Minggu, 06 April 2025

PERCERAIAN, TAKDIR ATAU PILIHAN?

 PERCERAIAN, TAKDIR ATAU PILIHAN?

          Oleh


       Prof. Dr. H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

             Mohon penjelasan tentang perceraian (al-talaq) dalam Islam. Jika perceraian antara suami dan isteri adalah merupakan salah satu hal yang tidak disukai atau dibenci oleh Allah, lantas mengapa di dalam Islam terdapat peluang untuk melakukan perceraian? Apakah perceraian itu merupakan bagian dari takdir Allah, atau merupakan pilihan dari individunya sendiri? Mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama MATAN berkenan membahasnya dengan jelas. Demikian, atas jawabannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’! (Arif, Lamongan).

Pembahasan

Dalam Islam, pernikahan adalah merupakan ikatan yang kuat untuk menyatukan kedua belah fihak, antara suami-istri. Dalam berkeluarga, diharapkan keduanya (suami-isteri) dapat menempuh hidup bersama dengan tenang (sakinah) dan bisa menjaga keharmonisannya. Islam, sebenarnya telah memberikan motivasi dan pelajaran berharga kepada keduanya (suami-isteri) untuk selalu menjaga ikatan pernikahan, mempertahankannya, mengharmoniskannya, dan terus memeliharanya.  

Sehubungan dengan ini, Allah telah memerintahkan kepada suami untuk berbuat baik kepada istrinya dengan cara yang baik atau patut (cara yang makruf). Allah swt. berfirman:

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. Al-Nisa’, 21).

Ayat tersebut mengandung konsekuensi agar suami berusaha untuk dapat mempertahankan dan menjaga ikatan serta keutuhan keluarganya. Selain itu perlu difahami bahwa memisah ikatan akad nikah (dengan perceraian), hukum asalnya adalah haram atau terlarang.

Sesuai syariat, perceraian memang bisa dilakukan jika mempunyai alasan yang tepat, yaitu tidak bisa melanjutkan lagi kehidupan berumah tangga dan tidak mungkin lagi dilakukan dengan cara perdamaian atau dalam bentuk apa pun yang ditempuh. Sebaliknya, jika tidak ada alasan yang tepat maka usaha untuk melakukan terjadinya perceraian itu dilarang. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ

Bukan termasuk golongan kami orang yang membujuk seorang perempuan untuk memusuhi suaminya atau membujuk seorang budak untuk memusuhi tuannya.” (HR. Abu Daud, no. 2175). Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Al-Targhib wa At-Tarhib, No. 2014).

            Selain itu, termasuk juga yang terlarang adalah meminta cerai tanpa ada sebab yang dibenarkan seperti disebutkan dalam hadis Tsauban, ia pernah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة

Wanita mana pun yang meminta talak (cerai) tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga” (HR. Abu Daud, no. 2226; al-Tirmidzi, no. 1187; Ibnu Majah, no. 2055(. Abu Isa Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Adapun Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, VI/425).

            Dalam kehidupan berumah tangga, peristiwa perceraian adalah salah satu fenomena yang sering menjadi topik diskusi, baik dalam aspek sosial maupun aspek keagamaan. Islam, sebagai agama yang memberikan pedoman lengkap dalam kehidupan manusia, telah mengatur persoalan perceraian dengan arif dan bijaksana. Namun, ada pertanyaan yang sering muncul, yaitu apakah perceraian itu merupakan takdir yang tidak bisa dihindari, ataukah merupakan pilihan yang bisa diambil oleh masing-masing atau salah satu dari pasangan?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dalam pembahasan berikut ini akan mengulas perspektif Islam tentang perceraian dan takdir, apakah perceraian itu sebagai takdir atau merupakan pilihan bagi manusia, dengan landasan dalil-dalil dari Al-Qur'an, al-Hadis, dan pandangan sejumlah ulama.

Perceraian Sebagai Takdir Allah

Islam (baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun al-Hadis) mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, termasuk perceraian, adalah bagian dari takdir Allah swt. Takdir ini mencakup seluruh kejadian yang telah ditentukan oleh Allah dalam Lauh Mahfuz. Dalil dari Al-Qur'an, Allah swt. berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍۢ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah"(QS. Al-Hadid: 22).

            Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu, apa pun termasuk musibah seperti perceraian, sudah ditetapkan dalam takdir Allah. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, IV/377-378) menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut (QS. al-Hadid, 22) adalah bahwa takdir Allah itu mencakup seluruh peristiwa yang terjadi di dunia, di langit dan di bumi, namun manusia tetap memiliki kehendak untuk bertindak.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan)? Rasulullah Saw. bersabda: “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka”. Kemudian Rasulullah Saw. membaca al-Qur’an Surat al-Lail, ayat 5-10:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan)”. HR. al-Bukhari (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).

            Hadis tersebut menjelaskan bahwa sungguhpun Allah telah menakdirkan sesuatu kepada manusia, Allah masih memberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baik. Bisa jadi dengan melakukan sesuatu yang baik itu bisa mengantarkan kepada takdir yang baik baginya.

            Para ulama, seperti Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menjelaskan bahwa adanya takdir Allah bukanlah alasan untuk bersikap pasif. Takdir adalah ketetapan yang sudah Allah tentukan, tetapi manusia diberi kemampuan dan kesempatan untuk berusaha dan mengambil keputusan. Dalam konteks perceraian, Allah mungkin telah menakdirkan sebuah pernikahan untuk berakhir, tetapi manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk berikhtiar memperbaiki hubungan sebelum memilih perceraian.

Perceraian Sebagai Pilihan

Islam juga menegaskan bahwa perceraian adalah hasil dari keputusan yang diambil oleh pasangan. Dalam hal ini, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi tetap harus bertanggung jawab atas pilihannya. Dalil dari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

فَإِمۡسَاكٌۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحٌۢ بِإِحۡسَـٰنٍۗ

"Maka rujuklah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik" (QS. Al-Baqarah: 229).

Ayat ini menunjukkan bahwa perceraian adalah pilihan yang diberikan kepada pasangan. Dalam Tafsir Al-Qurthubi (Juz III/123), disebutkan bahwa keputusan untuk rujuk atau bercerai harus dilakukan dengan bijaksana dan mempertimbangkan kebaikan semua pihak. Dalil dari Hadis, Rasulullah SAW bersabda:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ

"Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Al-Albani menilai bahwa hadis tersebut da’if atau lemah (al-Albani, Irwa al-Ghalil, VII/106).

            Hadis tersebut menegaskan bahwa meskipun perceraian itu diperbolehkan, tetapi hal itu merupakan tindakan yang tidak disukai Allah dan dibenciNya. Oleh karena itu, perceraian seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah semua usaha untuk memperbaiki hubungan gagal dilakukan.

            Sebagai tambahan keterangan, berikut ini adalah pandangan ulama mengenai takdir (qada dan qadar):

1. Imam Al-Ghazali (W. 1111 M)

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin (Juz IV Bab Keimanan) menekankan bahwa takdir Allah meliputi segala sesuatu. Namun, manusia tetap memiliki kebebasan dalam batas kehendak Allah. Menurutnya, ada keseimbangan antara kekuasaan Allah yang mutlak dan kebebasan manusia dalam memilih, sehingga manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya.

2. Al-Syahrastani (W. 1153 M)

Al-Syahrastani menegaskan bahwa pandangan moderat yang dipegang oleh mayoritas Ahlus Sunnah adalah bahwa manusia memiliki usaha (kasb), tetapi kehendak Allah tetap yang menentukan (Al-Milal wa al-Nihal, Bab. Pembahasan Qadariyah dan Jabariyah).

3. Imam Al-Nawawi (W. 1277 M)

Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwa iman kepada takdir adalah bagian dari rukun iman. Dalam Al-Majmu' (Juz 1 Bab Iman), ia menegaskan bahwa manusia wajib berusaha, tetapi hasilnya bergantung pada kehendak Allah.

4. Hujjatul Islam Ibn Taymiyah (W. 1328 M)

Ibn Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (Juz VIII) menjelaskan bahwa takdir Allah itu terbagi menjadi dua. Pertama, takdir mutlak (qada mubram), tidak dapat diubah oleh manusia. Kedua, takdir yang dapat diubah (qada muallaq), bergantung pada usaha dan doa manusia. Ia menekankan pentingnya usaha manusia dalam batas takdir Allah.

Kesimpulan

Perceraian dalam Islam adalah fenomena yang kompleks, yang melibatkan aspek takdir dan pilihan. Sebagai takdir, perceraian adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang tidak dapat dihindari. Namun, sebagai pilihan, perceraian adalah keputusan yang diambil oleh pasangan berdasarkan kehendak bebas mereka.

Islam mengajarkan untuk selalu berusaha memperbaiki hubungan sebelum memilih perceraian. Jika perceraian menjadi satu-satunya jalan keluar, maka prosesnya harus dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai syariat.

Dengan memahami bahwa perceraian adalah gabungan antara takdir dan pilihan, umat Islam diharapkan dapat mengambil keputusan dengan bijak, penuh tanggung jawab, dan tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan rumah tangga.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi April 2025)

SEJARAH SALAT TARAWIH

 SEJARAH SALAT TARAWIH

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan

            Sungguhpun sudah berabad-abad Salat Tarawih diamalkan kaum muslimin, beberapa masalah masih menarik dibahas, antara lain mengenai (1) nama Salat Tarawih itu mulai kapan dikenal; (2) Nabi sendiri biasanya berapa rakaat Salat Tarawihnya; (3) dan mengapa di Masyarakat kita ada perbedaan jumlah rakaat dalam Salat Tarawih, ada yang 11 dan ada yang 23 rakaat. Bagaimana sejarahnya? Melalui majalah MATAN ini, mohon pengasuh Konsultasi Agama berkenan memberikan penjelasan dan pencerahannya. Demikian, terima kasih atas perkenannya. Jazakumullah khairal jaza’ (Fikri, Tulangan Sidoarjo).

Jawaban

            Secara bahasa, tarawih (تراويح) atau tarwihat (ترويحات) merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah (ترويحة), yang secara harfiyah berarti istirahat. Maksudnya ialah istirahat di antara rangkaian salat malam di bulan Ramadan setelah dikerjakan empat rakaat (لاستراحة الناس بعد أربع ركعات بالجلسة).  Hal ini dikarenakan ulama dulu mengerjakan Salat Tarawih secara bertahap. Pertama mengerjakan salat empat rakaat kemudian duduk dan istirahat melepaskan lelah. Kemudian mereka mengerjakan empat rakaat lagi lalu duduk dan istirahat lagi. Istirahat-istirahat di antara rangkaian empat rakaat salat itu disebut tarawih (Badr al-Din al- ‘Aini, Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, XVII/150).

            Dalam perkembangan berikutnya, istilah tarawih/tarwihat digunakan untuk menyebut rangkaian salat yang empat rakaat dalam salat malam Ramadan. Ibn Abi Syaibah (w.235 H/849 M) misalnya meriwayatkan pernyataan Wiqa’ bahwa Said bin Jubair (w.95 H/714 M) salat mengimami jamaahnya di bulan Ramadan sebanyak enam tarwihat (6x4 yakni 24 rakaat tidak termasuk witir, pada dua puluh malam pertama), dan apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau iktikaf di masjid dan salat mengimami jamaahnya tujuh tarwihat, 7x4 yakni dua puluh delapan rakaat selain witir (Ibn Abi Syaibah, al-Musannaf Fi al-Ahadis Wa al-Asar, III/395).

            Di masa kita sekarang ini, istilah tarawih sering digunakan untuk menyebut nama salat malam atau qiyam Ramadan yang meliputi seluruh jumlah rakaatnya, termasuk witirnya. Sebagai misal dikatakan bahwa Salat Tarawih di sejumlah masjid dilakukan sebanyak sebelas (11) rakaat, sementara di masjid-masjid yang lain dilakukan sebanyak dua puluh tiga (23) rakaat.

Pada masa Nabi saw., istilah Salat Tarawih belum dikenal. Demikian juga pada masa sahabat dan tabiin juga belum populer digunakan. Sebagai bukti, dalam kitab al-Muwatta karya Imam Malik (w.179 H/795 M) dan juga kitab al-Umm karya Imam al-Syafii (w. 204 H/820 M) belum ada kalimat atau istilah mengenai Salat Tarawih. Imam Malik dalam al-Muwatta’ menggunakan istilah Qiyam Ramadan, sementara Imam al-Syafii dalam al-Umm menggunakan istilah Qiyam Syahr Ramadan (Malik, al-Muwatta’, II/157 dan al-Syafii, al-Umm, II/150).

Secara jelas penggunaan frasa “Salat Tarawih” untuk menunjukkan salat malam atau qiyam Ramadan baru ditemukan pada abad ke-5 H, seperti yang disebutkan dalam kitab al-Sunan al-Kibra karya al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M). Adapun kata “tarawih” tanpa digandengkan dengan kata “salat” sudah banyak digunakan pada abad ke-3 H, dan umumnya mengacu kepada rangkaian empat rakaat salat malam. Selain itu, kata tarawih terkadang juga dimaksudkan untuk ungkapan qiyam Ramadan. Al-Fakihani (w. 272-279 H) dalam karyanya (Akhbar Makkah, II/154) menggambarkan suasana salat malam Ramadan di Masjid al-Haram: “Apabila imam telah selesai dari tarawih (فَإِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنَ التَّرَاوِيحِ), maka pintu-pintu masjid dijaga dan kaum perempuan dipersilakan keluar lebih dulu sampai habis. Kata tarawih di sini yang dimaksud adalah salat malam atau qiyam Ramadan.

Mengenai istilah “Kitab Salat al-Tarawih” yang ada dalam Kitab Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M) diduga tidak ditulis oleh Imam al-Bukhari sendiri, tetapi oleh penyalinnya kemudian, karena hal ini hanya terdapat dalam manuskrip al-Mustamli (w. 376 H/987 M) saja, tidak ada pada manuskrip-manuskrip yang lain (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IV/250).

Jumlah Rakaat Nabi Dalam Salat Tarawih

Sebelumnya telah diterangkan bahwa pada zaman Rasulullah istilah Salat Tarawih belum dikenal. Istilah yang dikenal adalah salat al-lail atau qiyam Ramadan. Semua bentuk ibadah sunah yang dilaksanakan pada malam hari, lebih dikenal dengan sebutan qiyam Ramadhan.

Salat Tarawih atau qiyam Ramadan dicontohkan oleh Rasulullah pertama sekali pada bulan Ramadan tahun kedua Hijriyah. Pada masa itu, Rasulullah terkadang mengerjakannya di masjid dan terkadang di rumah. Dalam hadis Riwayat Muslim disebutkan: “Pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah salat di Masjid, lalu diikuti beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (Salat Tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian”. Kata perawi: “Itu terjadi pada bulan Ramadan” (HR. Muslim, No 1270).

            Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Nabi pernah menjadi imam dalam Salat Tarawih atau qiyam Ramadan di masjid. Hanya pelaksanaannya sekitar tiga malam saja, selebihnya beliau salat di rumah. Alasannya, beliau khawatir kalau Salat Tarawih itu menjadi salat yang diwajibkan bagi umatnya. Dalam hadis tersebut tidak disebutkan berapa jumlah rakaatnya.

            Terkait jumlah rakaatnya, disebutkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi biasa Salat Tarawih 11 rakaat. Dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah ra, “Bagaimana salat Nabi Muhammad di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab:

مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا  

 “Rasulullah tidak menambah pada bulan Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, lantas salat empat rakat lagi, jangan ditanya betapa bagus dan lamanya, kemudian tiga rakaat…” (HR Bukhari 1147 dan Muslim 1757).

            Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah melaksanakan Salat Tarawih dengan 4-4-3. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis tersebut tentang salat witir. Hal ini tidak benar, karena dalam hadis tersebut Abu Salamah menanyakan tentang salat Nabi di bulan Ramadan. Al-Albani mengatakan bahwa takwil ini lemah, sekedar mendukung madzhab (al-Albani, Salat al-Tarawih, 34-35).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al-Baihaqi, al-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah  salat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, maka sanad hadis itu da’if dan bertentangan dengan hadis dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa salat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at. ‘Aisyah tentu lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah pada waktu malam daripada yang lainnya. Al-Mizzi bahkan mengatakan hadis (Nabi qiyam Ramadan 20 rakaat) itu munkar (al-Asqalani, Fath al-Bari, IV/254; al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, II/149).

Asal-Usul Tarawih 11, 23, dan 39 Rakaat

            Dalam paparan sebelumnya diterangkan bahwa pada zaman Nabi praktik Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat. Praktik sebelas rakaat di zaman Nabi ini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar. Sahabat yang bergelar Al-Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan Salat Tarawih dengan satu imam, Ubay Bin Ka’b (Ibn Kasir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, VII/47; Ahmad al-Bakri, Umar Ibn al-Khattab, I/100).

            Mengenai berapa bilangan rakaat dalam Salat Tarawih pada masa Umar bin Khattab, ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan 11 rakaat, sedangkan yang kedua mengatakan 23 rakaat. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang bisa dijadikan sandaran.

            Bagi ulama yang berpendapat bahwa masa Umar Salat Tarawih dilakukan 11 rakaat berdasarkan hadis riwayat Imam Malik dalam “Al-Muwatta” (II/159 No. 379) dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid, beliau menuturkan bahwa “Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Al-Dari untuk mengimami manusia (Salat Tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan: “Dan kala itu, seorang qari (imam) biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar salat menjelang fajar” (HR. Malik No.379).

            Dari penulusurannya, ulama ini menyatakan bahwa tidak ditemukan riwayat bahwa Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu. Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.

            Adapun ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor Salat Tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H/1401 M). Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh. Ia mengambil hadis dari Yazid bin Khusaifah, dari Saib bin Yazid, ia mengatakan: “Mereka melakukan qiyam Ramadan pada masa Umar bin Khattab sebanyak 20 rakaat. Ia mengatakan, mereka membaca ratusan ayat (HR. al-Baihaqi No. 4801).

Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah tersebut (tarawih 20 rakaat masa Umar) itu valid, hal tersebut dapat dipahami dua hal. Pertama, menunjukkan bahwa pada masa Umar telah dipraktikkan Salat Tarawih 20 rakaat. Kedua, bisa menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk mengubah Salat Tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw dari sebelas rakaat menjadi dua puluh rakaat.

Al-Subki (756 H/1355 M) menyatakan: “Saya melihat berbagai asar atau Riwayat dalam Sunan Sa’id Bin Mansur tentang Salat Tarawih 20 rakaat dan 36 rakaat, tetapi semuanya berasal dari zaman sesudah Umar bin Khattab” (al-Subki, al-Ibtihaj, 696). Dari sini terjadi kontroversi mengenai kapan Salat Tarawih 20 rakaat itu dimulai apakah sejak zaman Umar atau sesudahnya.

Ada dua ulama yang kontroversi pendapatnya. Ibn Abd al-Barr (w.463 H/1071 M) mengatakan: “….ini semua membuktikan bahwa Riwayat 11 rakaat adalah keliru dan salah. Yang benar adalah Riwayat 23 rakaat (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, V/156). Sebaliknya Ibn al-‘Arabi (w.543 H/1148 M) mengatakan bahwa bilangan Salat Tarawih selain 11 rakaat tidak ada dasarnya (Ibn al-‘Arabi, Aridat al-Ahwadzi, IV/19).

Bisa jadi Salat Tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M). Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, Salat Tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, 57; Ibn al-Mulaqqin, al-Taudih LiSyarh al-Jami al-Sahih, III/558).

 Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktikkan Salat Tarawih di Masjid Nabawi dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir. Pelaksanaannya dua tahap: dua puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya (Abu Zur’ah al-‘Iraqi, Tarh al-Tasrif Fi Syarh al-Taqrib, III/98). Sebelum ini diduga praktik Salat Tarawih sebanyak 20 rakaat selain witir.

Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, Salat Tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakat (Syamsul Anwar, Salat Tarawih, 99).

Keterangan ini menunjukkan bahwa praktik Salat Tarawih dari masa ke masa mengalami dinamika. Ibn Taymiyah dalam al-Fatawa al-Kubra mengatakan bahwa Nabi melakukan salat malam dan witirnya (Salat Tarawih) di bulan Ramadan dan di luar Ramadan sebanyak 11 atau 13 rakaat dengan waktu yang lama, kemudian untuk meringankan beban, pada masa Umar bin al-Khattab salatnya ditambah menjadi 20 rakaat sebagai ganti lamanya berdiri. Sebagian salaf ada yang mengerjakannya 40 rakaat ditambah witir 3 rakaat, dan sebagian yang lain mengerjakannya 36 rakaat ditambah witir (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, II/254).

Begitulah sejarah singkat perjalanan Salat Tarawih dan aneka ragamnya dari masa ke masa hingga kini. Apabila kita harus memilih praktik qiyam Ramadan (tarawih) mana yang perlu dicontoh, tentu praktik pada masa Nabi yang perlu kita contoh, karena dalam masalah salat kita diperintahkan agar mengikuti contoh Nabi . Nabi bersabda: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat cara saya salat” (HR. al-Bukhari No. 6008). Wallahu A’lam!

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Maret 2025)

Selasa, 25 Februari 2025

Amal Utama Di Bulan Ramadan

 AMALAN UTAMA

DI BULAN RAMADAN

 

Oleh:


DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Sudah maklum, Ramadan adalah bulan yang sangat mulia dan istimewa. Karena itu sungguh beruntung orang yang bisa memanfaatkannya untuk beramal sebanyak dan sebaik mungkin. Melalui rubrik konsultasi Agama, mohon Pengasuh berkenan mengulas dan membahas amalan apa saja yang sebaiknya diprioritaskan di bulan Ramadan. Atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Kasih, Sidoarjo).

Pembahasan:

Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis dapat diketahui, setidaknya, ada tujuh amalan utama yang bisa diamalkan di bulan Ramadan, yaitu berpuasa (al-shaum), qiyam Ramadan (salat tarawih), tadarus al-Qur’an, bersadaqah, umrah, iktikaf dan memburu lailatul qadar, serta memperbanyak dzikir, doa dan istighfar.

1.    Berpuasa (al-Shaum).

Amalan terpenting pada bulan Ramadan adalah shaum atau shiyam (berpuasa). Perintah berpuasa ini termaktub dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa (QS. al-Baqarah, 183).

Tentang keutamaan berpuasa, Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. al-Bukhari 1802 dan Muslim 760).

Pahala besar ini akan diberikan kepada orang yang berpuasa tidak sekedar meninggalkan makan dan minum. Jabir bin Abdillah berkata:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ، وبَصَرُكَ، وَلِسَانُكَ، عَنِ الْكَذِبِ، وَالْمَحَارِمِ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصَوْمِكَ سَوَاء

Jika Anda berpuasa, maka puasakan juga pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari dusta dan hal-hal lain yang dilarang. Tinggalkan perbuatan yang dapat menyakiti pelayan, dan bersikaplah yang lembut dan tenang pada hari puasamu. Jangan samakan antara hari saat berpuasamu dan saat tidak berpuasa (HR. al-Baihaqi 3374 dan Ibn Aby Syaibah 8880).

2.  Qiyam Ramadan (Salat al-Tarawih)

Ulama sepakat bahwa Qiyamu Ramadaan (Salat Tarwih) itu disyariatkan. Nabi saw. menganjurkan agar selama Ramadan kita menghidupkan malam-malamnya dengan salat tersebut. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. menganjurkan (salat) qiyam Ramadan kepada para shahabat, tanpa perintah wajib. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan (salat) qiyam Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (HR. Muslim 1816).

Dalam melaksanakan Qiyam Ramadan, hendaklah mencontoh tata cara salat Nabi saw., baik mengenai jumlah rakaatnya maupun tata-caranya. Nabi melaksanakan Qiyamu Ramadan sebanyak 11 rakaat dengan cara-cara yang bervariasi. Di antaranya dengan jumlah rakaat 4+4+3 atau 2+2+2+2+3. Dasarnya Hadis berikut ini:

 عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا  

Dari Abu Salamah bahwasanya Aisyah ra. ketika ditanya tentang salat Nabi di bulan Ramadan, Aisyah berkata: pada bulan Ramadan maupun yang lainnya, Nabi tidak pernah melakukan salat lebih dari sebelas rakaat. Nabi saw. kerjakan empat rakaat, jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi empat rakaat dan jangan engkau tanyakan tentang elok dan lamanya. Lalu Nabi kerjakan salat tiga rakaat (HR. al-Bukhari 2013 dan Muslim 1757).

Boleh juga dengan cara 2+2+2+2+2+1. Dasarnya Hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ - وَهِىَ الَّتِى يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ - إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلإِقَامَةِ.

Dari ‘Aisyah isteri Nabi saw, dia berkata; Rasulullah saw. pernah salat antara habis salat isya yang biasa disebut ‘atamah hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika muazin salat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muazin telah menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali rakaat ringan, kemudian beliau berbaring di atas lambung sebelah kanan hingga datang muazin untuk iqamat (HR. Muslim 1752).

3. Tadarus al-Qur’an

            Dalam sebuah Hadis dijelaskan bahwa setiap Ramadan Rasulullah saw. melakukan tadarus al-Qur’an bersama Jibril:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ (أَجْوَدَ) مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ  

Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan Ramadan. Ketika ditemui oleh Malaikat Jibril, yakni pada setiap malam Ramadan, maka ia mengajaknya membaca dan mempelajari al-Qur’an (HR. al-Bukhari 4711 dan Muslim 2307).

Oleh karena itu pada bulan Ramadan, umat Islam sedapat mungkin bisa berinteraksi dengan al-Qur’an untuk meraih keberkahan hidup dan menuju umat yang terbaik dengan mau membacanya, memahaminya, mengamalkannya dan mengajarkannya.

4. Sadaqah dan Zakatul Fitri

Dalam Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra. diberitakan bahwa:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ (أَجْوَدَ) مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ  

 Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan di antara manusia lainnya, dan beliau semakin dermawan saat di bulan Ramadan (HR. al-Bukhari 4711 dan Muslim 2307).

Salah satu bentuk sadaqah yang dianjurkan selama Ramadan adalah memberikan ifthar (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, Nabi saw. bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ أَوْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّائِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barangsiapa memberi ifthar kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut (HR. Ahmad 21676, al-Tirmidzi 807 dan Ibnu Majah 1746). Al-Albani: Hadis ini sahih (Sahih al-Jami’al-Shaghir, II/1095).

            Selain itu juga ada sadaqah wajib berupa zakatul fitri:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ الرَّفَثِ وَاللَّغْوِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

 Rasulullah saw. mewajibkan zakatul fitri sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia, dan ucapan tidak baik, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum salat hari raya maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah salat hari raya maka termasuk sedekah biasa (HR. Abu Daud 1611). Al-Albani: hasan.

5. Iktikaf dan Memburu Lailatul Qadar

Termasuk amalan yang dicontohkan Nabi saw. di bulan Ramadan adalah beriktikaf di masjid. Dalam sebuah Hadis disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه.

Aisyah ra. menerangkan bahwa Nabi saw. beriktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri beliau pun beriktikaf setelah kepergian beliau (HR. al-Bukhari 2016 dan Muslim 1172).

Nabi saw. juga menyuruh sahabatnya agar memburu lailatul qadar dengan sabdanya:

إِنِّى أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّى نَسِيتُهَا - أَوْ أُنْسِيتُهَا - فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ

Sesungguhnya aku telah melihat lailatul qadar, saya lupa (kapan kajadiannya) atau aku sengaja dibuat lupa (oleh Allah). Karena itu maka carilah (burulah) lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir pada tanggal yang ganjil (HR. Muslim 2829).

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca? Beliau menjawab, “Ucapkan:

اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ، فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku (HR. Ahmad 25384, dan al-Tirmidzi 3513, disahihkan Al-Albani).

6. Umrah

Rasulullah saw. pernah menganjurkan kepada seorang wanita Ansar (Ummu Sinan) yang tidak sempat berhaji bersama beliau agar berumrah Ramadan:

Dari Ibnu Abbas ra, dikatakan bahwa ketika Rasulullah saw. pulang dari hajinya, beliau berkata kepada seorang wanita Ansar (Ummi Sinan): “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor unta yang dipakai untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi tanaman”. Nabi bersabda: “Apabila datang Ramadan, berumrahlah,

 فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِي.

Karena sesungguhnya umrah di bulan Ramadan menyamai ibadah haji bersamaku (HR. al-Bukhari 1863). 

7. Memperbanyak dzikir, doa dan istighfar

Sesungguhnya Ramadan adalah waktu yang mulia dan utama untuk memperbanyak dzikir, doa, dan istighfar.

Pertama, saat berpuasa hingga berbuka; Nabi Saw bersabda:

 ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﻻَ ﺗُﺮَﺩُّ ﺩَﻋْﻮَﺗُﻬُﻢُ ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺍﻟْﻌَﺎﺩِﻝُ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻔْﻄِﺮَ ﻭَﺩَﻋْﻮَﺓُ ﺍﻟْﻤَﻈْﻠُﻮﻡِ

Ada tiga doa yang tidak tertolak: (1) doa pemimpin yang adil, (2) doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka, (3) doa orang yang terzalimi (HR. Ahmad 8043). Al-Albani: sahih.

Kedua, saat sepertiga malam terakhir:

إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya (HR. Muslim 757).

Ketiga, saat waktu sahur untuk memperbanyak istighfar.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

 Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun (kepada Allah) (QS. Al-Dzariyat: 18). 


(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN pada Bulan Pebruari 2025)

Cium Isteri Sebelum Salat

CIUM ISTERI SEBELUM SALAT Salat

 

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Kami berdua (suami isteri) sering melakukan persentuhan kulit satu dengan yang lain, di antaranya dengan bersalaman dan berciuman. Hal ini sering kami lakukan saat mau berpamitan atau pas baru datang dari suatu perjalanan, dan terkadang hal ini kami lakukan saat hendak melakukan salat. Ada teman saya yang mengatakan bahwa bersentuhan suami isteri itu dapat membatalkan wudu, sama saja dengan bersentuhan dengan wanita lain yang bukan mahram (yang boleh dinikahi). Melalui rubrik konsultasi Agama MATAN ini kami mohon Pengasuh berkenan membahasnya secara tuntas, dan bagaimana menurut fatwa tarjih Muhammadiyah? Demikian, atas perkenannya kami sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsira! (Abdurrahman, Madiun).

Pembahasan:

Masalah hukum menyentuh kulit wanita, apakah membatalkan wudu atau tidak merupakan masalah fikih yang sudah dibahas sejak zaman klasik, namun rasanya masih tetap aktual dan masih sering diperbincangkan oleh masyarakat kita. Pembahasan ini umumnya berangkat dari pemahaman ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 dan al-Nisa ayat 43:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. Al-Maidah, 6 dan Al-Nisa, 43).

            Sebagian ulama memahami kata “laamasa” pada ayat tersebut secara dzahir, yaitu bertemunya antara kulit wanita dengan kulit laki-laki, selain jimak (bersenggama). Dari pemahaman ini mereka kemudian berpendapat bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram yang tanpa penghalang, dapat membatalkan wudu, apakah sengaja atau tidak sengaja, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ibn Mas’ud dan Ibn Umar, kemudian al-Zuhri kalangan Tabi’in, dan Imam Syafii serta para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

            Sebagian ulama yang lain memahami kata “laamasa” ini dengan pengertian jimak (bersenggama). Dengan demikian, persentuan dengan tangan biasa (termasuk mencium), apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat, maka hal itu tidak membatalkan wudu. Pendapat ini didukung oleh Sahabat Ali dan Ibn Abbas, kemudian Atha dan Thawus dari kalangan Tabiin, kemudian Imam Hanafi dan para pendukungnya (Atiyah Muhammad Shaqr, Fatawa Atiyah Shaqr, 64).

 Di kalangan ulama Empat Madzhab ada tiga pendapat mengenai hukum laki-laki menyentuh wanita (kulit dengan kulit) yang bukan mahramnya. Pertama, menyatakan batal, apakah menyentuh wanita dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafii. Kedua, menyatakan tidak batal, apakah saat menyentuh tadi ada syahwat atau tidak ada syahwat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Hanafi. Ketiga, mengompromikan antara dua pendapat, yaitu tidak batal laki-laki menyentuh wanita apabila saat menyentuh tidak ada syahwat, tetapi bila ada syahwatnya dapat membatalkan wudunya. Pendapat ini didukung oleh Imam Maliki dan Imam Hanbali (Ibn Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/438).

Berikut ini beberapa alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudu:

Imam al-Syafii rahimahullah menjelaskan mengenai firman Allah (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) bahwa yang dimaksudkan adalah bersentuhan kulit dengan tangan, bukan berjimak. Pemahaman ini dengan beberapa alasan, di antaranya Allah telah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “lamsun nisaa’” (menyentuh wanita) dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “lamsun nisaa’” termasuk jenis hadas kecil seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub (Imam al-Syafii, al-Umm, I/15).  

Dalam hadis disebutkan bahwa kata al-lamsu bermakna meraba, yaitu:

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

Zinanya tangan adalah dengan meraba” (HR. Ahmad 8582, II/349). Al-Albani mengatakan hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah 2804, VII/5).

            Selain itu ada keterangan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudu.” (Imam Malik, Muwatha’ Malik 134, II/60, Imam al-Syafii, Musnad al-Syafii 28, I/11). Al-Albani menilai hadis (atsar) ini sahih (al-Albani, Misykat al-Mashabih Li al-Tibrizi 331, I/71).

            Lebih rinci Al-Bujairimi al-Syafii menerangkan dalam Hasyiyahnya:

اِعْلَمْ أَنَّ اللَّمْسَ نَاقِضٌ بِشُرُوطٍ خَمْسَةٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ بَيْنَ مُخْتَلِفَيْنِ ذُكُورَةٍ وَأُنُوثَةٍ. ثَانِيهَا: أَنْ يَكُونَ بِالْبَشَرَةِ دُونَ الشَّعْرِ وَالسِّنِّ وَالظُّفْرِ. ثَالِثُهَا: أَنْ يَكُونَ بِدُونِ حَائِلٍ. رَابِعُهَا: أَنْ يَبْلُغَ كُلٌّ مِنْهُمَا حَدًّا يُشْتَهَى فِيهِ. خَامِسُهَا: عَدَمُ الْمَحْرَمِيَّةِ.

 Ketahuilah bahwa al-lams termasuk pembatal wudu dengan lima syarat, yaitu: (1) Antara lawan jenis, laki-laki dan wanita; (2) Menyentuh kulit, bukan rambut, gigi, atau kuku; (3) Tanpa penghalang (haa-il); (4) Telah memiliki kecenderungan syahwat; (5) Sesama bukan mahram” (Sulaiman Al-Bujairimi al-Syafii, Hasyiyah al-Bujairimi, I/211).

Adapun beberapa dalil yang digunakan ulama untuk menyatakan bahwa menyentuh wanita yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu adalah sebagai berikut:

Hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudu, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik menyentuh istri maupun yang selain isteri, yang bukan mahram atau mahram. Berikut di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. al-Bukhari 382).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ   صلى الله عليه وسلم  لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR Muslim 1118).

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudu. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan salatnya. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudu, sebagaimana hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ   صلى الله عليه وسلم  قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudu (lagi) (HR. Abu Dâwud 178 dan al-Tirmidzi 86). Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, I/316).

Hadis-hadis tersebut tentunya juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umatnya kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususannya, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau.

Dalam buku Tanya Jawab Agama jilid V hal. 2-3, Fatwa Tarjih Muhammadiyah mengambil sikap setuju atau sefaham dengan pandangan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah, suatu peristiwa menarik perhatian di suatu malam di mana ‘Aisyah, istri Nabi saw, kehilangan sang suami dari tempat tidur. Dalam pencariannya, ia merabanya dan secara fisik merasakan kaki Nabi yang sedang sujud (Muhammad Bin Yusuf al-Salihi al-Syami, Subul al-Huda Wa al-Rasuad Fi Sirah Khair al-‘Ibad, VIII/146).

Dalam peristiwa lain yang juga termuat dalam Sahih al-Bukhari 382, diterangkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang salat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku (Ali Muhammad al-Shalabi, al-Sirah al-Nabawiyah ‘Ard Waqa’i‘ Wa Tahlil Ahdats, IV/234).

Dua peristiwa tersebut bisa menjadi dalil dan dapat dijadikan sebagai contoh konkret dalam mendukung pandangan bahwa persentuhan kulit laki-perempuan (termasuk suami-isteri) yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudu.

Harus difahami bahwa perbedaan pendapat tentang ini sudah terjadi sejak masa Sahabat Nabi saw.  Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jima’, namun Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu menyelisihi penafsiran di atas. Ibn Abbas berkata: (kata) mass, lams, mubasyarah (semuanya berarti menyentuh), maksudnya adalah jimak, tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki (Imam al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, VIII/389-393).

Bila dicermati pandangan di atas, maka tampak adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat sendiri. Karena itu kita bisa mengkaji lebih lanjut mengenai pendapat-pendapat yang berbeda tersebut, mana di antara pendapat-pendapat yang mendekati pesan al-Qur’an dan hadis-hadis sahih.

Menurut Tarjih Muhammadiyah, pendapat Sahabat yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah adalah pendapat Ibn Abbas ra., karena banyak hadis yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita (termasuk ciuman antara suami-isteri) tidak membatalkan wudu (Tanya Jawab Agama V, hal. 2-3). Wallahu A’lam!

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Januari 2025)