SYARIAT
ISLAM
KARAKTERISTIK
DAN MAQASHIDNYA
(خصائصها
ومقاصدها)
Oleh
Pengertian
Syari’at
Syari’at atau al-Syari’ah
berasal dari kata Arab syara’a-yasyra’u-syar’an yang berarti sanna (مصدر
شرع يشرع شرعا أي سن)[3], artinya
mengundangkan atau membuat undang-undang. Karena itu syariat bisa berarti undang-undang
atau aturan-aturan.
Dalam
kamus Mukhtar Al-Shihah disebutkan:
“Syariat
adalah tempat sumber air yaitu sumber air minum. Syariat juga bermakna apa saja
yang ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dalam
agama”.
Dalam
kamus Mu’jam al-Wasith:
“Syariat adalah
apa saja yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik
mengenai masalah keyakinan-keyakinan, hukum-hukum maupun metode(cara) beragama”.
Dalam
kamus Lisan al-Arab:
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله
من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ[6]
“Al-Syari’ah dan al-Syir’ah
adalah aturan-aturan agama yang telah Allah tetapkan
dan Allah perintahkan untuk dilaksanakan seperti
puasa, shalat, haji, zakat, dan amalam-amalan baik
lainnya”.
Dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
والشريعة: كل ماشرع الله تعالى لعباده
من الأحكام، سواء
بالقرآن، أم بالسنة، وسواء ما تعلق
منها بكيفية الاعتقاد، ويختص بها علم
الكلام أو علم التوحيد، أو بكيفية
العمل، ويختص بها علم الفقه[7]
“Syariat
adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala
untuk hamba-hamba-Nya, baik penetapannya berdasarkan al-Qur’an maupun al-Sunnah, baik terkait dengan keyakinan-keyakinan yang
secara khusus dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu
tauhid, atau terkait dengan amal yang secara khusus dibahas
dalam ilmu fiqih”.
Intinya, syari’at adalah aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt
melalui Rasul-Nya, baik mengenai aqidah, syariat, maupun akhlak, agar dipedomani
dan dilaksanakan manusia dengan sebaik-baiknya demi kebahagian manusia itu
sendiri. Korelasi makna bahasa dan makna istilah adalah bahwa manusia
membutuhkan syariat sebagaimana kebutuhan mereka terhadap air yang menjadi
sumber kehidupan. Tanpa air, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Demikian
juga, tanpa syariat, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Syari’at,
meskipun telah turun berabad-abad lalu, namun keberadaannya selalu relevan
dalam kehidupan manusia di mana saja dan kapan saja, baik dahulu, kini, maupun
masa depan. Hal ini wajar karena pada hakikatnya, seluruh alam ini adalah milik
Allah, Tuhan yang menurunkan aturan atau syariat itu.
Karakteristik Syariat Islam
Syariat
Islam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan agama-agama yang lain. Beberapa
karakteristik yang menjadi keunggulannya telah dipaparkan Ammar Sukkari dalam
bukunya al-Mukhtashar al-Ham Fi al-Khashaish al-Ammah Li al-Islam[8], sebagai berikut:
Pertama, al-Rabbaniyah (الربانية).
Robbaniyah, artinya berorientasi
ketuhanan, baik secara tujuan maupun sumbernya. Secara tujuan, syariat
Islam ditujukan agar manusia hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”.
Selain tujuan mengabdi hanya kepada Allah, syari’at Islam juga bertujuan membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia serta kepada makhluk lainnya. Manusia harus bebas dari tekanan manusia lainnya, terlebih mengaggap dirinya sebagai Tuhan yang dapat mengatur segala hal.
Dari segi sumbernya, robbaniyah-nya
syari’at Islam adalah bahwa dia berasal dan bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam al-Qur’an disebutkan:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا [10]
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Quran)”.
Dia bukan ciptaan manusia,
bukan pula karangan manusia yang penuh hawa nafsu. Berbeda dengan undang-undang
dan peraturan dunia yang diciptakan manusia yang bersifat relatif dan
dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia. Efek dari karakteristik robbaniyah ini
membuat manusia dalam melaksanakan undang-undang dan aturan Allah tidak hanya saat
berada di tengah-tengah manusia, tetapi di mana dan kapan saja dia tetap patuh
melaksanakan aturan itu.
Kedua, Insaniyah (الإنسانية).
Insaniyah artinya sesuai dengan
peri-kemanusiaan. Bukti atas hal itu adalah dijadikan Rasul dari kalangan
manusia, bukan dari jin atau malaikat. Hal itu terjadi, agar manusia melihat
langsung bagaimana aplikasi hukum Allah yang ideal melalui persaksian mereka
terhadap perilaku dan nasihat Rasulullah saw. Andaikata rasul itu berupa jin
atau malaikat, maka akan terjadi kesulitan bagi kita tentang bagaimana
mengaplikasikan isi ajaran Allah SWT, karena jin dan malaikat adalah makhluk
non-fisika yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ketika Aisyah ditanya tentang
bagaimana perilaku kehidupan Rasulullah? Beliau menjawab, perilakunya adalah al-Qur’an.[11]
Sesuai dengan tujuan
manusia hidup di dunia ini yakni untuk mengabdikan diri kepada Allah, dalam saat
yang sama manusia juga dituntut untuk menjaga hubungan baik sesama manusia. Hal
ini menunjukkan bahwa konsep pengabdian diri kepada Tuhan (Rabbaniyyah)
tidak akan sempurna tanpa adanya ciri-ciri kemanusiaan (insaniyah) dalam
kehidupan manusia. Allah swt menegaskan:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ
مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ[12]
“Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia”.
Bukti insaniyah
syariat Islam juga adalah bahwa Islam mengajarkan persamaan derajat manusia.
Keunggulan dan kemuliaan manusia tidak terletak kepada ras, suku, bangsa, warna
kulit, kekayaan, ilmu dan pangkat-jabatan, akan tetapi hanya terletak pada
ketakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian, hukum dan syariat Allah berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat kecil, tidak ada perbedaan antara darah biru dan darah merah. Di depan Allah, semua manusia sama.
Ketiga, al-Syumul (الشمول).
Al-Syumul artinya syariat Islam
bersifat komprehensif (menyeluruh). Syariat Islam tidak hanya mengatur tentang
ibadah ritual saja, namun juga mengatur seluruh kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia internasional.
Dengan demikian syariat Islam dapat diterapkan di mana saja, dan di belahan
bumi mana saja. Selain itu, ia juga dapat diterapkan di segala zaman. Firman
Allah Swt:
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
Keempat,
al-Wasathiyah (الوسطية)
Al-wasathiyah artinya menengah, moderat
dan adil. Syariat Islam bersifat menengah dan adil. Tidak ghuluw
(keterlaluan), tafrith (berlebihan), dan ifrath (serba
kekurangan). Umat Islam yang komitmen melaksanakan ajaran Islam yang moderat
ini juga bersifat menengah. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا[14]
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu”.
Apa yang dimaksudkan dengan
konsep ‘ummatan wasathan’ (ummat pertengahan) di dalam ayat di
atas adalah umat Nabi Muhammad s.a.w yang melaksanakan perintah Allah
berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum-Nya dan juga berasaskan kepada
keseimbangan antara keperluan rohani dan jasmani, individu dan masyarakat,
fisikal dan mental serta keseimbangan antara keperluan duniawi dan ukhrawi.
Menengah dan adil adalah sifat
ber-keseimbangan. Keseimbangan dalam sikap, keseimbangan akhlak, ibadah,
akidah, dan lainnya. Sikap ekstrim adalah sikap yang jauh dari karakteristik
ajaran Islam. Baik ekstrim dalam hal akidah, sikap, maupun ibadah.
Kelima,
al-Waqi’iyyah (الواقعية).
Al-Waqi’iyah artinya bahwa syariat dan
ajaran Islam itu bersifat realistis. Ia membumi dan mudah diaplikasikan oleh
semua manusia. Bukti realistis ajaran Islam adalah adanya rukhsah
(dispensasi) serta bersifat memudahkan. Oleh karena itu ajaran Islam bisa masuk
ke semua negara dan ke semua suku dengan beraneka ragam budaya sosial mereka.
Ia juga dapat masuk di tengah kondisi yang berbeda-beda di suatu negara, baik
hukum, undang-undang maupun model sistem negara yang dianut. Kaidah fiqih
mengatakan: (الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما) [15],
“Hukum berlaku sesuai dengan illat (sebab)nya, ada atau tidak adanya”.
Oleh sebab itu, al-waqi’iyyah
dalam Islam adalah al-waqi’iyyah al-mitsaliyah (kontekstual yang
tidak mengabaikan idealisme). Konsep Islam dalam masalah ini dapat
menyelamatkan segala tindakan serta keputusan yang berlebih-lebihan di dalam
mencapai sesuatu kesempurnaan (idealisme). Dalam arti kata lain,
sesuatu idealisme itu seharusnya dilakukan dalam ruang
lingkup realistis sesuai kadar kemampuan yang sebenarnya (al-waqi’iyyah). Seperti
firman Allah s.w.t :
“Allah tidak akan membebani seseorang
(jiwa) kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Keenam, Al-Wudhuh (الوضوح).
Al-wudhuh (jelas),
adalah karakteristik Islam yang menegaskan bahwa konsep Islam sangat jelas dan
tegas. Konsep yang jelas menjadikan Islam dapat dengan mudah dipahami, tidak
rumit dan tidak berbelit-belit.
Kejelasan syariat Islam dapat dilihat dalam perintah Allah
seperti shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat dan menunaikan haji
ke Mekah. Ibadah-ibadah tersebut telah difardhukan Allah s.w.t dengan
menjelaskan kepada hamba-Nya tentang hikmah dan tujuan utama difardhukan.
Kefardhuan shalat, menjelaskan bahwa dengan shalat akan dapat mencegah
seseorang itu dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Kefardhuan ibadah
puasa, dengan melakukannya akan dapat melahirkan keinsafan diri tentang betapa
lapar dan dahaganya golongan fakir miskin serta dapat mengendalikan nafsu dari godaan setan. Kefardhuan mengeluarkan zakat,
dengananya akan dapat mengikis sifat bakhil dan juga dapat menyelesaikan
masalah ekonomi umat dalam membantu golongan fakir miskin. Kefardhuan ibadah
haji, dengannya bisa sebagai manifestasi pertemuan dan perpaduan umat Islam
seluruh dunia. Ke semua tuntutan ibadah yang difardhukan oleh Allah
s.w.t ini adalah jelas (wudhuh) dari segi manhaj(kaidah dan ketentuan) dan
juga jalan penyelesaiannya.
Semuanya ini harus dilakukan dengan niat yang ikhlas
kerana Allah s.w.t, kerana niat adalah faktor utama Allah akan menerima sesuatu
amalan kebajikan itu. Firman Allah s.w.t:
”Padahal mereka tidaklah diperintah kecuali supaya
menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya semata-mata kerana (menjalankan) agama
dengan lurus”.
Ketujuh,
Al-Jam’u Baina ats-Tsabat wa al-Murunah (الجمع
بين الثبات والمرونة).
Al-Jam’u Baina
ats-Tsabat wa al-Murunah, adalah gabungan antara ajaran yang permanen dan yang fleksibel. Ajaran
permanen dalam aqidah misalnya, tidak boleh beribadah selain hanya kepada Allah
Swt. Ajaran ini sudah tetap, tidak boleh ada tawar menawar. Dalam ibadah wajib seperti shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, haji
dan zakat juga tidak ada toleransi hukum perlaksanaannya. Perkara tersebut sudah
tetap(permanen), tidak berubah lagi karena telah menjadi ketetapan Allah Ta’ala. Ini yang permanen.
Pemahaman
Islam yang permanen (tetap) dan tidak berubah hingga hari kiamat adalah dalam
hal ushul dan tujuan Islam. Tetapi Islam bersifat fleksibel di dalam hal furu’
dan sarana-sarananya. Dalam hal berdoa hanya boleh kepada Allah saja, sedangkan
cara berdoa boleh dengan bahasa apa saja. Shalat dhuhur harus empat rakaat,
sedangkan tempat boleh di mana saja asal suci, dan pakaian boleh jenis apa saja
asal suci dan menutup aurat.
Ketetapan
prinsip dan fleksibelitas dalam islam ini dimaksudkan agar mampu mengatasi
setiap perubahan dan bisa memecahkan masalah kekinian. Apabila Islam itu kaku
maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat.
Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat, waktu dan juga
pemikirannya.
Maqashid
al-Syari’ah
Maqashid al-Syariah secara
istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap
aturannya. Imam Al-Syathibi mengungkapkan tentang syari’at dan fungsinya bagi
manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
“Sesungguhnya
syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan
manusia di dunia dan Akhirat”.
Pada bagian
lain, al-Syathibi menyebutkan:
“Hukum-hukum itu
diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.
Apabila
dipelajari secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di dalam
Al-Quran dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita dapat mengetahui tujuan hukum
Islam. Tujuan hukum Islam adalah untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia ini
dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengemukakan ada lima tujuan hukum
Islam, yakni: 1. Hifdz Al-Din (Memelihara Agama); 2. Hifdz Al-Nafs (Memelihara Jiwa); 3. Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal); 4. Hifdz Al-Nasl (Memelihara Keturunan); dan 5. Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)[20]
Kelima tujuan
hukum Islam tersebut juga dinamakan dengan al-maqasid al-khamsah atau maqasid
al-shari’ah[21]. Berikut ini
penjelasannya satu per satu:
1. Memelihara Agama.
Pemeliharaan
agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Karena agama merupakan pedoman
hidup manusia, dan di dalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang
merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan
sikap hidup seorang muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dalam
berhubungan dengan manusia lain dan lingkungannya. Karena itulah maka hukum
Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
Allah memerintahkan kita untuk tetap berusaha
menegakkan agama, sebagaimana dalam firman-Nya:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن
يُنِيبُ[22]
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)”.
2. Memelihara jiwa
Untuk tujuan
ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas
(pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang
sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang
dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh
itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal
ini dapat kita jumpai dalam firman Allah Swt sbb:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ
وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ
أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ
ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ
ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ . وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[23]
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa”.
3. Memelihara akal
Akal termasuk
hal yang paling penting dalam pandangan Islam. Karena dengan akal bisa
digunakan untuk memahami agama dan alam sekitarnya. Allah ta’ala selalu memuji
orang yang berakal (menggunakan akalnya untuk berfikir). Hal ini dapat
dilihat pada firman Allah sbb:
إِنَّ فِى خَلْقِ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ
ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ
ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا
مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ[24]
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan”.
4. Memelihara Keturunan
Perlindungan
Islam terhadap keturunan adalah dengan mensyariatkan pernikahan dan
mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana
cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi,
sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang
belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya.
Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat
membawa kepada zina[25].
Sebagaimana
firman Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟[26]
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ
صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا
فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا[27]
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
5. Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Islam meyakini
bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak
untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga mengakui hak pribadi seseorang.
Oleh karena manusia itu sangat tamak kepada harta benda, sehingga mau
mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai
terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai
menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada
orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh
anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.
Perlindungan
Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن
تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا[28]
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Q.S. An-Nisa: 29-32.
Adapun
hal-hal yang menjadi perantara terjaganya lima tujuan tersebut, menurut Wahbah
al-Zuhaili, ada tiga tingkatan kebutuhan yaitu al-dlaruriyat, al-hajiyat dan al-tahsiniyat
(الضروريات
أولاً، ثم الحاجيات، ثم التحسينيات)[29].
Kebutuhan dharuriyat
Dharuriyat adalah tingkat
kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat
kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam,
baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk
dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan
harta[30]. Untuk memelihara lima
hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila
diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk
memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas:
"Dan dalam qisas itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa.”
Ayat tersebut
menerangkan disyariatkannya qisas dengan tujuan agar ancaman
terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.[32]
Kebutuhan al-hajiyat
Al-hajiyat adalah kebutuhan sekunder.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam.
Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan
tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti
dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf[33]. Merupakan contoh
kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak
berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang
membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang
yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan al-tahsiniyat
Al-tahsiniyat adalah kebutuhan yang
tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula
menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi[34] hal yang merupakan
kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata
dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak,
dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah.
Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid,
anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan.
DAFTAR PUSTAKA
al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih al-Adab
al-Mufrad Li al Imam al-Bukhari. Vol. I. T.tp: Dar al-Shadiq, 1421 H.
al-Ghazali,
Imam. al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul. Vol. I. Bairut: Muassasah
al-Risalah, 1997.
al-Hanbali,
Al-Ba’li. Al-Mathla’ ‘Ala Abwab
al-Fiqh. Vol. I. Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1981.
Ibn Madzhur.
Lisan al-‘Arab. Vol. VIII. Bayrut: Dar Shadir, t.th.
Khallaf, Abd
al-Wahhab. Ilm Ushul al-Fiqh, Vol. I.
Mushthafa,
Ibrahim. et.al. al-Mu’jam al-Washith. Vol.I. T.tp: Dar al-Da’wah, t.th.
al-Razi,
Muhammad Ibn Abi Bakar bin Abd al-Qadir. Mukhtar al-Shihhah. Vol.I
Bayrut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1995.
Sukkari, Ammar.
al-Mukhtashar al-Ham Fi al-Khashaish al-Ammah Li al-Islam. Damaskus,
t.p, 2004.
al-Sulami,
Iyadh bin Nami Maqasid al-Syariah, I/43.
al-Syaukani,
Imam. al-Qaul al-Mufid Fi Adillat al-Ijtihad Wa al-Taqlid. Vol.I.
Kuwait: Dar al-Qalam, 1396.
al-Syathibi, Imam. al-Muwafaqat, ed. Masyhur Hasan
Salman. Vol.I. T.Tp: Dar Ibn ‘Affan, 1997.
____________________.
al-Muwafaqat, ed. Abdullah Daraz. Vol. II. Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.th.
____________________.
al-I’tisham. Vol. II. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th.
al-Zuhayli,
Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Vol.I. Damaskus, Dar al-Fikr,
t.th.
[3] Al-Ba’li al-Hanbali, Al-Mathla’ ‘Ala
Abwab al-Fiqh, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1981), 281.
[4] Muhammad Ibn Abi Bakar bin Abd al-Qadir
al-Razi, Mukhtar al-Shihhah, Vol.I (Bayrut: Maktabah Lubnan Nasyirun,
1995), 354.
[5] Ibrahim Mushthafa et.al, al-Mu’jam
al-Washith, Vol.I (t.t: Dar al-Da’wah, t.th), 479.
[6] Ibn Madzhur, Lisan al-‘Arab, Vol.
VIII (Bayrut: Dar Shadir, t.th), 175.
[7] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Vol.I (Damaskus, Dar al-Fikr, t.th), 16.
[9] Al-Qur’an, 51 (al-Dzariyat): 56.
[10] Al-Qur’an, 5 (al-Nisa), 174.
[11]HR. al-Bukhari (كان
خلقه القران). Muhammad Nashiruddin al Albani, Shahih al-Adab al-Mufrad
Li al Imam al-Bukhari, I (t.tp: Dar al-Shadiq, 1421 H), 131. Al-Albani: Shahih
lighairihi.
[12] Al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 112.
[13] Al-Qur’an, 21 (al-Anbiya): 107.
[14] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 143.
[15] Imam al-Syaukani, al-Qaul al-Mufid Fi
Adillat al-Ijtihad Wa al-Taqlid, Vol.I (Kuwait: Dar al-Qalam, 1396), 72.
[16] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 186
[17] Al-Qur’an, 98 (al-Bayyinah): 5.
[18] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat, ed.
Masyhur Hasan Salman, Vol. I(T.Tp: Dar Ibn ‘Affan, 1997), 6.
[19] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat, ed.
Abdullah Daraz, Vol. II (Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.th), 54.
[20] Imam al-Ghazali, al-Mustashfa Min ‘Ilm
al-Ushul, Vol. I (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997), 379.
[21] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa
Adillatuhu, Vol. I (Damaskus: Dar al-Fikr, t.th), 104.
[22] Al-Qur’an, 42 (al-Syura): 13
[23] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 178-179.
[24]Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 164.
[25]Al-Qur’an,
17 (Al-Isra): 32.
[26]Al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 3.
[27] Al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 4.
[29]al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa
Adillatuhu, Vol. I, 104.
[30] Imam al-Syathibi, al-I’tisham, Vol.
II (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th), 39.
[31] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 179.
[32] Iyadh bin Nami al-Sulami, Maqasid
al-Syariah, I/43
[33] Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh,
Vol. I (), 205-207,
[34] Imam al-Syathibi, al-Muwafaqat,
III/118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar