HUKUM PAKAI MASKER SAAT IHRAM
Oleh
Permasalahan:
Saat kami menunaikan ibadah haji
dan umrah, salah seorang petugas haji menjelaskan bahwa pada saat sedang ihram
haji atau umrah tidak diperbolehkan memakai masker. Sementara di lapangan
banyak orang yang saat berihram haji atau umrah masih memakai masker, baik dari
kaum laki-laki maupun perempuan. Melalui rubrik konsultasi agama ini, kami
memohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai hukum pakai masker saat
ihram lengkap dengan dalil-dalinya. Atas perkenannnya, kami sampaikan banyak
terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Yuni, Sukodono
Sidoarjo).
Pembahasan:
Ihram (Arab: إحرام Ihrām) adalah keadaan seseorang
yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Orang yang sedang melakukan ihram disebut
dengan istilah "muhrim". Pada saat seseorang sudah dalam
suasana ihram, maka berlaku aturan mengenai larangan-larangan yang harus dijaga
atau dihindari selama dalam keadaan ihram. Ihram merupakan rukun haji dan umrah
yang pertama. Setiap calon jamaah haji atau umrah harus melaksanakan ihram saat
memasuki miqat (tempat memulainya untuk ihram haji atau umrah).
Di
antara larangan-larangan yang harus dihindari saat ihram haji atau umrah bagi
kaum laki-laki adalah tidak boleh memakai
baju, imamah (penutup kepala), celana, burnus (baju yang ada penutup kepala), dan
sepatu. Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan
hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan
tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantek). Dalam beberapa
hadis disebutkan sbb:
Dari Ibnu Umar ra. bahwa ada seseorang bertanya
kepada Nabi saw.: ‘Ya Rasulullah, pakaian apa yang harus dikenakan
orang yang ihram?’ jawab Nabi saw.:
لاَ يَلْبَسُ
الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ
الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ،
وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ
شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ
Tidak boleh memakai baju, atau imamah (penutup kepala), atau celana,
atau burnus (baju yang ada penutup kepala), atau sepatu. Kecuali orang yang
tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan hendaknya dia potong
hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan tidak boleh memakai kain
yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantex) (HR. al-Bukhari 1468 dan Muslim 2848).
Riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari dari Ibn
Umar, ada tambahan bagi kaum wanita:
وَلاَ تَنْتَقِبِ
الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos
tangan (HR. al-Bukhari
1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).
Kemudian,
hadis dari Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang yang terjatuh dari untanya
hingga meninggal ketika ihram. Kemudian Nabi saw. berpesan:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِى ثَوْبَيْهِ وَلاَ تُخَمِّرُوا
رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا
Mandikan dengan
air dan daun bidara, kafani dengan dua kainnya (kain ihram), jangan kalian
tutupi kepalanya, tidak pula wajahnya. Karena dia akan dibangkitkan pada hari
kiamat sambil bertalbiyah (HR. Muslim 2953).
Berdasarkan
beberapa hadis tersebut, ulama berbeda pendapat tentang hukum boleh atau tidaknya
orang yang sedang ihram memakai penutup wajah termasuk pakai
masker. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Masker bagi laki-laki yang sedang ihram
Pendapat pertama,
orang yang ihram tidak boleh menutupi wajah dan kepala. Jika seseorang terpaksa
harus menutupi wajah atau kepala, karena sakit atau gangguan lainnya, maka dia
wajib membayar fidyah berupa puasa, sedekah makanan, atau meyembelih hewan,
sebagaimana yang Allah sebutkan di surat al-Baqarah, 196. Ini merupakan
pendapat Malikiyah dan Hanafiyah.
Alasan
pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. melarang
para wanita memakai cadar ketika ihram (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya). Jika wanita
yang lebih membutuhkan penutup wajah tidak diperbolehkah menutup wajahnya,
tentu laki-laki lebih terlarang untuk menutup wajah. Alasan kedua adalah hadis
Ibnu Abbas, di mana Nabi saw. melarang menutup kepala dan wajah jenazah yang meninggal
saat sedang ihram (HR.
Muslim 2953).
Syaikh al-Dardir (al-Maliki) dalam al-Syarh
al-Kabir, mengatakan:
وَحَرُمَ
عَلَى الرَّجُلِ سَتْرُ وَجْهٍ كُلًّا، أَوْ
بَعْضًا أَوْ رَأْسٍ كَذَلِكَ بِمَا يُعَدُّ سَاتِرًا كَطِينٍ فَأَوْلَى غَيْرُهُ
كَقَلَنْسُوَةٍ فَالْوَجْهُ وَالرَّأْسُ يُخَالِفَانِ سَائِرَ الْبَدَنِ إذْ
يَحْرُمُ سَتْرُهُمَا بِكُلِّ مَا يُعَدُّ سَاتِرًا مُطْلَقًا
Haram bagi
lelaki (yang ihram) untuk menutup wajahnya semuanya atau sebagian, demikian
pula kepalanya, dengan sesuatu yang dianggap penutup, terlebih yang lainnya,
seperti peci. Wajah dan kepala berbeda dengan anggota badan yang lain, di mana
dua bagian ini haram untuk ditutupi dengan semua benda yang bisa dianggap penutup
(al-Dardir, al-Syarh al-Kabir, II/55).
Kemudian
Burhanuddin (al-Hanafi) dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah, menerangkan:
وَلَا
يُغَطِّي وَجْهَهُ وَلَا رَأْسَهُ لِقَوْلِهِ
عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ
وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا قَالَهُ فِي مُحْرِمٍ تُوُفِّيَ ،
وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُغَطِّي وَجْهَهَا مَعَ أَنَّ فِي الْكَشْفِ فِتْنَةٌ
فَالرَّجُلُ بِالطَّرِيقِ الْأَوْلَى.
Tidak boleh
menutupi wajah dan kepalanya, berdasarkan sabda Nabi saw.: “Jangan menutupi
wajahnya dan kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan
bertalbiyah”. Beliau sabdakan ini terkait orang yang meninggal saat sedang ihram.
Alasan lainnya, karena wanita tidak boleh menutupi wajahnya, padahal membuka
wajah wanita bisa menjadi sumber fitnah. Sehingga laki-laki, lebih layak untuk
dilarang (Burhanuddin,
al-Hidayah Syarh al-Bidayah, I/138-139).
Mengingat
penutup wajah termasuk larangan ihram, maka orang yang mengenakan menutup wajah
karena kebutuhan mendesak, dia berkewajiban membayar fidyah.
Pendapat kedua, lelaki
yang ihram boleh menutup wajah dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini
merupakan pendapat mayoritas ulama, di antaranya ulama madzhab Syafii dan madzhab
Hambali. Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. di atas, di mana Nabi saw.
menyebut dengan rinci pakaian yang dilarang dalam ihram. Namun dalam daftar larangan
yang beliau sebutkan, tidak ada penutup wajah. Sementara tradisi menutup
wajah biasa dilakukan masyarakat kawasan padang pasir.
Sementara
larangan menutup wajah bagi jenazah yang ihram, itu karena menutup wajah
jenazah, mengharuskannya menutup kepalanya. Selain itu terdapat bebebrapa
riwayat dari sahabat bahwa mereka memakai tutup muka ketika ihram.
Imam
Al-Nawawi (al-Syafii) mengatakan:
مَذْهَبُنَا اَنَّهُ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ الْمُحْرِمِ
سَتْرَ وَجْهَهُ وَلاَ فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ
… وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِرِوَايَةِ الشَّافِعِي عَنْ سُفْيَان بْنِ
عُيَيْنَة عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ اَبِيْهِ (أَنَّ عُثْمَانَ
بْنَ عَفَّان وَزَيْدَ ابْنَ ثَابِت وَمَرْوَان بْنَ الْحَكَم كَانُوْا يُخْمِرُوْنَ
وُجُوْهَهُمْ وَهُمْ حُرُمٌ) وهذا اسناد صحيح
Madzhab kami
(syafiiyah), bahwasanya dibolehkan bagi laki-laki ihram menutup wajahnya dan
tidak ada kewajiban fidyah. Ini pendapat mayoritas ulama…
ulama madzhab kami berdalil dengan riwayat dari Sufyan bin Uyainah dari
Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya, bahwa Usman bin Affan, Zaid bin Sabit, dan
Marwan bin Hakam, mereka menutup wajahnya ketika mereka sedang ihram. Riwayat
ini sanadnya shahih (al-Nawawi, al-Majmu’, VII/268).
Al-Buhuti
(al-Hambali) mengatakan:
لَوْ غَطَّى الْمُحْرِمُ الذَّكَرُ وَجْهَهُ
فَيَجُوزُ رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ
الزُّبَيْرِ وَغَيْرِهِمْ؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ سُنَّةُ التَّقْصِيرِ
مِنْ الرَّجُلِ فَلَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ حُرْمَةُ التَّخْمِيرِ كَبَاقِي بَدَنِهِ .
Apabila
laki-laki yang sedang ihram menutup wajahnya, hukumnya boleh. Hal ini telah diriwayatkan
dari Usman, Zaid bi Sabit, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair, serta ulama lainnya.
Karena wajah tidak ada kaitannya dengan sunah memangkas rambut pada lelaki,
sehingga tidak ada kaitannya dengan larangan untuk ditutupi, sebagaimana
umumnya anggota badan (al-Buhuti, Kassyaf al-Qana’, II/425).
Abdullah al-Faqih, dalam al-Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, menjelaskan hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu
Umar di atas sebagai berikut:
ظَاهِرُ قَوْلِهِ وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ اِخْتِصَاصُهَا
بِذَلِكَ وَأَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ كَذَلِكَ، وَهُوَ مُقْتَضَي مَا ذَكَرَهُ أَوَّلُ
الْحَدِيْثِ فِيْ مَا يَتْرَكُهُ الْمُحْرِمُ فَإِنَّهُ لَمْ يُذْكَرْ مِنْهُ سَاتِرَ
الْوَجْهِ
Makna teks dari
sabda beliau ‘Janganlah wanita memakai cadar’ itu khusus bagi wanita,
sementara laki-laki tidak seperti itu. Dan ini sesuai degan makna bagian awal
hadis tentang hal-hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang ihram. Di sana
Nabi saw. tidak menyebutkan penutup wajah
(Abdullah al-Faqih, al-Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, V/7283).
Dari
dua pendapat tersebut di atas, pendapat kedua
dipandang lebih kuat,
yakni bagi laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan
menutup wajah dan tidak masalah memakai masker. Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama. Hal ini lebih sesuai
dengan prinsip untuk kemudahan dan kemaslahatan (li al-taysir wa al-maslahah).
Masker Bagi Wanita Ihram
Keterangan
di atas menjelaskan bahwa jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bagi
laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan menutup wajah dan tidak masalah memakai
masker. Adapun bagi wanita yang sedang ihram, ulama sepakat melarang menutup
wajahnya berdasarkan hadis riwayat
al-Bukhari dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda:
وَلاَ تَنْتَقِبِ
الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos
tangan (HR. al-Bukhari
1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).
Ibnu Qudamah mengatakan:
وَإِنَّمَا مُنِعَتِ
الْمَرْأَةُ مِنَ الْبُرْقُعِ وَالنِّقَابِ وَنَحْوِهِمَا، مِمَّا يُعَدَّ
لِسَتْرِ الْوَجْهِ
Bahwasanya wanita dilarang memakai cadar, burkah atau semacamnya, karena
hal itu dianggap penutup wajah (Ibn Qudamah, al-Mughni, III/311).
Bagaimana dengan masker,
apakah ia termasuk penutup wajah? Di sinilah ulama berbeda pendapat. Bagi ulama
yang menganggap masker sama dengan penutup wajah, maka masker termasuk yang
dilarang. Dalam hal ini MUI termasuk yang melarang wanita ihram memakai masker
karena dianggap termasuk penutup wajah, kecuali dalam keadaan darurat seperti
dalam usaha menghindari penularan wabah, maka hukumnya boleh dan tidak terkena
fidyah (Fatwa MUI: 003/MUNAS X/ MUI/XI/2020).
Adapun ulama yang menganggap bahwa masker itu
bukan penutup wajah, maka memakai masker bagi wanita ihram tidak dilarang. Dalam
hal ini Lembaga Fatwa Mesir menyatakan:
“Tidak dipandang
melanggar syariat wanita memakai masker kesehatan untuk menghindari wabah saat
sedang ihram umrah atau haji, dan tidak perlu membayar fidyah. Lebih lanjut
disebutkan:
لِاَنَّ الْكَمَامَةَ
الطِّبِّيَّةَ لَيْسَتْ مِنَ النِّقَابِ أَوْ غِطاَءِ الْوَجْهِ الْمَنْهَى عَنْهُمَا
فِى الْاِحْرَامِ اِذْ اَنَّهَا لَمْ تُعَدَّ فِى الْاَصْلِ لِسَتْرِ الْوَجْهِ
Karena sesungguhnya masker kesehatan itu tidak termasuk niqab (cadar)
atau penutup wajah yang dilarang saat sedang ihram. Karena itu masker pada
dasarnya tidak dianggap sebagai penutup wajah (Dar al-Ifta
al-Mishriyah, 15 Pebruari 2023).
Dengan
demikian, wanita yang sedang ihram dibolehkan memakai masker, apalagi demi
menghindari wabah atau gangguan debu-debu yang berterbangan. Wallahu A’lam!
Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi September 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar