BAGAIMANA
KIAT MENGGAPAI ISTIQAMAH?
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb.!
Ustadz Zuhdi rahimakumuallah!
Mohon penjelasan apa yang dimaksud dengan istiqamah, dan bagaimana kiat-kiat
untuk menjadi orang yang bisa istiqamah? Demikian pertanyaan saya, atas
perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran!
(Abdul Halim, Sidoarjo)
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita kutipkan hadis berikut ini:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِىِّ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ
أَحَدًا بَعْدَكَ - وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ - قَالَ « قُلْ
آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah! Katakan
kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun
setelah Anda! Dalam Riwayat Abu Usamah “selain Anda”! Beliau menjawab:
“Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah”! Lalu istiqamahlah!”(HR. Muslim No.
168).
Hadis tersebut menjelaskan tentang
dialog antara Nabi saw. dengan sahabatnya bernama Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi. Saat itu al-Tsaqafi memohon kepada Nabi saw. agar
menjelaskan tentang Islam secara general dan mencakup keseluruhan sehingga
tidak memerlukan penjelasan lagi dari orang lain. Nabi saw. kemudian
menjawabnya dengan singkat dan padat: “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah”!
Lalu istiqamahlah!”
Sebagian
besar ulama, di antaranya al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi,
VII/77); al-Nawawi, (Syarah Sahih Ala Muslim, II/9); al-Suyuti,
(al-Dibaj Ala Muslim, I/55); dan al-Munawi, (Faid al-Qadir,
IV/523), memandang bahwa hadis tersebut memperkuat firman Allah swt. surat
Fussilat ayat 30:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”,
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS.
Fussilat, 30).
Dalam hadis dan ayat tersebut ada dua hal penting untuk
difahami, yaitu masalah iman kepada Allah dan istiqamah.
Iman kepada Allah merupakan tingkat iman tertinggi. Dalam hal
ini, iman bukan sekedar percaya, tetapi harus ditunjukkan dengan aksi nyata.
Keimanan kepada Allah secara mutlak mengharuskan kepercayaan kepada semua
ajaran yang diturunkan-Nya. Selain itu juga mengharuskan adanya ketaatan
terhadap perintah dan larangan-Nya.
Pengakuan iman seseorang tidaklah cukup.
Allah telah menetapkan sebuah ketentuan bahwa setiap pengakuan iman akan
melalui tahap ujian. Firman Allah:
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ #
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan “Kami telah
beriman” lalu mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang benar
(dengan pengakuan imannya) dan benar-benar mengetahui orang-orang yang dusta
(QS. al-Ankabut, 2-3).
Dalam
kehidupan manusia, ujian keimanan selalu datang silih berganti. Kadang-kadang
ujian itu datangnya melalui setan, menggoda orang beriman agar ingkar kepada
Allah. Allah terkadang juga menurunkan ujian melalui bala bencana. Apakah
ketika ditimpa ujian berupa musibah mereka masih teguh dengan keimanannya?
Ujian keimanan bisa juga berupa sesuatu yang menyedihkan, bahkan terkadang
berupa sesuatu yang menyenangkan hingga lupa daratan. Di sini manusia akan
diuji konsistensinya dalam beriman. Apakah ia tetap istiqamah?
Istiqamah atau istikamah secara bahasa berarti lurus, ajeg, teguh dan kukuh, tidak mudah goyah.
Secara istilah istiqamah adalah sikap teguh pendirian
dan selalu konsekuen dalam setiap tindakan(https://kbbi.web.id/istiIah). Abu Bakar Al-Shiddiq ra. berkata: “Istiqamah adalah kemurnian
tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun). Umar bin
Khattab ra berkata: “Istiqamah adalah komitmen terhadap perintah dan larangan
dan tidak boleh menipu”. Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqamah adalah mengikhlaskan
amal kepada Allah Taala”. Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqamah adalah
melaksanakan kewajiban-kewajiban”. Mujahid berkata: “Istiqamah adalah komitmen
terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah Ta’ala” (al-Baghawi,
Tafsir al-Baghawi, VII/172).
Istiqamah dalam mempertahankan keimanan
digambarkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dengan menempuh “shirath al-mustaqim”,
agama yang lurus, tidak melenceng ke kanan atau ke kiri. Hal itu mencakup
pelaksanaan semua ketaatan yang nampak dan tersembunyi, juga meninggalkan semua
larangan(Ibn Rajab, Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, I/205).
Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa
seorang mukmin yang istiqamah adalah mukmin yang selalu mempertahankan keimanan
dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia tidak berpaling ke kiri
maupun ke kanan. Ia selalu menjaga ketaatan kepada Allah lahir dan batin, dan
meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi
seluruh godaan, dan syukur dengan segala nikmat. Itulah manusia mukmin yang
sesungguhnya.
Seorang mukmin yang
benar-benar istiqamah dalam memegang teguh keimanan dan keislamannya,
dijanjikan akan menerima penghargaan yang sangat tingi, di antaranya malaikat akan turun memberi kabar gembira kepadanya sebelum maut menjemputnya. Tentang firman Allah: “Janganlah takut
dan janganlah bersedih”, menurut penafsiran Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin
Aslam adalah “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan
janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga,
harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya”.
Selain itu, mereka juga diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia
akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam
keburukan (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, VII/177).
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa maksud QS. Fussilat ayat 30 adalah orang-orang
yang beriman dan selalu istiqamah akan diberikan kabar gembira pada saat jelang
kematiannya, saat dalam kuburnya, dan saat ia dibangkitkan. Selanjutnya ia
kemudian dimasukkan ke dalam surga (Ibn Rajab, Jami al Ulum Wa al Hikam,
l/191).
Kiat-Kiat Menggapai
Istiqamah
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat
syahadat dengan baik dan benar. Nabi saw. bersabda: “Jika seorang
muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah
tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (HR. al-Bukhari
No. 4699). Qatadah
mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia
adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan salih. Sedangkan di
akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat
Munkar dan Nakir)” (Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari,
XIII/101).
Kedua: Mengkaji Alqur’an dan menghayatinya. Allah
menceritakan bahwa Alqur’an dapat
meneguhkan hati orang-orang beriman dan menjadi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Dalam QS. Al-Nahl, 102, Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah:
“Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Alqur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi
petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)”. Atas dasar ini, dapat difahami bahwa orang yang giat mempelajari
Alqur’an dan menghayatinya, akan lebih kokoh dan teguh dalam beragama.
Ketiga: Berkomitmen dan konsisten dalam
menjalankan syari’at. Dari ’Aisyah ra., Nabi saw. bersabda: “Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun
sedikit” (HR. al-Bukhari No. 6464 dan Muslim No. 1866). Ibnu Rajab
al-Hambali menjelaskan: “Amalan yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah amalan
yang konsisten dan kontinu. Beliau pernah mengingatkan sahabatnya: “Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa
mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi (HR.
al-Bukhari No. 1152 dan Muslim No. 2790).
Keempat: Membaca kisah-kisah orang salih sehingga
bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqamah. Dalam Alqur’an
banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman masa
lalu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dengan
mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut saat menghadapi permusuhan
orang-orang kafir. Allah swt. berfirman: “Dan semua kisah dari
rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Hud, 11).
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Kisah-kisah
para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa
bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak yang
luhur” (al-Qadi Iyad, Tartib al-Madarik, I/6).
Kelima: Memperbanyak do’a
kepada Allah agar diberi keistiqamahan. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika
menghadapi ujian: “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami,
teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” (QS.
Al Baqarah: 250). Dalam upaya meraih istiqamah, Al-Hasan ketika membaca QS.
Fussilat ayat 30 beliau pun berdo’a: “Allahumma anta rabbuna, farzuqna
al-istiqamah, Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah
keistiqamahan pada kami (al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi,
VII/172).
Keenam: Bergaul dengan orang-orang salih. Allah memerintahkan agar selalu bersama dengan
orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At
Taubah: 119). Para
ulama menasehati agar kita selalu dekat dengan orang shalih. Al-Fudhail
bin ‘Iyadh berkata: (نَظْرُ
المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ), “Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan
hati” (al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala, XV/455).
Sungguh beruntunglah
orang yang berhasil menggapai istiqamah. Orang-orang arif berkata: “al-istiqamatu
khayr min alf karamah”, bersikap istiqamah itu lebih baik daripada
memiliki seribu karamah (al-Mubarakfuri, Mirqat al-Mafatih, I/208).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar