TAWADHU’
Oleh:
Achmad
Zuhdi Dh
Tawadhu’
adalah salah satu akhlak yang sangat agung dan terpuji. Allah Swt mengingatkan kepada kita dengan firmanNya:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang lebih mengetahui
orang yang bertakwa (QS. Al-Najm, 32)
Pengertian Tawadhu’
Fudhail bin Iyad: tawadhu’ itu menganggap dirinya tidak (lebih) berharga
daripada yang lain;
Al-Junaid: tawadhu’ itu
merendahkan sayap kepada siapa pun dan
bersikap lembut kepada mereka;
Abu Yazid:Tawadhu’ itu adalah tidak menunjukkan dirinya akan kedudukannya,
dan meletakkan dirinya paling rendah daripada yang lain.
Jadi, tawadhu’
itu adalah menyadari bahwa dirinya tidak lebih berharga daripada yang lain,
selalu berusaha menghargai dan menghormati orang lain (siapa pun) disertai
sikap ramah dan santun, dan berusaha menyembunyikan kelebihan atau
kedudukannya, serta meletakkan dirinya paling rendah dariapada yang lain.
Tawadhu’nya Nabi Saw:
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi
Saw biasa memberi makan unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal,
menambal baju, memeras susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling
gandum bila pelayanannya lelah. Beliau tidak pernah merasa malu membawa barang-barang beliau
sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan siapa
pun, kaya maupun miskin dan lebih dulu memberi salam bila bertemu. Beliau tidak
pernah menceala makanan apapun yang di hidangkan kepadanya, sekalipun hanya
berupa kurma kering. Beliau sangat
sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, baik dalam
berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tanpa tertawa, sedih tapi tidak
cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tapi todak boros. Beliau
berhati lembut dan kasih saying kepada setiap muslim. Tidak pernah
memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan tidak pernah mengulurkan
tangan dengan rakus.
Tawadhu’nya Umar ra
Urwah b. Zubair menceritakan: Suatu
ketika Umar ra membawa segalon air di pundaknya untuk diantarkan ke rumah
wanita tua, karena muncul perasaan “GR” atau tinggi hati saat menerima
delegasi. Hal ini dilakukan untuk melenyapkan rasa sombong yang tiba-tiba
muncul dalam hatinya.
Umar sangat
takut ketika di hatinya muncul perasaan hebat, merasa lebih dari yang lain. Beliau
teringat dengan petingatan dari Rasulullah Saw:
حَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يَرْتَفِعَ
شَيْءٌ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا وَضَعَه
Kebenaran atas Allah bahwasanya tiada sesuatu pun di dunia ini yang
menyombongkan diri melainkan Allah akan merendahkannya (HR.
Al-Bukhari No. 2872).
Tawadhu’nya
Abu Dzar al-Ghiffari
Suatu saat Abu Dzar bertengkar
dengan Bilal, lalu Abu Dzar mengolok-olok Bilal dengan kejelekannya seperti
kulitnya hitam, dsb. Rasul mengingatkan: “Di hati Abu Dzar masih ada sifat-sifat sombong gaya jahiliyah”. Abu Dzar
menyesal kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah dan tidak mengangkatnya sebelum
kaki Bilal menginjakkan di kepalanya.
Tawadhu’nya Umar bin Abd Aziz
Pada suatu malam Umar b Abd Aziz
sedang menulis, lalu kedatangan tamu,. Waktu itu lampunya hampir mati lantaran
minyaknya hampir habis. Tamunya menawarkan diri untuk mengambilkan minyak lampu
itu, tetapi ditolaknya karena tidak mau menjadikan tamu seperti pelayan.
Kemudian tamu tadi berkata: kalau begitu biarlah saya panggilkan pelayan, tetapi Umar b. Abdul Azis menolak karena
pelayannya baru saja istirahat. Akhirnya beliau sendiri yang mengambil minyak dan mengisinya ke
dalam lampu itu. Dengan penuh keheranan sang tamu berkata: “Tuan melakukan pekerjaan ini
sendiri, wahai Amirul Mukminin?”. Beliau mengatakan: “Aku
melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula”.
Fadhiah
Tawadhu’
وَمَا تَوَاضَعَ
أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Dan tiada seorang pun yang bersikap rendah hati karena Allah, kecuali Allah
akan mengangkat derajatnya (HR. Muslim No. 6757)
Bahaya Sombong
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ
يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ(رواه مسلم)
Dari Ibn Mas’ud ra, Nabi Saw bersabda: “tidak akan masuk surga siapa saja
yang di hatinya ada sedikit kesombongan. Seseorang bertanya, bagaimana orang
yang menyukai baju dan sandal yang bagus? Allah itu indah dan suka pada
keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.(HR.
Muslim No.275).
Cara menghindari kesombongan
Abu Husen al-Warraq berkata:
وَاِذَا وَقَعَ فِى
قُلُوْبِنَا اِحْتِقَارُ اَحَدٍ قُمْنَا بِخِدْمَتِهِ والْاِحْسَانِ اِلَيْهِ
حَتَّى يَزُوْلَ
Apabila di hati kami ada perasaan meremehkan orang, maka kami berusaha
menjadi pelayan baginya dan berbuat baik (ihsan) kepadanya hingga “perasaan” itu
hilang.
Hakikat Ihsan
روى ابن أبي حاتم
عن الشعبي قال : قال عيسى بن مريم عليه السلام :
« إِنَّماَ
الْإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ، لَيْسَ الْإِحْسَانُ
أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ » .
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari al-Sya’bi, Isa as bersabda: “Hakikat ihsan
itu adalah engkau sanggup berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat
/buruk kepadamu. Tidaklah dikatakan ihsan jika engkau berbuat baik kepada orang
yang telah berabuat baik kepadamu (Al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, XXI/36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar