UPACARA SELAMATAN DAN RITUAL KEMANTEN JAWA,
AGAMA ATAU BUDAYA?
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Asal-usul kepercayaan orang Jawa
Dalam buku Simbolisme dalam Budaya Jawa,
Budioano Herusatoto mengatakan, bahwa suku bangsa Jawa zaman purba mempunyai
pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua
benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri.[2] Selain animisme, pada mereka juga mempunyai
pandangan Dinamisme, yaitu kepercayaan akan adanya tenaga magis pada manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda, juga dalam sebuah kata yang
diucapkan atau ditulis pada tanda yang dipasang, dan sebagainya.
Menurut
I. Djumhur, antara Dinamisme dan Animisme tak dapat dipisah-pisahkan, tidak ada
bangsa primitif yang hanya mempunyai kepercayaan Dinamisme saja dan
mengenyampingkan Animisme. Kedua gejala berpikir itu dapat kita jumpai pada
suatu bangsa yang sama.[3]
Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa apabila orang itu punya ilmu tinggi,
maka ia akan mengalami kesulitan apabila akan mati, karena dia menyimpan tenaga
magis. Gejala ini adalah merupakan kepercayaan Dinamisme. Selanjutnya ada juga
kepercayaan, bahwa bila orang itu mati harus ditutupi semua lubang yang ada
pada tubuh mayat, agar nyawa yang ada pada tubuh itu terlindungi dari
pengaruh-pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme.
Animisme
dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang dimiliki orang
Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini, maka orang-orang Jawa pada
zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-benda alam.
Ketundukan ini lahir dalam bentuk menyembah dan mempertuhankannya. Untuk mengungkapkan
perasaannya dan ketundukannya kepada sesembahannya itu dibuatlah gambar-gambar
dan tata cara tertentu.[4]
Suatu misal untuk mencegah kekuatan yang bisa menimbulkan penyakit atau banjir
atau gempa bumi atau hama tanaman, maka dipersembahkanlah sajian-sajian (sesajen)
untuk benda-benda yang dianggapnya punya roh dan kekuatan itu.[5]
Kemudian
kira-kira pada tahun 400 M, datanglah orang-orang India ke Pulau Jawa untuk
berdagang yang membawa pula agama Hindu dan Budha dan kemudian berkembanglah
kedua agama itu di Pulau Jawa.
Di
antara pengaruh yang jelas dari kebudayaan Hindu dan Budha terhadap orang Jawa
dapat dilihat pada tindakan religius
orang Jawa. Penghormatan dan pemujaan yang pada mulanya dilakukan oleh
orang Jawa terhadap kekuatan benda dan roh-roh, kini pemujaan itu dialihkan
pada dewa-dewa yang menguasai benda-benda dan roh-roh itu. Kalau pada Animisme
dan Dinamisme percaya pada kekuatan bulan, maka oleh Hindu kemudian kepercayaan
itu ditambahi dengan adanya dewa yang menjaga dan menguasai bulan itu, Dewa
Candra; begitu juga pada matahari yang dipercayai secara Animistis dan
Dinamistis akhirnya pun dilengkapi dengan adanya kepercayaan adanya dewa yang
menjaganya, Dewa Surya, dan lain-lain. Ini adalah hasil assimilasi kepercayaan
Animisme-Dinamisme dengan Hindu-Budha. Hasil assimilasi yang lain adalah
munculnya kepercayaan terhadap Dewi Sri, tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang
melindungi tanaman padinya dari gangguan hama tanaman,yang dianggapnya berasal
dari roh-roh jahat. Kemudian tokoh Bathara Kala adalah simbol pembawa
malapetaka bagi orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang telah ditetapkan oleh Bathara Guru, raja segala
dewa untuk menjadi mangsa Bathara Kala. Untuk menghindarkan diri dari
mangsanya, orang harus diruwat atau dibebaskan dari incaran dan ancaman Bathara
Kala; yaitu dengan mengadakan selamatan. Untuk ini, upacara selamatan dalam
upaya membebaskan diri dari padanya, biasanya diadakan pagelaran wayang
dengan mengambil lakon (cerita) Murwakala.[6]
Kemudian
pada abad XIII M, Islam sudah masuk ke Indonesia. Ia dibawa oleh orang-orang
Persi dan orang-orang Gujarat. Orang-orang Persi membawanya ke Gujarat, kemudian
keduanya, bersama-sama atau sendiri-sendiri membawanya ke Indonesia.[7]
Dari
Persia, Islam yang sudah berbau mistik itu (mistik Islam, tasawuf), singgah di
Gujarat-India. Di sini ia berkembang dan
bersentuhan dengan agama
Hindu yang mistis itu. Dari sebab itu penyiar pertama agama Islam di Indonesia
bisa dimungkinkan dari ahli-ahli tasawuf, dan juga orang-orang Syi’ah. Walaupun
nanti ternyata bahwa pengaruh Syi’ah tidak sebesar Tasawuf.
Setelah ajaran Islam masuk ke dalam hati orang
Jawa yang sebelumnya sudah diwarnai oleh Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha,
pada akhirnya muncullah dua golongan kepercayaan dalam masyarakat Jawa.
Golongan
Putihan atau kelompok santri, adalah golongan orang yang taat beragama Islam.
Namun, pada mereka agaknya tidak bisa menghilangkan begitu saja
pengaruh-pengaruh kepercayaan pra Islam. Ciri golongan ini adalah ketaatannya
untuk melakukan shalat lima waktu sehari semalam dan berpuasa di bulan Ramadan.
Faktor penyebab sulitnya menghilangkan kepercayaan pra Islam bagi orang Jawa,
menurut Sufaat M, hal ini dikarenakan para wali yang merupakan arsitek
penyiaran Islam di Jawa mengambil garis lunak terhadap unsur-unsur kepercayaan
lama. Mereka adalah orang-orang Tasawuf yang cukup toleran, dan menyadari bahwa
periode mereka adalah periode transisi.[8]
Golongan Abangan atau Islam Kejawen,
adalah orang Jawa yang meskipun ia penganut agama Islam, tidak begitu saleh dan
alim, tidak begitu sungguh menjalankan agama, bahkan mereka tidak perlu sembahyang
Jum’at, berpuasa, dan lain-lain.[9] Golongan abangan ini terbagi menjadi dua:
Golongan wong cilik, yaitu
golongan yang dasar kepercayaannya adalah Animisme dan Dinamisme. Kalau dulu
kepercayaannya hanya dilengkapi dengan unsur Hindu-Budha, maka sekarang
mendapat tambahan unsur baru, yaitu Islam. Bahkan Islam di sini selain menjadi unsur
tambahan juga menjadi bungkus. Golongan ini mempunyai acara inti berupa
selamatan atau sesaji. Mereka yang tinggal bersama-sama dalam suatu
lingkungan daerah, merupakan suatu ikatan dari orang-orang yang mempunyai
kepercayaan yang sama. Konsepsi mukjizat dan karomah pada golongan Tasawuf
nampaknya menarik golongan ini untuk menempelkan lencana Islam pada diri
mereka.
Golongan Priyayi, yaitu
golongan keluarga istana dan pejabat pemerintahan. Mereka ini masih tetap kuat
pengaruh mistik Hindu-Budhanya. Perubahannya ialah kalau dulu hanya didasari
unsur-unsur Animisme-Dinamisme, kini mendapat tambahan unsur baru, yaitu Islam.
Tetapi Islam hanyalah diperlukan untuk melengkapi kata-kata yang diperlukan
pada ajaran mistik. Sebab esensi mistik priyayi ini memang amat sulit untuk
dikrompomikan dengan ajaran tasawuf yang masih murni menurut konsepsi Islam.
Dalam mistik priyayi ini, tiada
beda antara yang Mutlak dengan manusia. Sedangkan dalam Islam, Tuhan jelas
berbeda dengan manusia. Dalam mistik priyayi, terjadinya persatuan dengan yang
mutlak, tergantung dari kesanggupan usaha manusia. Sedangkan kasyf
(terbukanya tirai antara manusia dengan Tuhan) pada golongan tasawuf, adalah
merupakan anugerah dari Tuhan. Manusia hanya dapat memohon dan mempersiapkan
diri.
Golongan ini (mistik priyayi)
mempunyai ciri memperluas kehidupan batin dan rasa. Dalam hal-hal tertentu
mereka sering melakukan semedi atau menyepi. Oleh sebab itu dari
golongan ini lalu banyak muncul tokoh aliran kebatinan, atau mistik Jawa atau Kejawen.[10]
Begitulah dengan masuknya Islam ke
hati orang Jawa, nampaknya menambah wawasan dalam keyakinan mereka. Tetapi
dengan menerima Islam itu tidaklah dengan sendirinya berarti mereka melenyapkan
kepercayaan-kepercayaan pra Islam. Mereka menafsirkan dan memahami al-Quran
secara elactic, artinya
sebagai karet yang bisa diolor-olor. Mereka mengucapkan syahadat, akan
tetapi kenang-kenangan dan kepercayaan kepada Bathara Guru, Bathara Wisnu, Dewi
Sri dan lain-lain masih tetap kuat. Di sini muncul kecenderungan kepada sinkretisme.[11]
Dengan
demikian setelah datangnya Islam, pada orang Jawa terdapat berbagai kepercayaan
yang bercampur menjadi satu: Animsme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam
sekaligus.
Dari kepecayaan orang Jawa yang
merupakan kombinasi dari kepercayaan Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, dan
Islam, maka tindakan-tindakan keagamaannya pun mencerminkan ketiga unsur
kepercayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada upacara yang terpenting bagi
orang Jawa yang disebut dengan Wilujengan atau selamatan. Secara lebih
rinci, model sinkritisme dapat
ditelaah pada contoh upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.
Upacara Selamatan
Dilihat
dari asal usul bahasanya, kata “selamatan” dalam bahasa Indonesia ini berasal
dari bahasa Jawa slametan, yang kemungkinan besar dari bahasa Arab (Islam) salaamatan. Hal
ini terjadi karena adanya pengaruh Islam yang kuat pada orang Jawa, yang
meskipun tidak secara keseluruhan ingin mengamalkan ajaran Islam, mereka senang
menjadikan istilah-istilah Arab (Islam) itu menjadi miliki mereka.
Dalam
Kamus Indonesia-Arab, kata salaamatan ini diartikan dengan “selamat atau
kesalamatan”.[12]
Selamat dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Jawa slamet,
artinya terhindar dari malapetaka. Karena itu jika orang Jawa melakukan suatu
perbuatan yang bertujuan ingin terhindar dari suatu malapetaka, maka perbuatan
itu disebut dengan slametan, wilujengan atau kenduri
dalam bahasa Jawa, atau dalam bahasa Indonesia “selamatan”.
Menurut
Clifford Geertz, selamatan atau slametan adalah versi Jawa dari
apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, ia
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya
andai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang
yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama
mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam satu kelompok sosial
tertentu yang diwajibkan untuk tolong menolong dan bekerja sama.[13]
Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh
orang Jawa, yang sudah mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak
bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut
oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk
memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari
kepercayaan Animisme-Dinamisme, sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh
nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan
kekuatan tertentu.
Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah
merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha kuat, yang
disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda
tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah
kemudian disebut dengan “selamatan”. Seiring dengan masuknya kepercayaan Hindu
dan Budha pada orang Jawa, maka kepercayaannya pun bertambah lagi, menjadi
percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal ini akan nampak jelas pada bacaan doa
dalam upacara selamatan yang diselenggarakan. Setelah kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga
ikut mempengaruhi upacara selamatan. Jika pada masa sebelumnya disebut
nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian nama-nama dewa-dewi, maka setelah
kedatangan Islam
nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup
mewarnainya, dalam doa-doa selamatan.
Harsya
W. Bachtiar, setelah mengamati praktek selamatan ini, membaginya menjadi dua
jenis selamatan. Selamatan yang berdasarkan atas adat, dan selamatan yang
berdasarkan atas dorongan agama (kepercayaan). Sebagai upacara adat, selamatan
bertujuan untuk mempererat kesetiakawanan kelompok, untuk menyebarkan kabar
gembira untuk memperoleh legitimasi bagi usaha-usaha tertentu, dan sebagainya.[14]
Melihat tujuan seperti yang dikemukakan Bachtiar, maka upacara selamatan yang
berdasarkan adat adalah berorientasi pada aspek sosiologis, yakni demi
kelestarian dan keutuhan masyarakat. Dalam pengamatan selanjutnya, Bachtiar
mengakui bahwa tidak jarang upacara-upacara selamatan yang asalnya berorientasi
religius kemudian berubah orientasi menjadi upacara adat, sehingga dalam
penyelenggaraan selamatan, tujuan-tujuan yang bersifat keagamaan sudah kurang
diperhatikan lagi. Misalnya selamatan pindah rumah, selamatan ganti nama, dan
beberapa selamatan yang lain yang berkaitan dengan selamatan lingkaran hidup.
Satu hal yang perlu dicatat adalah, meski tujuan-ujuan keagamaan cenderung
hilang, tapi seringkali masih nampak dalam penganan-penganan yang dibuat secara
simbolik berkenaan dengan tujuan selamatan yang diadakan. Namun, kebanyakan
orang Jawa tidak mengerti dan tidak menyadari maksud dibuatkannya
penganan-penganan itu.
Menurut
Geertz, ada empat jenis selamatan yang diselenggarakan orang Jawa. Pertama,
selamatan yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan, yaitu kelahiran,
khitanan, perkawinan, dan kematian. Kedua, selamatan yang ada hubungannya
dengan hari-hari raya Islam, misalnya: Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, dan
lain-lain. Ketiga, selamatan yang ada kaitannya dengan sosial seperti bersih
desa. Keempat, selamatan sela (selingan) yang diselenggarakan dalam waktu
yang tidak tentu, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang,
misalnya keberangkatan untuk suatu perjalanan, pindah tempat, ganti nama,
sakit, terkena tenung, dan lain sebagainya.[15]
Upacara Selamatan dan Ritual Kemanten Jawa
Untuk
suatu upacara pernikahan, biasanya jauh sebelumnya di depan rumah mempelai
putri dibangun sebuah tarub, yaitu suatu atap sementara yang juga
merupakan lambang dari suatu pesta pernikahan. Tarub mulai
dibangun tiga sampai lima hari sebelum pesta dilangsungkan. Menurut Pranata
ssp, kata tarub berasal dari nama Jaka Tarub, tokoh cerita rakyat
di Jawa yang berhasil memperistri seorang bidadari cantik jelita bernama Dewi
Nawang Wulan. Menurut cerita tersebut, setiap hari Rabu dan Sabtu ada 7 bidadari yang turun
dan mandi di danau indah. Jaka Tarub iseng mencuri salah satu busana yang
tertinggal di tepi danau waktu mereka mandi. Ketika selesai mandi, para bidadari naik ke darat lalu berbusana kembali dan pulang ke Kahyangan, maka ada seorang bidadari yang ketinggalan karena
busananya hilang. Itulah Dewi Nawang Wulan. Akhirnya Jaka Tarub kawin dengan
Dewi Nawang Wulan. Jaka Tarub lalu membangun atap-atap tambahan bagi gubuknya,
sebagai pertanda dia akan kawin. Bangunan tambahan itu dihias-hias dengan
berbagai daun serta tetumbuhan lain, termasuk janur kuning. Jadi penggunaan tarub
dalam arti bangunan tambahan maupun dalam arti bleketepe, berasal
dari cerita Jaka Tarub, dengan maksud agar supaya hajat perkawinan berlangsung
selamat.[16]
Sejak tarub mulai dibangun, calon pengantin wanita
dan pengantin pria tidak diperkenankan bertemu lagi. Bahkan calon mempelai
wanita dilarang keluar rumah, sebaliknya harus selalu berada di dalam kamar.
Kemudian dua hari sebelum acara pernikahan,
diadakanlah suatu upacara selamatan sederhana dengan mengundang para tetangga
terdekat.
Sehari sebelum upacara dilangsungkan, calon mempelai
wanita menjalani upacara mandi atau siraman yang dimulai sekitar pukul 9
pagi atau 4 sore. Hal-hal yang harus disediakan dalam upacara siraman adalah
air yang diber wangi-wangian dan kelopak-kelopak bunga, kemudian disediakan
beberapa beberapa helai kain batik, beberapa helai bahan baju, dan berbagai
macam daun tertentu serta sajian yang terdiri dari tumpeng-tumpeng kecil
beserta lauk pauknya, kue-kue dan buah-buahan di atas sehelai nampan.
Mengenai teknik pelaksanaan upacara siraman ini,
Koentjaraningrat menjelaskan sebagai berikut:
Pengantin wanita duduk di atas
sebuah bangku dengan tubuh yang ditutup dengan sehelai kain putih. Ia
dikelilingi oleh kaum keluarganya yang wanita, kenalan-kenalan wanita, ibunya
dan juga teman-temannya sendiri yang ingin menyaksikan jalannya upacara.
Upacara itu dipimpin oleh seorang wanita yang sedapat-dapatnya sudah tua, yang
sudah banyak anak dan cucunya. Pengantin wanita mula-mula dimandikan dengan
cara biasa, lalu diurut-urut dengan minyak yang sudah diberi wangi-wangian.
Sambil membaca surat-surat al-Quran, kepalanya disiram dengan
air yang berasal dari tujuh sumber. Dengan demikian selesailah upacara siraman.[17]
Setelah
upacara siraman, lalu calon mempelai wanita dirias. Selesai dirias muka dan
rambutnya, lalu diadakan upacara penantunipun pengantin putri, yang
artinya: “menanyakan kepada pengantin putri” yang dilakukan oleh ayahnya atau
walinya, yakni minta
persetujuannya untuk dinikahkan.
Satu
malam sebelum upacara pernikahan dilangsukan, diadakan selamatan yang disebut midodareni.
Pada saat itu pengantin wanita belum tidur sebelum tengah malam. Semua yang
hadir baik anggota keluarga, para tamu, sahabat-sahabat yang menemani dalam
acara tirakatan itu tidak diperkenankan ramai. Guna menghilangkan kantuk
dihidangkanlah minuman dan makanan kecil. Orang Jawa percaya bahwa pada malam
sebelum menikah, kedua pengantin harus berusaha mendekati para bidadari serta
para makhluk halus baik lainnya, dan
kesempatan itu ada pada waktu larut malam. Maksud dari adat ini adalah untuk
meminta restu mereka. Agaknya acara ini dihubungkan dengan mitos Jaka Tarub. Pranata mengisahkan:
Pada awal
pernikahan, Nawang Wulan dan Jaka Tarub membuat janji bahwa mereka akan menjadi suami istri selamanya. Dewi
Nawang Wulan tidak akan kembali ke kahyangan, asalkan Jaka Tarub tidak membuka kekep
(tutup penanak nasi) setiap kali istrinya masak. Tapi karena Jaka Tarub
selalu keheranan melihat keajaiban, mengapa istrinya tidak nampak mengambil
beras, tetapi selalu berhasil menanak nasi dengan lezat sekali rasanya, maka
dia tak kuat lagi menahan keinginannya untuk membuka kekep, untuk
melihat apa yang sebenarnya ditanak oleh istrinya sehingga menghasilkan nasi
yang lezat sekali itu.
Menyangka bahwa
istrinya terlena, Jaka Tarub mencuri langkah lalu membuka kekep, dan
sang istri menjadi kecewa sekali. Lalu terpaksa terbang kembali ke kahyangan ke
tempat asalnya. Namun, dia berpesan pada Jaka Tarub bahwa kelak apabila
putrinya bernama Dewi Nawangsih akan kawin, maka pada malam menjelang upacara
perkawinan (menjelang akad nikah dan upacara panggih) hendaknya dipedaringan
(ruangan dalam rumah utama tempat menyimpan harta kekayaan) ditaruh manggar
mayang sekembaran dan cikal sepasang. Manggar adalah bunga pohon
kelapa dan mayang adalah bunga pohon pinang (jambe). Sekembaran
artinya satu pasang, yakni dua tetapi sama yang sama rupanya, yakni kembar…
Dengan isyarat seperti itu, maka pada malam tersebut Dewi Nawang Wulan akan
turun dari kahyangan menjenguk putrinya, untuk memberi restu bagi perkawinannya
serta ikut mempercantik putrinya terebut.[18]
Paginya,
pengantin pria yang sudah memakai busana pengantin, dengan diapit oleh walinya
dan para anggota keluarganya serta teman-temannya, berjalan ke masjid atau ke
suatu tempat di mana upacara akad nikah dapat dilangsungkan. Dalam upacara akad
nikah ini yang harus ada antara lain: Calon dua mempelai, wali, penghulu, dan sedikitnya dua saksi. Dalam
upacara ini mempelai pria menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan mempelai
putri. Setelah itu mempelai pria membubuhkan tanda tangannya di atas surat
nikah, lalu diteruskan dengan penyerahan mas kawin. Dengan selesainya upacara
akad ini, telah resmilah dua mempelai ini menjadi suami isteri.
Setelah acara ijab-qabul usai, lalu malam harinya
diadakan upacara panggih. Upacara panggih atau temon ini
terkadang dilaksanakan langsung pada siang hari setelah acara ijab
diadakan. Dalam upacara panggih ini wanita digandeng oleh dua orang anggota
keluarga wanita yang tertua, dan berjalan menuju pintu masuk untuk menjumpai
pengantin pria yang datang bersama rombongannya. Upacara panggih ini selalu
diiringi dengan bunyi gamelan yang melagukan kebogiro. Setelah kedua mempelai beserta rombongannya
masing-masing saling berhadapan, lalu kedua mempelai saling berlomba melempar sadak,
yaitu daun sirih yang telah digulung dan di dalamnya diisi dengan enjet (apu)
dan jambe, lalu diikat dengan benang lawe.
Upacara
lempar sadak ini melambangkan suatu himbauan agar suami-isteri dalam
hidupnya nanti selalu berlomba saling mendahului untuk menyelesaikan suatu
perkara dengan dasar kasih sayang.[19] Selanjutnya upacara Wijidadi. Dalam
upacara ini pengantin pria menginjak telor ayam yang disediakan oleh mempelai
putri, sampai pecah. Lalu mempelai putri mencuci kaki mempelai pria. Upacara
ini adalah simbol dari doa dan
harapan semoga perkawinannya nanti membuahkan keturunan sebagaimana yang
diinginkan.
Setelah itu, menurut Koentjoroningrat, pengantin pria
menunutun istrinya ke tempat duduk yang sudah disediakan, disaksikan oleh semua
hadirin. Sebelum mereka menduduki kursi pelaminan, harus menjalani upacara sungkem.
Kedua orang tua pengantin yang sejak upacara temu berada di sekitar
upacara itu, diminta duduk di dekat kursi yang disediakan untuk pengantin.
Kedua mempelai melakukan sungkem terhadap orang tua pengantin wanita, dengan
mencium lutut mereka sambil berjongkok. Sementara itu orang tua pengantin
wanita meletakkan tangan mereka pada kepala mempelai yang sedang melakukan
sungkem sambil memberikan doa restu. Selesai upacara sungkem, pengantin pria
diminta duduk di atas paha kanan ayah pengantin wanita, dan pengantin wanita di
atas paha kiri ayahnya, yang masih tetap duduk di tempatnya. Ibu pengantin
putri bertanya pada suaminya, mana di antara keduanya yang lebih berat.
Suaminya menjawab bahwa keduanya sama-sama berat. Upacara ini mengingatkan
bahwa orang tua harus menganggap menantunya seperti anaknya sendiri. Setelah
itu mempelai duduk di kursi pengantin dan minum sekedarnya, sementara para tamu kemudian mencari tempat
duduk, di mana mereka kemudian dihidangkan minuman dan kue-kue.
Di saat para tamu menikmati hidangan makan kecil, mempelai
berganti pakaian di kamar pengantin. Setelah itu mereka berpisah, pengantin
pria duduk bersama-sama dengan para tamu pria dan bagian rumah yang diberi tarub,
sedangkan pengantin wanita bersama para tamu wanita di dalam rumah. Mereka
beramah-tamah, dan sebagian tamu kemudian ada yang mohon diri untuk pulang.
Setelah itu dua mempelai bersanding kembali untuk melaksanakan upacara suap
nasi, yang terdiri dari nasi kuning dengan lauk pauknya, yang dimulai oleh
pengantin pria dengan menyuapkan nasi kuning ke mulut isterinya dan sebaliknya.
Setelah ini diikuti oleh segenap hadirin bersama-sama menyantap santapan walimah.
Dengan demikian upacara panggih yang menjadi inti upacara pernikahan telah berakhir. Berikutnya para tamu pun mohon diri kepada mempelai untuk pulang menuju
rumah masing-masing.[20]
Sebagaimana upacara-upacara yang
lain, pada upacara pernikahan ini pun tidak lupa menyediakan sesajen, sejak masa
pembuatan tarub, upacara siraman, midodareni, ijab,
sampai dengan upacara panggih sekali pun. Sesajen tersebut hampir tidak berbeda dengan yang lain-lain, seperti pada acara
khitanan maupun tingkeban. Semua sesajen itu diletakkan
di sekitar rumah, antara lain dapur, kamar pengantin, di muka pintu ruang
tengah, di sudut-sudut rumah; hal ini dilakukan pada saat
memasang tarub, berhubungan dengan midodareni, sajian diletakkan di
tempat pemandian. Demikian juga di saat ijab pun diletakkan di dekat
meja tempat ijab. Semua ini dilakukan orang Jawa dalam rangka untuk
mendapatkan keselamatan dan restu dari yang Kuasa.
Budaya singkretis
Jika memperhatikan model upacara selamatan dan
ritual kemanten Jawa tersebut, maka akan terlihat budaya singkretis telah
mewarnainya. Di antara agama dan kepercayaan yang telah mewarnainya adalah unsur
Animisme-Dinamisme,
Hindu-Budha dan Islam. Unsur-unsur
Animisme-Dinamisme tampak pada pembuatan tarub yang merupakan manifestasi dari
Jaka Tarub. Kemudian air dari tujuh sumber yang diyakini memmpunyai kekuatan
tertentu untuk digunakan mandi dalam acara siraman. Selanjutnya,
pengharapan restu dari Dewi Nawangwulan-Dewi Nawangsih, saat acara midodareni,
adalah manifestasi adanya keyakinan terhadap Dewa-Dewi dari kepercayaan
Hindu-Budha. Sedangkan pembacaan al-Qur’an saat mengiringi acara siraman dan
upacara ijab-qabul adalah adanya unsur Islam yang diyakininya. Adapun
upacara wijidadi (menginjak telor), acara sungkem, lempar sadak,
dan panggih,adalah merupakan filosofi ajaran Jawa yang luhur yang
penuh dengan muatan doa atau harapan akan datangnya kebaikan dan keberkahan
hidup di masa depan.
Sebagai bangsa yang
beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka cukup antusias
melaksanakan suatu aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan atau
kepercayaan. Upacara selamatan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat
dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan ini nampaknya masih cukup kuat dalam
memberikan motivasi bagi mereka untuk menyelenggarakannya, hingga sekarang, terutama
dari kalangan muslim tradisional. Dari kalangan
muslim tradisional sendiri sebagiannya sudah mulai meninggalkan beberapa
bagian keyakinan yang secara mencolok mengandung unsur keyakinan agama lain.
Terutama pada kelompok muslim santri, nama dewa-dewi sudah cenderung hilang
dari doa-doa yang dilantunkan.
Dari paparan mengenai
upacara selamatan dan ritual kemanten Jawa: agama atau budaya, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam acara tersebut secara sinkretis telah tercampur menjadi
satu, antara animisme-dinamisme, hindu-budha dan Islam.
Bagi kalangan muslim modern, mereka berusaha mengkritisi berbagai amalan (khususnya
selamatan dan ritual) yang telah dilakukan muslim tradisional
secara sinkretis, seperti upacara selamatan yang pada umumnya telah tercampuri
(campur-aduk) dengan berbagai budaya dan kepercayaan agama lain. Hal ini dilakukan oleh kaum muslim modern
dengan maksud agar dapat diketahui secara jelas mana ajaran Islam yang masih
murni dan mana yang sudah tidak murni lagi. Mengingat mayoritas orang jawa
(Indonesia) lebih cenderung pada budaya muslim tradisional, dan begitu kuatnya
dalam mempertahankan budaya-budaya tradisional seperti selamatan, maka ketika
kaum muslim modern tidak mau
berpartisipasi apalagi mengkritisi budaya selamatan, maka kaum muslim modern malah
dianggapnya sebagai bersikap aneh. Sungguh pun demikian, kaum muslim modern
tetap istiqamah dalam berjuang dan beramar makruf nahi munkar[21].
[2] Budiono
Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta:
PT. Hanindita. 1984), 43.
[3] I.Djumhur,
Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung:
Dirgantara. 1977), 100.
[4] Hasan
Al Banna, Allah Fil Aqidah Al Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani. 1981), 19.
[5] H.M.
Rasyidi, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan
Bintang. 1977), 11.
[6] Sri
Mulyono, Demi Dakwah (Bandung: Al Ma’arif. 1976),36.
[7] Sufaat
M, Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan (Yogyakarta: Kota Kembang.
1985), 37.
[8] Ibid.,
43.
[9] Rosihan
Anwar, Demi Dakwah (Bandung: Al Ma’arif. 1976), 5
[11] Anwar, Demi
Dakwah, 9.
[12] Asad M.
Alkalali, Kamus Indonesia-Arab (Cirebon. 1981), 485.
[13]
Clifford Geertz, The Religion of Java, Terj. Aswab Mahasin (Jakarta:
Pustaka Jaya. 1981), 13.
[14] Harsya
W. Bachtiar, “The
Religion of Java Sebuah Komentar”, dalam Clifford Geertz, The Religion of Java,
528.
[15] Ibid.,
38.
[16]
Pranata ssp., Mencari Jodoh dan Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta:
PT, Yudha Gama Corparation. 1984), 51.
[17]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 131.
[18]
Pranata, Mencari Jodoh, 77.
[19]
Ibid., 103.
[20]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 134-135.
[21] Sikap gigih yang dilakukan kaum muslim modern ini di
antaranya termotivasi oleh sabda Nabi Saw:
« بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا
فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ».
"Islam dulu pada awal kedatangannya
dianggap aneh, dan pada saatnya nanti, ajaran Islam akan dianggap aneh lagi,
maka beruntunglah/ berbahagialah mereka yang dianggap aneh itu". (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Pada riwayat lain disebutkan":
طُوبَى
لِلْغُرَبَاءِ ، قِيلَ : وَمَنَ الْغُرَبَاءُ ، قَالَ : قَوْمٌ يُصْلِحُونَ حِينَ
يُفْسِدُ النَّاسَ
Berbahagialah orang yang
dipandang aneh itu, yaitu mereka yang berusaha melakukan perbaikan (koreksi)
pada saat banyak manusia yang telah melakukan kerusakan (mengabaikan
sunnah)". HR. al-Tirmidzi, al-Nasa-i
dan lain-lain. al-Albani menyatakan hadis tersebut sahih dalam al-Silsilah
al-Sahihah al-Kamilah, III/ 347.
bagus pak penjelasannya
BalasHapus