RIDHA
MEMBAWA BERKAH
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Nabi
Saw bersabda:
وَارْضَ
بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ(رواه الترمذى
وحسنه الالبانى)
Ridhalah dengan
apa yang diberikan Allah kepadamu, maka kamu akan menjadi orang yang paling
berkecukupan.
(HR.
al-Tirmidzi No.2305; al-Albani menilainya hasan)
Hidup ini
dinamis, tidak ada yang tetap, yang tetap adalah perubahan. Jadi, perubahan
itulah yang menjadi ketetapan dalam kehidupan ini. Sehat-sakit, senang-sedih,
sukses-gagal, dan lain sebagainya adalah merupakan kondisi yang pernah dialami
oleh manusia yang pernah hidup di dunia ini.
Setiap pejuang
pasti pernah mengalami kegagalan. Memang, ketika menemui kegagalan, rasanya
tidak semudah memahami kegagalan sebagai sebuah tahapan. Saat kita diterpa
kerugian, kebangkrutan, penolakan, penilaian buruk, dianggap tidak berprestasi,
mendapat Surat Peringatan (SP), hingga di PHK, terkadang kita merasakan seakan semuanya
sudah berakhir dan tidak ada lagi masa depan.
Ada dua hal
yang terkait dengan sebuah kegagalan. Pertama adalah gagal sebagai sebuah
pengetahuan. Maksudnya adalah mengetahui banyak hal tentang
kegagalan, dari mulai kenapa seseorang gagal hingga bagaimana menghadapi
kegagalan. Kedua adalah merasakan kegagalan itu dan berhasil melaluinya. Intinya,
yang pertama berhasil memahaminya dan yang kedua berhasil melaluinya. Dari
sinilah banyak orang sukses kelas dunia yang mengalaminya.
Lihat
Michael Jordan (pemain basket kelas dunia), ia
pernah gagal masuk tim basket SMA sebelum berhasil menjadi top player NBA. Thomas A Edison (penemu
bola lampu), pernah gagal 1000 kali sebelum berhasil menemukan bola lampu. Albert
Einstein (Ilmuan), genius tapi tidak bisa bicara sampai umur 4 tahun.
Ia juga tidak bisa membaca sampai umur 7 tahun. Ia juga sempat dikeluarkan dari
sekolah. Sekarang, siapa yang tidak tahu dengan teori relativitas yang sangat
terkenal itu.
Begitulah
kehidupan manusia, terkadang harus berhadapan dengan kesusahan dan kesulitan,
dan pada kesempatan lain berhadapan dengan kesenangan dan kemudahan. Semua itu
sudah menjadi ketetapan atau “takdir” Allah Swt. Manusia tidak bisa
menghindarinya. Jika manusia bisa bersikap ridha dengan apapun yang menimpanya,
maka hatinya akan tenang, tegar dan kuat. Orang-orang yang seperti inilah,
ketika tertimpa musibah ia akan sabar, kemudian dalam kesabaran dan ketabahannya
itu ia terus berusaha mencari solusinya, tidak pernah menyerah dan tidak
berputus asa. Orang-orang yang seperti inilah yang dapat membawa kehidupannya
lurus, terkelola dengan baik dan berujung dengan membawa berkah.
Alkisah, pada
suatu hari Syeikh Syaqiq al-Balkhi membeli buah semangka untuk istrinya. Saat
disantapnya ternyata buah semangka tersebut terasa hambar.
Sang isteri pun marah-marah. Syaqiq al-Balkhi menanggapi dengan tenang amarah istrinya itu. Setelah selesai amarahnya, al-Balkhi bertanya kepada isterinya dengan halus: “Kepada siapakah engkau marah wahai istriku? Kepada pedagang buahnya kah? Atau kepada pembelinya? Atau kepada petani yang menanamnya? Ataukah kepada yang Menciptakan buah semangka itu?” Tanya Syaqiq al-Balkhi. Saat itu istrinya tertunduk diam.
Sang isteri pun marah-marah. Syaqiq al-Balkhi menanggapi dengan tenang amarah istrinya itu. Setelah selesai amarahnya, al-Balkhi bertanya kepada isterinya dengan halus: “Kepada siapakah engkau marah wahai istriku? Kepada pedagang buahnya kah? Atau kepada pembelinya? Atau kepada petani yang menanamnya? Ataukah kepada yang Menciptakan buah semangka itu?” Tanya Syaqiq al-Balkhi. Saat itu istrinya tertunduk diam.
Sembari
tersenyum, Syaqiq al-Balkhi melanjutkan perkataannya: “Seorang pedagang tidak menjual
sesuatu kecuali yang terbaik. Seorang pembeli pun pasti membeli sesuatu yang
terbaik pula. Begitu pula seorang petani, tentu saja ia akan merawat tanamannya
agar bisa menghasilkan yang terbaik. Maka sasaran kemarahanmu berikutnya yang
tersisa, tidak lain hanya kepada yang Menciptakan semangka itu!”. Pertanyaan
Syaqiq al-Balkhi tersebut menembus ke dalam hati sanubari istrinya. Maka, terlihatlah
butiran air mata menetes perlahan di kedua pelupuk matanya… Syeikh Syaqiq
al-Balkhi pun melanjutkan ucapannya :“Bertakwalah wahai istriku! Terimalah (ridhalah)
apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya, agar Allah memberikan keberkahan pada
kita”. Mendengar nasehat suaminya itu… Sang istri pun sadar, menunduk dan
menangis mengakui kesalahannya dan kemudian ridha dengan apa yang telah Allah Swt
tetapkan.
Pelajaran
terpenting buat kita adalah bahwa apa pun yang menimpa kita, apapun yang
diberikan kepada kita, apapun yang dapat kita raih saat itu adalah merupakan
sesuatu yang harus kita terima sebagai pemberian Allah Swt. Apapun bentuknya,
berapaun jumlahnya. Jika pemberian itu menyenangkan, maka kita syukuri kemudian
berbagi. Jika pemberian itu tidak menyenangkan, maka kita terima dengan
kesabaran sambil merenungkan apa hikmah di balik itu.
Jika kita
mengeluh, maka saat itu sama saja kita tidak ridha dengan ketetapan Allah,
seakan Allah tidak adil dalam membuat keputusanNya. Jika demikian sikap kita,
maka pemberianNya tadi tidak akan membawa keberkahan dalam kehidupan kita,
berkah Allah pun akan jauh dari kita.
Berkah (barakah) bukanlah serba cukup dan berlebih,
akan tetapi berkah ialah bertambahnya kebaikan dan ketaatan kita kepada Allah
dengan segala keadaan yang ada, baik yang kita sukai atau sebaliknya. Makanan
berkah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tetapi makanan yang mampu
membuat orang yang memakannya menjadi sehat dan lebih taat kepada Allah setelah
memakannya. Hidup yang berkah bukan hanya dengan sehat-bugar, tetapi juga rajin
dan kuat dalam beribadah kepada Allah Swt. Sakit pun bisa menjadi berkah ketika
dengan sakit itu menjadikan sadar dari kekeliruannya, bertaubat dari kesalahannya,
dan semakin dekat dengan Allah Swt. Nabi Ayyub alaihissalam pernah mengalami
sakit hingga 18 tahun. Karena kesabaran dan ketabahannya, sakitnya itu membawa
berkah baginya dengan menjadikannya
bertambah taat kepada Allah Swt.
Berkah itu tak
selalu panjang umur, ada orang yang umurnya pendek, tidak sampai 50 tahun,
tetapi luar biasa karya peninggalannya, sehingga banyak umat manusia di dunia
ini yang bisa memanfaatkannya. Misalnya Imam al-Nawawi, meski usianya hanya 45
tahun, karya-karyanya luar biasa, seperti Syarh Shahih Muslim, Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, Riyadhus Shalihin, dan masih banyak lagi buah karya lainnya yang
sampai sekarang menjadi acuan bagi umat Islam yang mendalami ajaran agamanya.
Penghasilan yang berkah juga bukan karena gaji
atau pendapatan yang besar dan berlimpah, tetapi sejauh mana ia bisa menjadikan
jalan baginya untuk hidup baik, gemar berbagi, dan semakin taat kepadaNya. Anak-anak
yang berkah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut kemudian setelah dewasa
mereka sukses bergelar dan berhasil menyandang jabatan yang prestisius, tetapi
anak yang berkah ialah anak yang senantiasa berbakti kepada Allah Swt dan tak
henti-hentinya mendo’akan kedua orang tuanya untuk kebahagiaan mereka di dunia
dan akhirat.
Dalam hidup ini
terkadang kita tidak sanggup menerima nasib buruk yang menimpa kita. Padahal,
bisa jadi keadaan yang tidak menyenangkan (nasib buruk) saat itu hanyalah
sebuah tahapan menuju kesuksesan besar dan kebahagiaan sejati. Allah Swt
berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
…boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah, 216)
Jika kita yakin bahwa Allah itu maha
Baik, seharusnya kita juga yakin bahwa apa pun dan berapa pun yang Allah
berikan kepada kita, pasti baik pula untuk kita. Karena itu kita harus ridha
dengan ketetapanNya. Nabi Saw menyatakan: “Ridhalah dengan apa yang diberikan
Allah kepadamu, maka kamu akan menjadi orang yang paling berkecukupan. (HR.
al-Tirmidzi No.2305).