SHALAT SAMBIL MEMBACA MUSHAF
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I |
عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-: أَنَّهَا كَانَ
يَؤُمُّهَا غُلاَمُهَا ذَكْوَانُ فِى الْمُصْحَفِ فِى رَمَضَانَ
Dari
Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia
pernah shalat di bulan Ramadhan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan
dengan membaca mushaf (HR. al-Bayhaqi No. 3497)
Status
Hadis
Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi
dalam al-Sunan al-Kubra, II/253, hadis No. 3497. Imam al-Nawawi
menyatakan bahwa sanad hadis tersebut shahih (al-Nawawi, Khulashat
al-Ahkam, I/500 No. 1665). Selain oleh al-Bayhaqi, hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh sejumlah imam ahli hadis, di antaranya: al-Bukhari
dalam Shahih al-Bukhari, I/321 No. 691; Abdullah Ibn Wahab dalam
al-Jami’ Li Ibn Wahab, I/184 No. 305; Ibn al-Mulqin dalam al-Badr
al-Munir, IV/519; Ibn al-Atsir dalam Jami al-Ushul Fi Ahadis
al-Rasul, V/582 No. 3825; Ibn Nashr al-Marwazi dalam Qiyam
Ramadhan, I/32; dan Ibn Abi Dawud dalam Kitab al-Mashahif,
I/457 No. 794.
Kandungan
Hadis
Hadis tersebut menerangkan praktik
shalat berjamaah yang diikuti oleh Aisyah ra. dengan imam seorang hamba sahaya
bernama Dzakwan di bulan Ramadhan. Ada dua persoalan dalam hadis tersebut.
Pertama tentang hukum seorang hamba sahaya menjadi imam bagi orang merdeka. Masalah
ini ada dua pendapat, sebagian ulama tidak membolehkan, tetapi jumhur ulama
membolehkan, karena yang penting menjadi imam itu adalah yang paling menguasai
bacaan Alquran (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, II/185). Kedua
tentang hukum shalat sambil membaca mushaf. Masalah ini, muncul perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengimami shalat sambil membaca dan
memegang mushaf. Setidaknya ada empat pendapat mengenai hal ini, berikut
rinciannya:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa shalat sambil membaca mushaf
itu dapat merusak shalat. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah (al-Kasani,
Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Al-Kasani
(w. 587 H) memaparkan dua alasan mengapa Abu Hanifah ( w. 150 H) menganggap hal
ini membatalkan shalat. Pertama, bahwa orang yang shalat sambil membawa mushaf,
membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dan seterusnya adalah gerakan
yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari shalat, dan juga tidak
diperlukan ketika shalat, sehingga dapat merusak shalatnya. Kedua, orang yang
menjadi imam sambil membawa mushaf itu berarti ia membaca teks dari mushaf.
Padahal orang yang membaca teks termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari
teks yang lain, sehingga ini bisa membatalkan shalat (al-Kasani, Bada’i
al-Shana’I Fi Tartib al-Syarai’, 1/236).
Dalil dari hadis adalah riwayat
Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya ada seseorang yang mendatangi Rasulullah
dan berkata: “Sesungguhnya aku tidak mampu membaca Alquran sedikit pun maka
ajarkanlah bacaan yang mudah bagiku. Beliau bersabda: Bacalah subhanallah,
alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu akbar dan la haula wa La
quwwata illa billah” (Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I/308 No.
832). Al-Albani menilai hadis ini statusnya hasan (al-Albani, Shahih
Wa Dha’if Sunan Abi Dawud, I/2).
Menurut pendapat pertama ini, hadis
tersebut mengandung makna bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang
tidak hafal Alquran sedikit pun untuk menggantinya dengan zikir dan
tidak memerintahkan untuk melihat mushaf. Ini menunjukkan bahwa melihat mushaf
itu tidak sah dan merusak shalat. Karena kalau hal itu diperbolehkan dan tidak
merusak shalat, Rasulullah pasti memerintahkannya sebelum memerintahkan untuk
berzikir.
Pendapat
kedua, mengatakan
bahwa shalat sambil membaca mushaf itu hukumnya makruh, tidak sampai
merusak shalat. Ini adalah pendapat Abu Yusuf (w.182 H) dan Muhammad bin Hasan
(w. 189 H), keduanya shahabat Abu Hanifah. Alasannya, melihat
mushaf ketika shalat itu menyerupai (tasyabuh)
dengan ahli kitab,sedangkan pembuat
syariat (Allah Ta’ala) melarang kita untuk
menyerupai mereka. Shalat sambil membaca mushaf ini lebih baik ditinggalkan terutama
dalam shalat fardhu. Sedangkan dalam shalat sunnah seperti qiyam Ramadhan
(tarawih) boleh jika benar-benar dibutuhkan (al-Kasani,
Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Pendapat ketiga, mengatakan bahwa shalat sambil
membaca mushaf itu makruh dalam shalat fardhu, tidak dalam shalat sunah
kecuali bagi yang sudah hafal Al-Qur’an, ia tetap dimakruhkan membaca
dengan melihat mushaf, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Ini
pendapat mazhab Maliki (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
XXXIII/57; Fatawa al-Azhar, VIII/475 ).
Dalil pendapat ketiga ini adalah hadis
Aisyah yang bermakmum kepada Dzakwan, saat mengimaminya membaca mushaf (HR.
al-Bayhaqi No. 3497). Bedanya dengan
pendapat kedua, pendapat ini hanya menyatakan makruh dalam shalat fardhu,
sedangkan pada shalat sunnah hukumnya boleh. Namun bagi orang yang sudah hafal
(hafidz), makruh juga membaca mushaf dalam shalat sunnah.
Pendapat keempat, mengatakan bahwa shalat sambil membaca
mushaf itu sah dan tidak makruh. Ini pendapat Syafi’iyah dan mayoritas
mazhab Hambali (al-Nawawi, Al-Majmu’, IV/95; Fatawa al-Syabakah
al-Islamiyah, XI/6525).
Dalil yang dipakai oleh pendapat keempat
ini adalah hadis dari Abu Hurairah, dari Aisyah ra, bahwasanya beliau pernah
bermakmum kepada hamba sahayanya, Dzakwan yang saat mengimaminya
sambil membaca mushaf (HR. al-Bukhari No. 691 dan al-Bayhaqi
No. 3497).
Hadis tersebut menjadi petunjuk
diperbolehkannya shalat dengan melihat mushaf. Pendapat ini didukung oleh ulama
madzhab Syafii dan Hanbali, baik dalam shalat fardhu maupun shalat
Sunnah (al-Bahuti, Kisyaf al-Qina’, I/383; Fatawa al-Syabakah
al-Islamiyah, XI/6525).
Badruddin
al-‘Aini (w. 855 H) mengatakan: “Zahir hadis tersebut menunjukkan bolehnya
membaca mushaf ketika shalat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan
al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. Anas bin Malik juga pernah menjadi imam,
sementara ada anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa
satu ayat, maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga
membolehkannya ketika qiyam Ramadhan (shalat tarawih). Sementara al-Nakhai,
Said bin al-Musayib, dan al-Sya’bi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa
hal itu menyerupai perbuatan orang Nasrani”(Badr al-Din al-‘Aini, Umdat
al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/384).
Pendapat
bahwa shalat dengan membaca mushaf itu menyerupai ahli kitab, ditolak oleh Imam
Syafii (w. 204 H). Menurut al-Syafii, shalat dengan membaca mushaf itu
bukan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, karena kita juga
makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab
(al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236)
Ibn Nashr al-Marwazi (w. 294 H)menegaskan
bahwasanya membaca Alquran terlalu jauh untuk disebut meniru (tasyabuh) dengan
ahli kitab, dibandingkan membaca buku-buku matematika. Karena membaca Alquran
termasuk amal shalat, sementara buku-buku berhitung tidak termasuk bagian
shalat. Maksud al-Marwazi, sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang
bermanfaat dan itu tidak teramasuk tasyabbuh terhadap ahli
kitab, maka membaca Alquran lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan
orang kafir (al-Marwazi, Qiyam Ramadhan, I/33; Fatwa Lajnah Daimah,
579).
Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’ Syarah
al-Muhaddzzab lebih tegas mengatakan sebagai berikut:
لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ
صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا
لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا
فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ
“Apabila orang yang sedang shalat membaca Alquran dari
mushaf maka shalatnya tidak batal, baik ia hafal Alquran atau tidak. Bahkan
ia wajib melakukan hal itu jika tidak hafal surat Al-Fatihah sebagamaina
keterangan yang telah dijelaskan. Apabila ia sesekali membolak balik lembaran
mushaf maka salatnya tetap tidak batal” (al-Nawawi, al-Majmu’, IV/95).
Dari keempat pendapat tersebut,
mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa membaca mushaf saat shalat itu
hukumnya boleh (mubah). Kebolehan ini berlaku, baik pada saat shalat sunnah
maupun shalat fardhu. Imam al-Nawawi bahkan mewajibkannya apabila seseorang
tidak hafal Alquran dan tidak hafal surat al-Fatihah, karena membaca al-Fatihah
merupakan salah satu rukun dalam shalat.
Ibnu
Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Qiyam Ramadhan, mengutip Ibn Syihab al-Zuhri
(w. 124 H) ketika ditanya mengenai hukum orang yang mengimami shalat di bulan
Ramadhan sambil membaca mushaf. Al-Zuhri rahimahullah mengabarkan:
مَا زَالُوْا يَفْعَلُوْنَ
ذَلِكَ مُنْذُ كَانَ الْإِسْلاَمُ، كَانَ خِيَارُنَا يَقْرَءُونَ فِي الْمَصَاحِفِ
“Kaum muslimin senantiasa melakukan seperti
itu (shalat sambil membaca mushaf) sejak zaman Islam dahulu, dan orang-orang
terbaik di antara kami juga biasa membaca Alquran dari mushaf”(al-Marwazi,
Qiyam Ramadhan, I/32; Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, I/638).
Keterangan
al-Zuhri tersebut memperkuat pendapat bolehnya membaca mushaf saat shalat.
Kebolehan ini berlaku pada shalat sunnah maupun shalat fardhu. Intinya, orang
yang shalat sambil membawa dan membaca mushaf itu tidak dilarang, terlebih jika
saat shalat malam (tarawih) yang biasanya membutuhkan banyak bacaan ayat atau
surat Alquran. Kebolehan ini tentu dengan syarat tidak banyak gerakan yang
tidak berhubungan dengan shalat yang bisa membatalkannya, dan tidak mengganggu
kekhusyu’an. Namun demikian, bagi orang yang ditunjuk menjadi imam shalat,
dianjurkan untuk berusaha menghafalkan Alquran. Bila belum sanggup menghafal
semuanya, paling tidak sebagiannya, sehingga tidak perlu membawa Alquran ketika
shalat atau menjadi imam. Dengan shalat tanpa membaca mushaf akan lebih bisa
menjaga kesempurnaan shalat, seperti menundukkan pandangan pada tempat sujud
dan meletakkan kedua tangan di dada. Pendapat ini sejalan dengan MTT.PPM (SM,
26 Januari 2016). Wallahu A’lam!
Berikut ini bisa dilihat versi youtube-nya:
https://www.youtube.com/watch?v=nhl4xCXROak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar