FIQH QURBAN
(Arti, Sejarah, dan Hikmahnya)[1]
Oleh:
DR.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I[2]
Pengertian Qurban
Kata qurban,
diambil dari kata qaruba(fi’il madhi) – yaqrabu(fi’il mudhari’)
– qurban wa qurbanan(mashdar), yang berarti mendekati atau
menghampiri. Menurut Ibn Mandzur, qurban yaitu sesuatu yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.[3]
Menurut istilah, qurban adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa
hewan sembelihan maupun yang lainnya.[4]
Dalam bahasa Arab, hewan qurban disebut juga dengan istilah udhhiyah atau
dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhahi. Kata ini diambil
dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan
untuk melakukan penyembelihan kurban. Dari sini maka hari penyembelihan hewan
qurban kemudian dinamakan dengan Yaum ‘al-Adha.[5]
Ibnu Mandzur menulis dalam Lisan
al-‘Arab tentang makna udhhiyah sebagai berikut:
“Kambing
yang disembelih pada waktu dhahwah, yaitu kala matahari agak meninggi dan
sesudahnya.”
Menurut Sayyid Sabiq, Udh-hiyah adalah
hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban
dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
Swt.[7]
Dalam istilah yang populer,
hewan-hewan kurban disebut dengan hewan adhahi ( أضاحي ), yaitu hewan (unta, sapi, dan kambing) yang
disembelih untuk ibadah ritual pada
tanggal 10 Dzulhijjah setelah usai shalat ‘Idul Adha hingga tanggal 13 bulan
Dzulhijjah.
Sejarah Qurban
Jika
dirunut secara historis, peristiwa penyembelihan hewan kurban ini terjadi sejak
jaman Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Pada zaman Nabi Adam,
kisahnya terdapat pada Surat Al-Maidah ayat 27:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ
مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa".
Allah memerintah Adam agar mengawinkan Qabil dengan saudara
perempuan kembar Habil yang bernama Labuda yang tidak bagus rupa, dan
mengawinkan Habil dengan saudara perempuan kembar Qabil yang bernama
Iqlima yang cantik rupa. Pada saat itu Adam dilarang Allah mengawinkan
perempuan kepada saudara laki-lakinya yang kembar. Namun Qabil menolak hal
ini, sementara Habil menerima. Qabil ingin kawin dengan saudara
perempuan kembarnya sendiri yang cantik rupa. Maka Adam menyuruh kedua anaknya
untuk berkurban, siapa yang diterima kurbannya, itu yang menjadi suami bagi
saudara perempuan kembar Qabil yang cantik. Kemudian kedua anak Adam itu
berkurban, Habil adalah seorang peternak kambing dan ia berkurban dengan Kambing
Qibas yang berwarna putih, matanya bundar dan bertanduk mulus, dan
berkurban dengan jiwa yang bersih. Sementara Qabil adalah tukang
bercocok tanam, Ia berkurban dengan makanan yang jelek, dan niat yang tidak
baik. Maka diterima kurbannya Habil dan tidak diterima kurbannya Qabil. Dan
kurban-kurban itu diletakkan di sebuah gunung dan tanda diterimanya kurban
itu ialah dengan datangnya api dari langit lalu membakarnya. Dan
ternyata api menyambar Kambing Qibas kurbannya Habil,
sebagai tanda diterima kurbannya. Melihat hal demikian Qabil marah, dan
membunuh Habil, saudaranya sendiri.[8]
Pada
masa nabi Idris, bagi kaumnya ditetapkan hari-hari raya pada waktu-waktu yang
tertentu serta berkurban. Di antaranya saat terbenam matahari ke ufuk dan saat
melihat hilal. Mereka diperintah berkurban antara lain dengan al-Bakhur (dupa
atau wangi-wangian), al-Dzabaih (sembelihan), al-Rayyahin (tumbuhan-tumbuhan
yang harum baunya), di antaranya al-Wardu (bunga ros),
dan al-hubub (biji-bijian), seperti al-Hinthah (biji
gandum), dan juga berkurban denganal-Fawakih (buah-buahan),
seperti al-‘Inab (buah anggur). Sedangkan pada zaman Nabi Nuh,
sesudah terjadi banjir, Nabi Nuh membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk
meletakkan kurban, yang nantinya kurban tersebut sesudah diletakkan di tempat
tadi dibakar.
Adapun pada masa Nabi Ibrahim, dapat dipahami dari Al-Qur’an Surat
Ash-Shaffaat ayat 102:
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya
menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan
bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya
di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim
kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya,
Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, syetan menggoda Siti
Hajar: “Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih
anakmu Ismail?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya
Ibrahim mau diapakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah
Allah SWT tersebut. Setibanya di Jabal Kurban, sekitar 200 meter dari tempat
tinggalnya, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.
Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat
Ash-Shaffaat ayat 103-107:
فَلَمَّا
أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103)
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105)
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106)
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan
Kami panggillah Dia: "Hai Ibrahim, “Kamu telah membenarkan mimpi itu,
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar “.
Penyembelihan kurban berlaku juga hingga zaman Nabi Musa As. Nabi
Musa membagi binatang yang disediakan untuk kurban kepada dua bagian, sebagian
dilepaskan saja dan dibiarkan berkeliaran sesudah diberi tanda yang diperlukan.
Dan sebagian lagi disembelih. Pada zaman Bani Israil, jika seorang dari
mereka berkurban, orang-orang keluar menyaksikan apakah kurban mereka itu
diterima atau tidak. Jika diterima datang api putih (Baidha-u) dari
langit membakar apa yang dikurbankan. Jika kurbannya tidak diterima, api itu
tidak muncul. Dan rupa api itu La dukhana laha wa laha dawiyun (api
yang tidak berasap dan berbunyi). Dan bila seorang laki-laki dari mereka (Bani
Israil) bershadaqah, jika diterima turun api dari langit, lalu membakar apa
yang mereka sedekahkan. Nabi Zakaria dan Nabi Yahya adalah di antara nabi dan
rasul dari Bani Israil, pada keduanya ada kurban. Dan kurbannya adalah binatang
dan Amti'atun (barang-barang) lalu dibakar api. Bangsa
Yahudi merupakan sebagian dari bani Israil. Sementara Bani Israil adalah
keturunan Nabi Ya’qub. Nabi Ya’kub bergelar, Israil. Pada
bangsa Yahudi terdapat kurban yang biasa mereka lakukan demikian juga pada
bangsa Nasrani. Kurban pada bangsa Yahudi dan bangsa Nasrani, yaitu melakukan
pengurbanan dengan membakar sebagai sesaji yang bertujuan mengingat-ingat
kesalahan, yaitu dengan menyembelih sapi dan kambing jantan yang mulus, tidak
cacat. Dengan menghidangkan: tepung, minyak dan susu. Kurban karena adanya
ketentraman, sebagai rasa syukur kepada Tuhannya. Kurban pada
bangsa Nasrani, antara lain: Persembahan missa seorang Kahin berupa
roti dan arak. Yang menurut keyakinan pada mereka hakekatnya, roti dan arak
yang mereka kurbankan ditukar dengan daging dan darah al-Masih.
Selanjutnya, bangsa Arab Jahiliyah juga suka berkurban. Qurban mereka
dipersembahkan untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Kurbannya ada binatang
yang disembelih untuk berhala, dan ada binatang yang dilepas bebas berkeliaran,
juga untuk berhala. Cara kurban Arab Jahiliyah, yaitu mereka jika menyembelih
binatang kurban, seperti unta, mereka percikan daging dan darahnya pada al-bait
(ka’bah). Jika mereka menyembelih binatang, memercikan darahnya pada permukaan
ka’bah, dan memotong-motong dagingnya lalu mereka simpan di atas batu.
Selain kurban yang disembelih, juga ada kurban Jahiliyah yang
dilepas untuk sembahan mereka, yaitu Bahirah, saibah, washilah, ham.[9] Sembelihan
Jahiliyyah itu terbagi tiga: 1) Untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang
dipuja. Sembelihan untuk maksud ini dibakar, mereka ambil kulitnya saja, dan
mereka berikan kepada Kahin (dukun), 2) Untuk meminta ampun.
Untuk maksud ini, dibakar separuh, dan separuhnya lagi diberikan kepada kahin (dukun),
3). Untuk memohon keselamatan. Untuk maksud ini mereka makan. Pada waktu Ayah
Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib, belum dilahirkan. Abdul Muthalib pernah
bernazar kepada berhalanya, bahwa jika anaknya laki-laki sudah ada sepuluh
orang, maka salah seorang dari mereka akan dijadikan kurban di muka berhala
yang ada di sisi Ka'bah yang biasa di puja oleh bangsawan Quraisy. Oleh sebab
itu, setelah istri Abdul Muthalib melahirkan anak laki-laki maka mereka itu
genaplah sepuluh orang.[10]
Abdul Muthalib bermimpi pada suatu malam ada suara yang memanggil, yang ia
tidak mengerti maknanya, yaitu: Ihfir Thayyibah!, lalu pada malam
kedua bermimpi lagi: Ihfir Barrah!, berikutnya bermimpi, Ihfir
Madhmunah! dan malam keempat suara dalam mimpinya yaitu: Ihfir
Zamzam!. Setelah itu baru ia mengerti dan bermaksud untuk melaksanakan
mimpinya itu. Sebelum pelaksanaan kurban itu, Abdul Muthalib mengumpulkan semua
anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian telah jatuh pada
diri Abdullah. Padahal Abdullah itu seorang anak yang paling muda, yang paling
bagus rupanya, dan yang paling dicintainya. Tetapi apa boleh buat, undian jatuh
kepadanya, dan Abdullah menurut saja apa yang menjadi kehendak ayahnya.[11]
Seketika tersiarlah kabar di seluruh kota Mekkah, bahwa Abdul Muthalib akan
mengurbankan anaknya yang paling muda. Namun ketika itu orang-orang
Quraisy menolak dan menghalanginya. Hingga mereka mendatangi seorang al-‘Arafat yaitu
kahin di Yatsrib. Kahin Yatsrib menghukumi mereka supaya mengundi antara
Abdullah dengan unta. Bila keluar unta, maka sembelih unta. Jika yang keluar
Abdullah maka setiap kali keluar diganti dengan 10 ekor unta. Lalu mereka
kembali ke Makkah, dan melakukan undian antara Abdullah dengan 10 ekor unta.
Undian pertama keluar Abdullah, lalu diganti dengan 10 ekor unta. Hal ini
berulang sampai undian yang kesembilan yang keluar Abdullah, baru yang
kesepuluh keluar unta. Maka Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan 100
ekor unta untuk berkurban. Dan dengan demikian Abdullah urung untuk dijadikan
kurban oleh ayahnya. Dengan adanya peristiwa itu, maka Nabi Muhammad SAW
setelah beberapa tahun lamanya menjadi Rasul pernah bersabda: “Aku anak
laki-laki dari dua orang yang disembelih "Ibnu Dzabihain".[12]
Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah selama sepuluh tahun. Selama sembilan
tahun beliau tidak menunaikan haji, tetapi setiap tahunnya beliau selalu
qurban. Sedangkan pada tahun kesepuluh beliau haji yang disebut dengan haji
wada’.[13]
Pada saat haji wada’ beliau menyembelih
100 ekor unta untuk hadyu, 63 ekor disembelih dengan tangannya sendiri, dan
lainnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib.[14]
Allah
berfirman:
وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu
sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya,
Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur."(Al
Hajj: 36).
Ayat ini menjelaskan binatang yang dijadikan kurban, tujuan
kurban, cara menyembelih hewan kurban, kapan memakan daging kurban, siapa yang
dapat memakan daging kurban.
Dari syari’at kurban pada zaman Nabi
Ibrahim yang diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW seperti yang diuraikan di atas,
maka umat Islam mengadakan penyembelihan hewan kurban di saat Idul Adha hingga
kini. Allah berfirman dalam Surat Al-Kautsar ayat 1-3:
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1)
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Hikmah
Qurban
1. Bukti
kepatuhan kepada Allah dan cinta yang sempurna;
Qurban adalah pendekatan diri secara sempurna kepada Allah. Qurban
akar kata dari qaraba-yaqrabu-qurbanan, biasanya dalam bahasa Arab kalau
satu kata diakhiri dengan alif dan nun berarti sempurna. Misalnya
Qara-a yaqra-u qira-atan qur'anan, artinya bacaan yang sempurna; irfaanan,
artinya pengetahuan yang sempuna; maka kata qurbaanan, berarti pendekatan
yang sempurna. Untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama kali pada
binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya hewan yang
disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi substansinya seorang yang berkorban tidak
boleh setengah-setengah, harus total-sempurna. Dalam hal ini bisa dikaitkan
dengan sikap Nabi Ibrahim saat diperintahkan untuk menyembelih Ismail, putera
yang sangat disayanginya. Saat itu ia pun secara total dan tanpa ragu, siap
melaksanakannya. Di sini Nabi Ibrahim sanggup memprioritaskan perintah dan
cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada yang lain, termasuk kepada anak
yang sangat dicintainya. Allah menyatakan:
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu
tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha
mengetahui. (QS. Ali Imran, 92).
2. Menumbuhkan
semangat berbagi, peduli kepada sesama, terutama terhadap kaum dhu’afa;
Setelah hewan qurban disembelih, maka
daging-dagingnya kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, terutama kepada
kaum dhu’afa. Kepedulian kepada sesama,
terutama kepada kaum dhu’afa yang sangat membutuhkan, bisa bernilai lebih
tinggi daripada ibadah haji (sunnah) sekalipun.
Ada kisah, dulu Ibnul Mubarak (w.181 H) pergi haji sunah (berhaji
untuk ke sekian kali). Di tengah jalan dia bertemu seorang anak perempuan
sendirian mengambil seekor burung yang baru mati. Lalu dia bertanya kepada anak
perempuan itu, ''Hai kenapa kau ambil burung yang sudah mati?'' Perempuan kecil
itu menjawab, ''Saya sudah tiga hari tidak makan sementara di rumah saya punya
adik-adik yang kelaparan karena tidak ada yang bisa dimakan.'' Apa yang dia
lakukan Ibnul Mubarak? Dia batalkan hajinya, uang buat ongkos perjalanan
hajinya dia berikan kepada anak itu.[15]
Itu prioritas. Kita ini biasa beragama itu tidak melihat apa yang prioritas.
Kita biasa beragama melaksanakan seperti apa yang kita sukai bukan seperti apa
yang disukai Allah. Secara syariat mungkin sudah betul tapi ada yang jadi
prioritas utama. Boleh jadi substansinya belum masuk atau boleh jadi
substansinya sudah masuk tapi ada yang lebih penting. Nah, ini yang harus
diambil pelajaran atau hikmah dari ibadah qurban. Nabi Saw bersabda:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ - أَوْ قَالَ لِجَارِهِ - مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِه
Tidaklah
seorang di antara kamu dikatakan mukmin hingga ia sanggup mencintai saudara
atau tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari No. 13;
dan Muslim No. 179).
3. Tidak
boleh melecehkan manusia;
Dari peristiwa Nabi Ibrahim yang begitu total
dalam mematuhi perintah untuk menyembelih Ismail, dan akhirnya Allah
menggantikan Ismail dengan seekor hewan qibas untuk disembelihnya, hal ini
mengandung pelajaran, yakni jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal kalau
untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Selain itu, di sisi lain jangan sekali-kali melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil
hak-hak manusia karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi Allah.
Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor
binatang. Dalam hadis dikisahkan, suatu ketika Abu Jurayy, Jabir bin
Sulaim berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat
kepadaku”. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat:
« لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا ».
“Janganlah engkau menghina
seorang(siapa) pun.”
قَالَ
فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ شَاةً
Abu
Jurayy Jabin bin Sulaim berkata, “Aku pun tidak pernah menghina seorang pun
setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun
seekor domba.” (HR. Abu Dawud No. 4086). Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abu al-Baqa, Tarikh al-Makkah al-Musyrifah,
Vol. I. Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud
al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih
al-Targhib Wa al-Tarhib, Vol. III.
Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.th.
Bin Baz, Majmu’ Fatawa bin Baz,
Vol.XVIII/38;
Al-Bukhari, Hadis Shahih al-Bukhari
Al-Bukhari, Hadis Shahih al-Bukhari
Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, Vol. V.
Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987.
Ibn Mandhur. Lisan al-‘Arab. Vol. I.
Bayrut: Dar Shadir, t,th.
Ibn Mandhur. Lisan al-‘Arab, Vol. XIV, 474.
Ibrahim Mushthafa et al., al-Mu’jam
al-Wasith, Vol. II. T.tp: Dar al-Da’eah, t.th.
Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah,
Vol. I. al-Jaizah: Hajr Li al-Thiba’ah Wa al-Nasyr, 1997.
Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah,
Vol. X, 178
Ibn Hisyam. Sirah Ibn Hisyam,
I/151-154.
Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Vol.
II/ 337.
Muslim, Hadis Shahih Muslim
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Vol.
VI/304.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah,
III/326.
Al-Thabari, Tarikh al-Umam Wa al-Rusul Wa
al-Muluk, Vol. I. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih Majmu Fatawa Ibn al’Utsaimin, Vol.XXV/42.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih Majmu Fatawa Ibn al’Utsaimin, Vol.XXV/42.
al-Yusufi, Muhammad Hadi. Mausu’ah
al-Tarikh al-Islami. Vol. I. T.tp: Majma’ al-Fikr al-Islami, 1420 H.
Berbagai referensi bacaan dari sumber-sumber internet dan lain-lain.
Berbagai referensi bacaan dari sumber-sumber internet dan lain-lain.
[1] Makalah disampaikan pada Seminar Fiqh Qurban
yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Mhammadiyah (PDM) Sidoarjo pada Ahad,
6 Agustus 2017.
[2] Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo (UMSIDA), dan Ma’had Ali Masjid Al Akbar Surabaya.
[8] Al-Thabari, Tarikh al-Umam Wa al-Rusul Wa
al-Muluk, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H), 88. Ibn
Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, Vol. I (al-Jaizah: Hajr Li al-Thiba’ah
Wa al-Nasyr, 1997), 216-217.
[9] Muhammad Hadi al-Yusufi, Mausu’ah
al-Tarikh al-Islami, Vol. I (T.tp: Majma’ al-Fikr al-Islami, 1420 H), 117.
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Said bin Musayyab yang telah
mengatakan bahwa bahirah ialah unta betina yang air susunya
dihadiahkan untuk berhala-berhala, maka tidak ada seorang pun yang berani
memerah air susunya. Saibah ialah unta betina yang mereka
lepaskan begitu saja dibiarkan demi untuk berhala-berhala mereka, maka unta
tersebut tidak boleh dibebani sesuatu pun. Wasilah ialah unta
betina yang sewaktu melahirkan anak unta pertama kalinya betina setelah ia
beranak lagi secara kembar yang kedua-duanya betina; induk unta itu dibiarkan
terlepas bebas jika anak-anaknya itu tidak ada yang jantan yang memisahkan
antara kedua anaknya itu. Hal ini mereka lakukan demi berhala-berhala mereka.
Dan ham ialah unta pejantan yang dipekerjakan dalam masa yang
telah ditentukan dan jika masanya telah habis lalu mereka membiarkannya bebas
demi untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala sesembahan mereka. Selain
dari itu mereka membebaskannya dari segala muatan dan beban hingga ia tidak
lagi disuruh membawa apa pun dan nama lain dari jenis unta itu ialah hami.
(Akan tetapi orang-orang kafir selalu membuat kedustaan terhadap Allah) dalam
hal tersebut kemudian mereka mengaitkannya kepada Allah (dan kebanyakan mereka
tidak mengerti) bahwa perkara tersebut merupakan kedustaan karena mereka dalam
hal ini hanyalah mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka
(HR. al-Bukhari No. 4623).
[10] Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam,
I/151-154. Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, Vol. V (Bayrut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1987), 230.
[11] Abu al-Baqa, Tarikh al-Makkah
al-Musyrifah, Vol. I (Baurut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H), 136.
[13]
Hadis shahih riwayat Muslim No. 3009.
(فَقَالَ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَكَثَ تِسْعَ سِنِينَ لَمْ يَحُجَّ
ثُمَّ أَذَّنَ فِى النَّاسِ فِى الْعَاشِرَةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- حَاجٌّ)
[14] Bin Baz, Majmu’ Fatawa bin Baz,
Vol.XVIII/38; Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Majmu Fatawa Ibn
al’Utsaimin, Vol.XXV/42. (فمكث تسع سنين ، يضحي فيها كل
سنة ، ثم حج في العاشرة ، فأهدى ولم يضح .
ويحمل حديث ابن عمر - على فرض ثبوته - على أنه صلى الله عليه وسلم ضحى كل عام ما خلا عام حجه .
والله أعلم )
ويحمل حديث ابن عمر - على فرض ثبوته - على أنه صلى الله عليه وسلم ضحى كل عام ما خلا عام حجه .
والله أعلم )
[16] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih
al-Targhib Wa al-Tarhib, Vol. III
(Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.th), 37.
Assalamualaikum...maaf saya mau nanya.
BalasHapuskak jika kita melaksanakan kurban seminggu setelah lebaran idul adha,hukum itu gimana yah kak?
wassalam
Akikah Jogja