HUKUM
SHALAT JUMAT DI JALAN
Oleh
Dr.H.Achmad
Zuhdi Dh, Fil I
Fatwa tentang “hukum shalat Jumat di jalan”
belakangan ini menjadi isu yang rame diperbincangkan. Hal ini merespon rencana
gelar sajadah di Monas dan sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin yang
berpusat di Bundaran HI Jakarta, pada 2 Desember 2016 yang akan dilakukan
oleh jutaan umat Islam dengan agenda shalat Jumat dan doa untuk keselamatan NKRI.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj
menegaskan bahwa shalat Jumat di jalan raya tidak sah, bahkan bisa haram jika
menggangu ketertiban umum dan masalah social (http://www.nu.or.id ). Pandangan ini
kemudian dibantah oleh tokoh dari kalangan NU garis lurus, KHM. Luthfi Rochman
yang ditulis dalam laman nugarislurus.com dengan judul: “Meluruskan Fiqh PBNU:
Sholat Jum’at Di Jalan Sah Dan Boleh Jika Darurat”. Rochman mengutip pendapat
Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
قال
أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة
في القرية أو البلدة
“Berkata sebagian ashab kami (dari
mazhab Syafi’ie) bahwa sholat jum’at tidak disyaratkan didalam masjid tetapi
boleh di lapangan terbuka dengan syarat lapangan atau tempat terbuka itu ada di
dalam desa atau daerah negara yang sudah ditetapkan batas-batas wilayahnya (Majmu’ Syarah Muhadzzab, juz IV/334 dan juz IV/501).
Pandangan
Rochman tersebut dipertegas lagi oleh KH. Sholahuddin Wahid bahwa shalat Jumat di jalan diperbolehkan sepanjang memenuhi
kondisi yang memungkinkan untuk dilaksanakan di jalan. Misalnya,
saat kondisi masjid penuh tidak bisa menampung jamaah (http://obsessionnews.com/tokoh-nu-silang-pendapat-soal-shalat-jumat-di-jalan/)
Terjadinya perbedaan pendapat
mengenai sah atau tidaknya shalat Jumat di jalan (di luar masjid) dikarenakan adanya
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adanya perbedaan mengenai syarat shahnya
tempat shalat Jumat. Sebagian ulama (Malikiyah) mensyaratkan tempatnya harus di
masjid, sebagian ulama yang lain lain (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)
tidak mensyaratkannya;
Kedua, terdapat hadis Nabi yang menyatakan:
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا
وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
Dan dijadikan untukku bumi ini
sebagai masjid dan suci. Maka dimanapun umatku
menemui waktu shalat, maka shalatlah (HR. al-Bukhari No.438 dan Muslim
No. 1190).
Juga hadis sebagai berikut:
الأَرْضُ
كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Semua tempat di muka bumi adalah
masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.”
(HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745;
Abu Daud, no. 492. Ahmad, no 11788). Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih (Misykat al-Mashabih, I/162).
Ketiga,
ada riwayat (atsar) yang menerangkan sebagai berikut:
حدثنا
عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم
كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah,
dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah bahwasannya
para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) menanyakan tentang
shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan: “Lakukan Shalat Jum’at dimana saja
kalian berada” (HR. Ibnu Abi Syaibah,
2/11). Al-Albani: sanadnya shahih (Irwa al-Ghalil, III/66).
Keempat, ada hadits
dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ
وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى
مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh
tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4)
tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas
Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746). Al-Albani: hadis
ini dha’if (Irwa al-Ghalil, I/318).
Kelima,
Nabi shalat Jumat pertama kali di Wadi Ranuna (وادى الرانوناء) pada 16 Rabi al-Awwal 1 H hari keempat setelah
tiba di Quba. Untuk mengenang sejarah maka tempat shalat jumat tersebut kemudian
didirikan sebuah masjid yang diberi nama masjid al-Jumah.Pendapat Empat Imam Madzhab tentang shalat jumat di luar masjid.
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu ‘Ala
al-Madzāhib al-Arba’ah (I/602) menyebutkan
perbedaan mengenai masalah ini sebagai berikut:
اتفق
ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء وقال المالكية: لا تصح إلا في
المسجد
Tiga Imam
madzhab (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat mengenai kebolehan shalat Jum’at
di tempat terbuka, lapang (di luar masjid). Sedangkan Malikiyah berpendapat
bahwa shalat Jum’at tidak sah, kecuali di masjid.
Pendapat
Malikiyah:
لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء
بل لا بد أن تؤدي في الجامع
Tidak sah
melaksanakan shalat Jum’at di rumah dan di tempat terbuka, tetapi harus
ditunaikan di dalam masjid jami’.
Pendapat
Hanabilah:
تصح
الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن
قريبا فلا تصح الصلاة وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف
Sah shalat
Jum’at yang dilakukan di tempat terbuka (di luar masjid) jika dekat dengan
bangunan. Ukuran dekat yang teranggap sesuai dengan kebiasaan. Jika tidak dekat
-secara adat- maka shalatnya tidak sah. Jika imam shalat Jum’at di gurun pasir
maka ia mewakilkan orang untuk shalat dengan masyarakat.
Pendapat
Syafi’iyah:
تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من
البناء وحد القرب عندهم المكان الذي لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل
عنده وسيأتي تفصيله في مباحص " قصر الصلاة " ومثل الفضاء الخندق الموجود
داخل سور البلد إن كان لها سور
Sah shalat
Jum’at di tempat terbuka jika dekat dengan bangunan. Ukuran dekatnya menurut
mereka ialah jarak yang seorang musafir tidak boleh mengqashar shalat ketika
sampai pada jarak itu. Contoh fadha (tempat terbuka) seperti halaman yang
terletak di dalam pagar negeri jika memiliki pagar.
Sebagai
tambahan, Ibnu Hajar Al-Haitsami As-Syafi’i menjelaskan:
أَنَّ
الْجُمُعَةَ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ إقَامَتِهَا الْمَسْجِدُ كما صَرَّحُوا بِهِ
فَلَوْ أَقَامُوهَا في فَضَاءٍ بين الْعُمْرَانِ صَحَّتْ
“Sesungguhnya
Jum’at tidak disyaratkan keshahannya di masjid. Sebagaimana mereka secara tegas
berpendapat sekiranya mereka melaksanakan shalat Jum’at di tempat terbuka di
antara gedung atau bangunan maka shalatnya sah.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubra, I/234).
Pendapat
Hanafiyah:
لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد
بل تصح في الفضاء بشرط أن لا يبعد عن المصر بأكثر من فرسخ وأن يأذن الإمام بإقامة
الجمعة فيه كما تقدم في الشروط
Sahnya shalat
Jum’at tidak dipersyaratkan harus di masjid. Bahkan sah ditunaikan di tempat
terbuka. Dengan syarat tidak jauh dari kota lebih dari
empat farsakh (3 mil) dan Imam mengizinkan untuk menunaikan Jum’at di
situ.
Dari sekian ulama yang berpendapat tentang hukum shalat Jumat di
jalan atau di luar masjid, maka dapat diketahui bahwa mayoritas ulama berpendapat
boleh shalat Jumat di luar masjid, lebih-lebih jika masjid yang tersedia tidak
bisa menampungnya. Wallahu A’lam bishshawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar