Selasa, 25 Februari 2025

Amal Utama Di Bulan Ramadan

 AMALAN UTAMA

DI BULAN RAMADAN

 

Oleh:


DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Sudah maklum, Ramadan adalah bulan yang sangat mulia dan istimewa. Karena itu sungguh beruntung orang yang bisa memanfaatkannya untuk beramal sebanyak dan sebaik mungkin. Melalui rubrik konsultasi Agama, mohon Pengasuh berkenan mengulas dan membahas amalan apa saja yang sebaiknya diprioritaskan di bulan Ramadan. Atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Kasih, Sidoarjo).

Pembahasan:

Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis dapat diketahui, setidaknya, ada tujuh amalan utama yang bisa diamalkan di bulan Ramadan, yaitu berpuasa (al-shaum), qiyam Ramadan (salat tarawih), tadarus al-Qur’an, bersadaqah, umrah, iktikaf dan memburu lailatul qadar, serta memperbanyak dzikir, doa dan istighfar.

1.    Berpuasa (al-Shaum).

Amalan terpenting pada bulan Ramadan adalah shaum atau shiyam (berpuasa). Perintah berpuasa ini termaktub dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa (QS. al-Baqarah, 183).

Tentang keutamaan berpuasa, Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. al-Bukhari 1802 dan Muslim 760).

Pahala besar ini akan diberikan kepada orang yang berpuasa tidak sekedar meninggalkan makan dan minum. Jabir bin Abdillah berkata:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ، وبَصَرُكَ، وَلِسَانُكَ، عَنِ الْكَذِبِ، وَالْمَحَارِمِ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصَوْمِكَ سَوَاء

Jika Anda berpuasa, maka puasakan juga pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari dusta dan hal-hal lain yang dilarang. Tinggalkan perbuatan yang dapat menyakiti pelayan, dan bersikaplah yang lembut dan tenang pada hari puasamu. Jangan samakan antara hari saat berpuasamu dan saat tidak berpuasa (HR. al-Baihaqi 3374 dan Ibn Aby Syaibah 8880).

2.  Qiyam Ramadan (Salat al-Tarawih)

Ulama sepakat bahwa Qiyamu Ramadaan (Salat Tarwih) itu disyariatkan. Nabi saw. menganjurkan agar selama Ramadan kita menghidupkan malam-malamnya dengan salat tersebut. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. menganjurkan (salat) qiyam Ramadan kepada para shahabat, tanpa perintah wajib. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan (salat) qiyam Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (HR. Muslim 1816).

Dalam melaksanakan Qiyam Ramadan, hendaklah mencontoh tata cara salat Nabi saw., baik mengenai jumlah rakaatnya maupun tata-caranya. Nabi melaksanakan Qiyamu Ramadan sebanyak 11 rakaat dengan cara-cara yang bervariasi. Di antaranya dengan jumlah rakaat 4+4+3 atau 2+2+2+2+3. Dasarnya Hadis berikut ini:

 عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا  

Dari Abu Salamah bahwasanya Aisyah ra. ketika ditanya tentang salat Nabi di bulan Ramadan, Aisyah berkata: pada bulan Ramadan maupun yang lainnya, Nabi tidak pernah melakukan salat lebih dari sebelas rakaat. Nabi saw. kerjakan empat rakaat, jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi empat rakaat dan jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya. Lalu Nabi kerjakan salat tiga rakaat (HR. al-Bukhari 2013 dan Muslim 1757).

Boleh juga dengan cara 2+2+2+2+2+1. Dasarnya Hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ - وَهِىَ الَّتِى يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ - إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلإِقَامَةِ.

Dari ‘Aisyah isteri Nabi saw, dia berkata; Rasulullah saw. pernah salat antara habis salat isya yang biasa disebut ‘atamah hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika muazin salat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muazin telah menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali rakaat ringan, kemudian beliau berbaring di atas lambung sebelah kanan hingga datang muazin untuk iqamat (HR. Muslim 1752).

3. Tadarus al-Qur’an

            Dalam sebuah Hadis dijelaskan bahwa setiap Ramadan Rasulullah saw. melakukan tadarus al-Qur’an bersama Jibril:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ (أَجْوَدَ) مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ  

Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan Ramadan. Ketika ditemui oleh Malaikat Jibril, yakni pada setiap malam Ramadan, maka ia mengajaknya membaca dan mempelajari al-Qur’an (HR. al-Bukhari 4711 dan Muslim 2307).

Oleh karena itu pada bulan Ramadan, umat Islam sedapat mungkin bisa berinteraksi dengan al-Qur’an untuk meraih keberkahan hidup dan menuju umat yang terbaik dengan mau membacanya, memahaminya, mengamalkannya dan mengajarkannya.

4. Sadaqah dan Zakatul Fitri

Dalam Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra. diberitakan bahwa:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ (أَجْوَدَ) مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ  

 Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan di antara manusia lainnya, dan beliau semakin dermawan saat di bulan Ramadan (HR. al-Bukhari 4711 dan Muslim 2307).

Salah satu bentuk sadaqah yang dianjurkan selama Ramadan adalah memberikan ifthar (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, Nabi saw. bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ أَوْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّائِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barangsiapa memberi ifthar kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut (HR. Ahmad 21676, al-Tirmidzi 807 dan Ibnu Majah 1746). Al-Albani: Hadis ini sahih (Sahih al-Jami’al-Shaghir, II/1095).

            Selain itu juga ada sadaqah wajib berupa zakatul fitri:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ الرَّفَثِ وَاللَّغْوِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

 Rasulullah saw. mewajibkan zakatul fitri sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia, dan ucapan tidak baik, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum salat hari raya maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah salat hari raya maka termasuk sedekah biasa (HR. Abu Daud 1611). Al-Albani: hasan.

5. Iktikaf dan Memburu Lailatul Qadar

Termasuk amalan yang dicontohkan Nabi saw. di bulan Ramadan adalah beriktikaf di masjid. Dalam sebuah Hadis disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه.

Aisyah ra. menerangkan bahwa Nabi saw. beriktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri beliau pun beriktikaf setelah kepergian beliau (HR. al-Bukhari 2016 dan Muslim 1172).

Nabi saw. juga menyuruh sahabatnya agar memburu lailatul qadar dengan sabdanya:

إِنِّى أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّى نَسِيتُهَا - أَوْ أُنْسِيتُهَا - فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ

Sesungguhnya aku telah melihat lailatul qadar, saya lupa (kapan kajadiannya) atau aku sengaja dibuat lupa (oleh Allah). Karena itu maka carilah (burulah) lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir pada tanggal yang ganjil (HR. Muslim 2829).

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca? Beliau menjawab, “Ucapkan:

اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ، فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku (HR. Ahmad 25384, dan al-Tirmidzi 3513, disahihkan Al-Albani).

6. Umrah

Rasulullah saw. pernah menganjurkan kepada seorang wanita Ansar (Ummu Sinan) yang tidak sempat berhaji bersama beliau agar berumrah Ramadan:

Dari Ibnu Abbas ra, dikatakan bahwa ketika Rasulullah saw. pulang dari hajinya, beliau berkata kepada seorang wanita Ansar (Ummi Sinan): “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor unta yang dipakai untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi tanaman”. Nabi bersabda: “Apabila datang Ramadan, berumrahlah,

 فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِي.

Karena sesungguhnya umrah di bulan Ramadan menyamai ibadah haji bersamaku (HR. al-Bukhari 1863). 

7. Memperbanyak dzikir, doa dan istighfar

Sesungguhnya Ramadan adalah waktu yang mulia dan utama untuk memperbanyak dzikir, doa, dan istighfar.

Pertama, saat berpuasa hingga berbuka; Nabi Saw bersabda:

 ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﻻَ ﺗُﺮَﺩُّ ﺩَﻋْﻮَﺗُﻬُﻢُ ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺍﻟْﻌَﺎﺩِﻝُ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻔْﻄِﺮَ ﻭَﺩَﻋْﻮَﺓُ ﺍﻟْﻤَﻈْﻠُﻮﻡِ

Ada tiga doa yang tidak tertolak: (1) doa pemimpin yang adil, (2) doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka, (3) doa orang yang terzalimi (HR. Ahmad 8043). Al-Albani: sahih.

Kedua, saat sepertiga malam terakhir:

إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya (HR. Muslim 757).

Ketiga, saat waktu sahur untuk memperbanyak istighfar.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

 Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun (kepada Allah) (QS. Al-Dzariyat: 18). 


(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN pada Bulan Pebruari 2025)

Cium Isteri Sebelum Salat

CIUM ISTERI SEBELUM SALAT Salat

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Kami berdua (suami isteri) sering melakukan persentuhan kulit satu dengan yang lain, di antaranya dengan bersalaman dan berciuman. Hal ini sering kami lakukan saat mau berpamitan atau pas baru datang dari suatu perjalanan, dan terkadang hal ini kami lakukan saat hendak melakukan salat. Ada teman saya yang mengatakan bahwa bersentuhan suami isteri itu dapat membatalkan wudu, sama saja dengan bersentuhan dengan wanita lain yang bukan mahram (yang boleh dinikahi). Melalui rubrik konsultasi Agama MATAN ini kami mohon Pengasuh berkenan membahasnya secara tuntas, dan bagaimana menurut fatwa tarjih Muhammadiyah? Demikian, atas perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsira! (Abdurrahman, Madiun).

Pembahasan:

Masalah hukum menyentuh kulit wanita, apakah membatalkan wudu atau tidak merupakan masalah fikih yang sudah dibahas sejak zaman klasik, namun rasanya masih tetap aktual dan masih sering diperbincangkan oleh masyarakat kita. Pembahasan ini umumnya berangkat dari pemahaman ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 dan al-Nisa ayat 43:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. Al-Maidah, 6 dan Al-Nisa, 43).

            Sebagian ulama memahami kata “laamasa” pada ayat tersebut secara dzahir, yaitu bertemunya antara kulit wanita dengan kulit laki-laki, selain jimak (bersenggama). Dari pemahaman ini mereka kemudian berpendapat bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram yang tanpa penghalang, dapat membatalkan wudu, apakah sengaja atau tidak sengaja, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ibn Mas’ud dan Ibn Umar, kemudian al-Zuhri kalangan Tabi’in, dan Imam Syafii serta para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

            Sebagian ulama yang lain memahami kata “laamasa” ini dengan pengertian jimak (bersenggama). Dengan demikian, persentuan dengan tangan biasa (termasuk mencium), apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat, maka hal itu tidak membatalkan wudu. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ali dan Ibn Abbas, kemudian Atha dan Thawus dari kalangan Tabiin, kemudian Imam Hanafi dan para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

 Di kalangan ulama Empat Madzhab ada tiga pendapat mengenai hukum laki-laki menyentuh wanita (kulit dengan kulit) yang bukan mahramnya. Pertama, menyatakan batal, apakah menyentuh wanita dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafii. Kedua, menyatakan tidak batal, apakah saat menyentuh tadi ada syahwat atau tidak ada syahwat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Hanafi. Ketiga, mengompromikan antara dua pendapat, yaitu tidak batal laki-laki menyentuh wanita apabila saat menyentuh tidak ada syahwat, tetapi bila ada syahwatnya dapat membatalkan wudunya. Pendapat ini didukung oleh Imam Maliki dan Imam Hanbali (Ibn Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/438).

Berikut ini beberapa alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudu:

Imam al-Syafii rahimahullah menjelaskan mengenai firman Allah (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) bahwa yang dimaksudkan adalah bersentuhan kulit dengan tangan, bukan berjimak. Pemahaman ini dengan beberapa alasan, di antaranya Allah telah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “lamsun nisaa’” (menyentuh wanita) dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “lamsun nisaa’” termasuk jenis hadas kecil seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub (Imam al-Syafii, al-Umm, I/15).  

Dalam hadis disebutkan bahwa kata al-lamsu bermakna meraba, yaitu:

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

Zinanya tangan adalah dengan meraba” (HR. Ahmad 8582, II/349). Al-Albani mengatakan hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah 2804, VII/5).

            Selain itu ada keterangan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudu.” (Imam Malik, Muwatha’ Malik 134, II/60, Imam al-Syafii, Musnad al-Syafii 28, I/11). Al-Albani menilai hadis (atsar) ini sahih (al-Albani, Misykat al-Mashabih Li al-Tibrizi 331, I/71).

            Lebih rinci Al-Bujairimi al-Syafii menerangkan dalam Hasyiyahnya:

اِعْلَمْ أَنَّ اللَّمْسَ نَاقِضٌ بِشُرُوطٍ خَمْسَةٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَيْنَ مُخْتَلِفَيْنِ ذُكُورَةٍ وَأُنُوثَةٍ. ثَانِيهَا: أَنْ يَكُونَ بِالْبَشَرَةِ دُونَ الشَّعْرِ وَالسِّنِّ وَالظُّفْرِ. ثَالِثُهَا: أَنْ يَكُونَ بِدُونِ حَائِلٍ. رَابِعُهَا: أَنْ يَبْلُغَ كُلٌّ مِنْهُمَا حَدًّا يُشْتَهَى فِيهِ. خَامِسُهَا: عَدَمُ الْمَحْرَمِيَّةِ.

 Ketahuilah bahwa al-lams termasuk pembatal wudu dengan lima syarat, yaitu: (1) Antara lawan jenis, laki-laki dan wanita; (2) Menyentuh kulit, bukan rambut, gigi, atau kuku; (3) Tanpa penghalang (haa-il); (4) Telah memiliki kecenderungan syahwat; (5) Sesama bukan mahram” (Sulaiman Al-Bujairimi al-Syafii, Hasyiyah al-Bujairimi, I/211).

Adapun beberapa dalil yang digunakan ulama untuk menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu adalah sebagai berikut:

Hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudu, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik menyentuh istri maupun yang selain isteri, yang bukan mahram atau mahram. Berikut di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. al-Bukhari 382).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ   صلى الله عليه وسلم  لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR Muslim 1118).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudu. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan salatnya. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudu, sebagaimana hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ   صلى الله عليه وسلم  قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudu (lagi) (HR. Abu Dâwud 178 dan al-Tirmidzi 86). Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, I/316).

Hadis-hadis tersebut tentunya juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umatnya kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususannya, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau.

Dalam buku Tanya Jawab Agama jilid V hal. 2-3, Fatwa Tarjih Muhammadiyah mengambil sikap setuju atau sefaham dengan pandangan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian di suatu malam di mana ‘Aisyah, istri Nabi saw, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud (Muhammad Bin Yusuf al-Salihi al-Syami, Subul al-Huda Wa al-Rasuad Fi Sirah Khair al-‘Ibad, VIII/146).

Dalam peristiwa lain yang juga termuat dalam Sahih al-Bukhari 382, diterangkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku (Ali Muhammad al-Shalabi, al-Sirah al-Nabawiyah ‘Ard Waqa’i‘ Wa Tahlil Ahdats, IV/234).

Dua peristiwa tersebut bisa menjadi dalil dan dapat dijadikan sebagai contoh konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan kulit laki-perempuan (termasuk suami-isteri) yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu.

Harus difahami bahwa perbedaan pendapat tentang ini sudah terjadi sejak masa Sahabat Nabi saw.  Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jima’, namun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu menyelisihi penafsiran di atas. Ibn Abbas berkata: (kata) mass, lams, mubasyarah (semuanya berarti menyentuh), maksudnya adalah jimak, tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki (Imam al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, VIII/389-393).

Bila dicermati pandangan di atas, maka tampak adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat sendiri. Karena itu kita bisa mengkaji lebih lanjut mengenai pendapat-pendapat yang berbeda tersebut, mana di antara pendapat-pendapat yang mendekati pesan al-Qur’an dan hadis-hadis sahih.

Menurut Tarjih Muhammadiyah, pendapat Sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah adalah pendapat Ibn Abbas ra., karena banyak hadis yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita (termasuk ciuman antara suami-isteri) tidak membatalkan wudu (Tanya Jawab Agama V, hal. 2-3). Wallahu A’lam!

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Januari 2025)

 

 

 

 

 

 

Rabu, 01 Januari 2025

MENGOBROL SAAT MAKAN BERSAMA

 MENGOBROL SAAT MAKAN BERSAMA


Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

            Saat sedang makan bersama, di antara kami ada yang mengajak berbincang-bincang mengenai masalah-masalah ringan yang sedang terjadi. Tak terasa entah berapa lamanya, makan bersama pun selesai. Alhamdulillah. Yang perlu kami tanyakan kepada Pengasuh Konsultasi Agama MATAN adalah mengenai hukum mengobrol saat makan. Bolehkah? Bagaimana menurut tuntunan Rasulullah saw? Demikian, atas perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (A. Zainul, Sidoarjo).

Pembahasan

            Dalam Islam, banyak sekali adab dan aturan yang bertujuan memuliakan kehidupan manusia, termasuk saat makan. Di antara aturan atau adab saat makan adalah (1) mencuci tangan sebelum makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Apabila Nabi saw. hendak makan, beliau mencuci kedua tangannya (HR. al-Nasai 256, disahihkan al-Albani). Selain itu (2) tidak mencela makanan. Dalam hadis (Riwayat al-Bukhari 3563), “Rasulullah saw. tidak pernah mencela makanan, bila suka beliau memakannya dan bila tidak suka, beliau meninggalkannya.

            Selain itu, adab saat makan adalah (3) memulai makan dengan bacaan basmalah; (4) makan dengan menggunakan tangan kanan; dan (5) mengambil makanan yang ada didekatnya. Adab ini berdasarkan hadis dari Umar bin Abi Salamah yang mendapatkan pelajaran dari Nabi saw. agar saat hendak makan terlebih dulu dimulai dengan membaca basmalah, kemudian memakai tangan kanan, dan mengambil hidangan yang dekat dengannya (HR. al-Bukhari 5376 dan Muslim 5388).

            Setelah selesai makan disyariatkan bersyukur dengan memuji kepada Allah, misalnya dengan ucapan atau bacaan:

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ

 Alhamdulillah alladzi kafana wa arwana ghaira makfiyyin wala makfurin (segala puji bagi Allah yang telah mencukupi kami dan menyegarkan kami, bukan nikmat yang tak dianggap dan bukan nikmat yang dikufuri (HR. al-Bukhari 5459).

            Selain adab-adab yang sudah disebutkan di atas, ada juga adab atau prilaku yang dianjurkan, yaitu memuji makanan, meskipun makanannya sederhana dan mengobrol atau bincang-bincang saat sedang makan bersama. Berikut ini di antara beberapa hadisnya:

1.     Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بِلَحْمٍ، فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ، وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ، فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً فَقَالَ: أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Suatu hari Rasulullah saw. diberi hidangan makanan berupa daging, kemudian disuguhkan daging paha untuk beliau. Dan beliau sangat menyukainya. Maka beliau pun menyantapnya. Kemudian beliau bersabda: ‘Aku adalah pemimpin manusia di hari kiamat…'” (HR. al-Bukhari 3340 dan Muslim 194).

2.     Dari Jabir bin Abdillah ra:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ  نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ

Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad saw. meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab: Kami tidak memiliki apa pun kecuali cuka. Nabi pun tetap meminta cuka dan beliau pun makan dengan (campuran) cuka, lalu beliau bersabda: Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka. (HR. Muslim 5473).

Dalam hadis-hadis tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah saw. saat makan bersama sempat mengucapkan kalimat-klaimat sebagai wujud kegembiraannya dan dimaksudkan untuk menghibur serta menghargai orang-orang yang sedang makan, dan penghargaan kepada orang yang memberinya makanan. Imam al-Nawawi dalam mensyarahi hadis tersebut mengungkapkan sebagai berikut:

وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ

Artinya: Dalam hadis tersebut tersirat pemahaman tentang kesunahan (anjuran) berbicara atas makanan untuk menggembirakan orang-orang yang makan (Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ala Muslim, VII/14).

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah materi pembicaraannya, apakah hal-hal yang dibicarakan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, isi pembicaraannya haruslah yang baik, yang ringan-ringan saja seperti masalah menu makanan, cita rasa, resep dan sebagainya. Boleh juga membicarakan kisah atau pengalaman orang salih, orang sukses, dan orang-orang yang patut menjadi teladan. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi telah memberikan penjelasan dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyah sebagai berikut:

بابُ اسْتِحْبَابِ الْكَلاَمِ عَلَى الطَّعاَمِ فِيْهِ حَدِيْثِ جَابِر الَّذِيْ قَدَّمْنَاهُ فِي بَابِ مَدْحِ الطَّعَامِ. قَالَ الْإِمَامُ أَبُوْ حَامِد الْغَزَالِي فِي "الْإِحْيَاءِ": مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ أَنْ يَتَحَدَّثُوْا فِي حَالِ أَكْلِهِ باِلْمَعْرُوْفِ، وَيَتَحَدَّثُوْا بِحِكَايَاتِ الصَّالِحِيْنَ فِي الْأَطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا.

Artinya: Bab kesunahan berbicara atas makanan. Dalam menjelaskan bab ini terdapat hadis Sahabat Jabir yang telah disebutkan di awal dalam bab ‘Memuji makanan’. Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: Sebagian adab makan adalah berbicara pada saat makan dengan pembicaraan yang baik dan bercerita tentang kisah orang-orang salih dalam hal (menyikapi) makanan dan hal-hal lainnya (Imam al-Nawawi, Al-Adzkar al-Nawawiyah, II/ 297).

            Sungguhpun dianjurkan atau disunahkan berbicara atau mengobrol saat makan bersama, sedapat mungkin waktu berbicaranya dilakukan pada saat tidak sedang mengunyah makanan. Sebab bila berbicara pada saat sedang mengunyah makanan, hal ini dikhawatirkan akan membuat makanan yang sedang dikunyah jatuh dan dapat mengganggu kebersihan sekitar hidangan. Syekh al-Zabidi dalam kitabnya Syarah Ihya Ulum al-Din menjelaskan sebagai berikut:

وَلكِنْ لاَ يَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَمْضَغُ اللُّقْمَةَ فَرُبَّمَا يَبْدُوْ مِنْهَا شَيْءٌ فَيَقْذُرُ الطَّعَامَ

akan tetapi (hendaknya) seseorang tidak berbicara saat sedang mengunyah makanan, karena bisa jadi (bicara saat sedang mengunyah) menyebabkan jatuh dari (mulutnya) sedikit makanan dan mengotori makanan yang dimakan (Muhammad bin Muhammad al-Husaini Al-Zabidi, Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin, Juz V/229).  

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka sebaiknya mengobrol atau bincang-bincang saat makan bersama dilakukan pada saat makanan sudah selesai dikunyah dan tidak lagi tersisa makanan dalam mulutnya. Hal ini untuk menghindari agar potongan-potongan makanan yang masih di dalam mulut tidak terjatuh dalam santapan makanannya. 

Dari aspek kesopanan, bicara saat sedang mengunyah memang kurang baik bahkan bisa mengganggu kenyamanan. Karena itu sebisa mungkin suasana mengobrolnya bisa dilakukan di sela-sela makan yang di mulut tidak sedang mengunyah makanan. Tidak ada masalah dengan mengobrol saat makan, asal yang dibahas hal-hal yang baik.  Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:

اَلكَلاَمُ عَلَى الطَّعَامِ كَالكَلاَمِ عَلَى غَيْرِ الطَّعَامِ؛ حَسَنُهُ حَسَنٌ، وَقَبِيحُهُ قَبِيحٌ

“Berbicara pada saat sedang makan, hukumnya seperti berbicara saat di luar makan. Jika pembicaraannya baik, maka dinilai baik. Jika pembicaraannya buruk, maka juga dinilai buruk” (al-Albani, Silsilat al-Huda wa al-Nur, 1/15).

            Ibn al-Jauzi (w.1201 M) mengatakan bahwa termasuk adab saat makan adalah tidak berdiam diri (tidak diam saja) saat makan, melainkan disertai berbicara dengan sesuatu yang baik. Saat makan dianjurkan untuk berbincang-bincang dengan teman-teman lainnya dengan menggunakan percakapan yang baik, serta menceritakan peristiwa atau kisah-kisah yang sesuai dengan keadaan jika mereka tampak kaku, agar mereka merasa lebih rileks dan duduk lebih lama.

            Di kalangan ulama madzhab juga telah membahas perihal bicara saat makan (الكلام على الطّعام).

            Ulama Hanafiyah berpendapat: "Hendaknya saat makan tidak berbicara mengenai hal-hal yang menjijikkan, melainkan membahas kisah-kisah orang salih, karena termasuk adab saat makan adalah berbicara atau mengobrol selama makan. Tidak boleh diam saja, karena diam mutlak adalah kebiasaan orang asing (non-Arab). Dari sinilah muncul ungkapan: 'Berdiam saja saat makan adalah kebiasaan orang bodoh dan hina, bukan kebiasaan para ulama yang mulia”.

Ulama Syafi'iyah berpendapat: "Saat makan disunahkan berbicara dengan hal-hal yang tidak terlarang (yang baik-baik), seperti menceritakan kisah-kisah orang salih saat makan, meskipun lebih baik untuk mengurangi pembicaraan".

Ulama Hanabilah berpendapat: "Dimakruhkan bagi seseorang yang makan bersama orang lain untuk berbicara tentang hal-hal yang menjijikkan, atau membuat mereka tertawa, atau mempermalukan mereka. Dianjurkan berbicara dengan perkataan yang baik selama makan" (Ali bin Nayif al-Syuhud, Mausu’ah Fiqh al- ‘Ibadah, 4).

Ibn al-Muflih al-Maqdisi (w. 1362 M) menyebutkan keterangan Ishaq bin Ibrahim:

تَعَشَّيْتُ مَرَّةً أَنَا وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ وَقَرَابَةٌ لَهُ فَجَعَلْنَا لَا نَتَكَلَّمُ وَهُوَ يَأْكُلُ وَيَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَبِسْمِ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: أَكْلٌ وَحَمْدٌ خَيْرٌ مِنْ أَكْلٍ وَصَمْتٍ. وَلَمْ أَجِدْ عَنْ أَحْمَدَ خِلَافَ هَذِهِ الرِّوَايَةِ صَرِيحًا وَلَمْ أَجِدْهَا فِي كَلَامِ أَكْثَرِ الْأَصْحَابِ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ أَحْمَدَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – اتَّبَعَ الْأَثَرَ فِي ذَلِكَ فَإِنَّ مِنْ طَرِيقَتِهِ وَعَادَتِهِ تَحَرِّي الِاتِّبَاعِ.

Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) ditambah satu orang kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan: “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam”. Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Ibn al-Muflih al-Maqdisi, al-Adab al-Shar’iyah Wa Minah al-Mar’iyah, 3/163).

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa mengobrol saat makan bersama itu dibolehkan, bahkan dianjurkan (disunahkan) demi menciptakan suasana yang rileks, ramah, dan menyenangkan. Yang penting, masalah yang dibicarakan itu adalah sesuatu yang baik, tidak menyinggung perasaan orang lain, dan lebih baik jika yang dibicarakan itu sesuatu yang bisa menginspirasi dan mencerahkan.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2024)