammadiyah? Demikian, atas
perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan
katsira! (Abdurrahman, Madiun).
Pembahasan:
Masalah hukum menyentuh
kulit wanita, apakah membatalkan wudu atau tidak merupakan masalah fikih yang
sudah dibahas sejak zaman klasik, namun rasanya masih tetap aktual dan masih
sering diperbincangkan oleh masyarakat kita. Pembahasan ini umumnya berangkat
dari pemahaman ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 dan al-Nisa ayat 43:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا
مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan
kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. Al-Maidah, 6
dan Al-Nisa, 43).
Sebagian ulama memahami kata “laamasa” pada ayat
tersebut secara dzahir, yaitu bertemunya antara kulit wanita dengan kulit
laki-laki, selain jimak (bersenggama). Dari pemahaman ini mereka
kemudian berpendapat bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram yang tanpa
penghalang, dapat membatalkan wudu, apakah sengaja atau tidak sengaja, dengan
syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ibn
Mas’ud dan Ibn Umar, kemudian al-Zuhri kalangan Tabi’in, dan Imam Syafii serta
para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).
Sebagian ulama yang lain memahami kata “laamasa”
ini dengan pengertian jimak (bersenggama). Dengan demikian, persentuan
dengan tangan biasa (termasuk mencium), apakah dengan syahwat atau tanpa
syahwat, maka hal itu tidak membatalkan wudu. Pendapat ini didukung oleh Sahabat
Ali dan Ibn Abbas, kemudian Atha dan Thawus dari kalangan Tabiin, kemudian Imam
Hanafi dan para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr,
64).
Di kalangan ulama Empat Madzhab ada tiga
pendapat mengenai hukum laki-laki menyentuh wanita (kulit dengan kulit) yang
bukan mahramnya. Pertama, menyatakan batal, apakah menyentuh wanita
dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Imam
Syafii. Kedua, menyatakan tidak batal, apakah saat menyentuh tadi ada
syahwat atau tidak ada syahwat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Hanafi. Ketiga,
mengompromikan antara dua pendapat, yaitu tidak batal laki-laki menyentuh wanita
apabila saat menyentuh tidak ada syahwat, tetapi bila ada syahwatnya dapat
membatalkan wudunya. Pendapat ini didukung oleh Imam Maliki dan Imam Hanbali
(Ibn Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/438).
Berikut
ini beberapa alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan
mahram itu dapat membatalkan wudu:
Imam al-Syafii rahimahullah menjelaskan
mengenai firman Allah (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) bahwa yang dimaksudkan adalah bersentuhan
kulit dengan tangan, bukan berjimak. Pemahaman ini dengan beberapa alasan, di
antaranya Allah telah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu
menyebutkan setelah itu “lamsun nisaa’” (menyentuh wanita) dibarengkan
dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “lamsun
nisaa’” termasuk jenis hadas kecil seperti buang hajat, dan itu bukan
karena junub (Imam al-Syafii, al-Umm, I/15).
Dalam hadis disebutkan bahwa kata al-lamsu bermakna
meraba, yaitu:
وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ
“Zinanya
tangan adalah dengan meraba” (HR. Ahmad 8582, II/349). Al-Albani mengatakan
hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah 2804, VII/5).
Selain itu ada keterangan dari
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ
فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ
“Ciuman
dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang
mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudu.” (Imam Malik, Muwatha’ Malik
134, II/60, Imam al-Syafii, Musnad al-Syafii 28, I/11). Al-Albani
menilai hadis (atsar) ini sahih (al-Albani, Misykat al-Mashabih Li al-Tibrizi
331, I/71).
Lebih rinci Al-Bujairimi al-Syafii
menerangkan dalam Hasyiyahnya:
اِعْلَمْ أَنَّ اللَّمْسَ نَاقِضٌ بِشُرُوطٍ خَمْسَةٍ: أَحَدُهَا: أَنْ
يَكُونَ بَيْنَ مُخْتَلِفَيْنِ ذُكُورَةٍ وَأُنُوثَةٍ. ثَانِيهَا: أَنْ يَكُونَ بِالْبَشَرَةِ
دُونَ الشَّعْرِ وَالسِّنِّ وَالظُّفْرِ. ثَالِثُهَا: أَنْ يَكُونَ بِدُونِ حَائِلٍ.
رَابِعُهَا: أَنْ يَبْلُغَ كُلٌّ مِنْهُمَا حَدًّا يُشْتَهَى فِيهِ. خَامِسُهَا: عَدَمُ
الْمَحْرَمِيَّةِ.
“Ketahuilah
bahwa al-lams termasuk pembatal wudu dengan lima syarat, yaitu: (1) Antara
lawan jenis, laki-laki dan wanita; (2) Menyentuh kulit, bukan rambut, gigi,
atau kuku; (3) Tanpa penghalang (haa-il); (4) Telah memiliki kecenderungan
syahwat; (5) Sesama bukan mahram” (Sulaiman Al-Bujairimi al-Syafii, Hasyiyah
al-Bujairimi, I/211).
Adapun beberapa dalil yang digunakan ulama untuk
menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu
adalah sebagai berikut:
Hadis-hadis
yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa
menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudu, baik dengan syahwat atau
tanpa syahwat, baik menyentuh istri maupun yang selain isteri, yang bukan
mahram atau mahram. Berikut di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ
فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Aku tidur di
depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan
kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau
menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah
berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. al-Bukhari 382).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى
بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai
kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR
Muslim 1118).
Hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak
membatalkan wudu. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan salatnya. Demikian
juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak
berwudu, sebagaimana hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak
berwudu (lagi) (HR.
Abu Dâwud 178 dan al-Tirmidzi 86). Al-Albani menilai hadis tersebut sahih
(al-Albani, Sahih Abi Dawud, I/316).
Hadis-hadis
tersebut tentunya juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umatnya
kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan
di sini tidak ada dalil pengkhususannya, maka hukumnya juga berlaku bagi umat
beliau.
Dalam
buku Tanya Jawab Agama jilid V hal. 2-3, Fatwa Tarjih Muhammadiyah
mengambil sikap setuju atau sefaham dengan pandangan bahwa persentuhan kulit
laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai
argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi
Muhammad SAW.
Dalam
sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian di suatu malam di mana ‘Aisyah,
istri Nabi saw, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia
merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud (Muhammad Bin
Yusuf al-Salihi al-Syami, Subul al-Huda Wa al-Rasuad Fi Sirah Khair al-‘Ibad,
VIII/146).
Dalam
peristiwa lain yang juga termuat dalam Sahih al-Bukhari 382, diterangkan bahwa
‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang
salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud,
beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau
telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku (Ali Muhammad al-Shalabi, al-Sirah
al-Nabawiyah ‘Ard Waqa’i‘ Wa Tahlil Ahdats, IV/234).
Dua
peristiwa tersebut bisa menjadi dalil dan dapat dijadikan sebagai contoh
konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan kulit laki-perempuan
(termasuk suami-isteri) yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu.
Harus
difahami bahwa perbedaan pendapat tentang ini sudah terjadi sejak masa Sahabat
Nabi saw. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar
radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah
menyentuh kulit, bukan jima’, namun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu menyelisihi
penafsiran di atas. Ibn Abbas berkata: (kata) mass, lams, mubasyarah
(semuanya berarti menyentuh), maksudnya adalah jimak, tetapi Allah Azza
wa Jalla menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan
apa yang Dia kehendaki (Imam al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an,
VIII/389-393).
Bila dicermati
pandangan di atas, maka tampak adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat
sendiri. Karena itu kita bisa mengkaji lebih lanjut mengenai pendapat-pendapat
yang berbeda tersebut, mana di antara pendapat-pendapat yang mendekati pesan
al-Qur’an dan hadis-hadis sahih.
Menurut
Tarjih Muhammadiyah, pendapat Sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan
al-Sunnah adalah pendapat Ibn Abbas ra., karena banyak hadis yang menyebutkan
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita (termasuk ciuman antara
suami-isteri) tidak membatalkan wudu (Tanya Jawab Agama V, hal. 2-3). Wallahu
A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Januari 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar