HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG
oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi DH
Pengertian:
Umrah berasal dari kata al-i’timar
yang berarti al-ziarah. Yang dimaksud dengan Umrah di sini adalah ibadah
dengan cara mengunjungi ka’bah dan thawaf di sekitarnya, kemudian melakukan
sa’i di antara shafa dan marwa dan diakhiri dengan mencukur rambut.[1]
Hukum Umrah:
Ulama pada umumnya sepakat bahwa
umrah termasuk ibadah yang disyariatkan. Sebagian ulama ada yang memandangnya fardlu
‘ain bagi setiap muslim seumur hidup sekali sebagaimana haji, sementara
yang lain berpendapat bahwa umrah itu hukumnya sunnah muakkadah [2].
Di antara ulama yang memandang umrah itu fardlu
‘ain adalah Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Dalil-dalil yang dijadikan dasar
adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah Surat al-Baqarah ayat 196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (البقرة:
196)
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah”.
(QS. al-Baqarah,
196).
2.
HR. Ahmad dan Ibn Majah dari A’isyah ra:
قَا
لَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ عَلَى
النِّسَاءِ مِنْ جِهَادٍ ؟ قَالَ نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ:
اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ (رواه أحمد وابن ماجة
ورواته ثقة)
Artinya:
‘Aisyah ra berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah kaum wanita juga diwajibkan untuk jihad?” Rasulullah
menjawab: Ya, mereka juga berkewajiban berjihad hanya saja tidak ada peperangan
di dalamnya, yaitu melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah
dengan para perawi yang tsiqqah).
3.
HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa-i
dan Ibn Majah (HR.Lima) dari Abu Razin al-‘Uqaili ra. Suatu ketika al-‘Uqaili
mendatangi Nabi Saw kemudian ia berkata:
أَنَّ
أَبِىْ شَيْخٌ كَبِيْرٌ لاَ يَسْتَطِيْعُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَلاَ الظَّعْنَ
قَالَ: حَجِّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ (رواه
الخمسة)
Artinya:
“Bahwasanya ayahku telah tua renta, tak sanggup lagi
menunaikan ibadah haji dan umrah, juga tak bisa bepergian (bagaimana dengan
kewajibannya?). Nabi Saw. menjawab: “Lakukan haji dan umrah untuk ayahmu!”(HR.
Lima ahli hadits).[3]
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali mengatakan bahwa hukum
ibadah haji dan umrah itu adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang Islam
seumur hidup sekali.
Sementara
itu Imam Hanafi dan Imam Maliki berpendapat bahwa umrah itu hukumnya sunnah
muakkadah sekali seumur hidup. Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan
adalah sebagai berikut:
Nabi Saw.
bersabda:
اَلْحَجُّ مَكْتُوْبٌ
وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ (رواه ابن ماجة)
Artinya:
“Ibadah haji itu hukumnya wajib, sedangkan umrah itu
hukumnya sunnah” (HR. Ibn Majah).
Adapun firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (البقرة:
196)
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah
haji dan umrah karena Allah”.
(QS. al-Baqarah,
196).
Maksud
ayat tersebut adalah untuk menyempurnakan suatu ibadah sesudah mulai
dikerjakan. Karena ibadah itu kalau sudah mulai dilakukan harus disempurnakan
walaupun ibadah itu hukumnya sunnah. Jadi ayat tersebut tidak
menunjukkan wajibnya.
Demikian
juga hadits Nabi Saw:
عَلَيْهِنَّ
جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ: اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ (رواه
أحمد وابن ماجة ورواته ثقة)
Artinya:
“Mereka juga berkewajiban berjihad hanya saja
tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu melaksanakan haji dan umrah”. (HR.
Ahmad dan Ibn Majah dengan para perawi yang tsiqqah).
Hadits tersebut juga tidak
menunjukkan wajibnya umrah, karena kata عَلَيْهِنَّ pada hadits tersebut
mengandung makna wajib dan juga sunnah. Maka yang wajib
adalah hajinya, sedangkan yang sunnah adalah umrahnya sesuai dengan hadits
tadi yakni وَالْعُمْرَةُ
تَطَوُّعٌ , dan umrah itu
hukumnya sunnah. Adapun tentang kewajiban haji telah jelas dalilnya dari
al-Qur’an, yaitu :
وَلِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً (ال
عمران 97)
Artinya:
Bagi manusia yang sudah mampu, wajib baginya menunaikan
ibadah haji ke baitullah” (QS. Ali ‘Imran, 97). [4]
Hukum
Umrah berulang-ulang:
Selain
mempersoalkan status hukum ibadah umrah bagi setiap muslim, ulama juga
memperdebatkan masalah boleh dan tidaknya melakukan umrah secara berulang-ulang
dalam satu tahun, terutama pada musim haji atau di bulan Ramadlan.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa tidak mengapa melakukan umrah berulang-ulang sepanjang
memungkinkan, baik di musim haji atau di bulan Ramadlan. Alasan yang dijadikan
dasar oleh ulama yang membolehkan umrah berulang-ulang ini adalah karena bagi
orang-orang yang jarak tempat tinggalnya amat jauh dari tanah suci (Makkah
al-Mukarramah) dan biayanya terbatas, mereka mungkin hanya bisa sekali
dapat melakukan haji dan umrah seumur hidupnya. Sedangkan waktu senggang
menunggu pelaksanaan ibadah haji masih lama, sehingga sayang kalau tidak
dimanfaatkan untuk melakukan umrah-umrah sunnah.
Abd
al-Rahman al-Jaziri[5],
dalam bukunya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengemukakan:
وَيُنْدَبُ اْلإِ
كْثَارُ مِنَ الْعُمْرَةِ وَتَتَأَكَّدُ فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلاَ
ثَةٍ وَخَالَفَ الْمَالِكِيَّةُ
Artinya:
“Dianjurkan
memperbanyak atau mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan
sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali),
kecuali Imam Maliki yang tidak sependapat”. Sesuai hadits riwayat Ibn Abbas ra bahwasanya umrah di bulan
Ramadlan itu pahalanya sama dengan ibadah haji”[6].
Nafi berkata:
إِعْتَمَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَعْوَامًا فِى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عُمْرَتَيْنِ
فِىْ كُلِّ عَامٍ
Artinya:
“Abdullah bin Umar
telah bertahun-tahun melakukan umrah pada masa Ibn al-Zubair dua kali setiap
tahunnya”.[7]
Jabir
ra meriwayatkan bahwa suatu ketika ‘Aisyah ra meminta izin kepada Rasulullah
Saw untuk melakukan umrah setelah hajinya, karena pada saat umrah sebelumnya ia
batal karena kedatangan haid sebelum melakukan thawaf. Walaupun ia
ditanggung dapat dua pahala juga karena telah melakukan haji dan umrah sekaligus sesuai saran Nabi Saw, tetapi ia belum puas
sebelum melakukan ibadah umrah tersendiri. Karena itu setelah ia suci dan
selesai thawaf haji, ia berkata kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ
أَتَنْطَلِقُوْنَ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَأَنْطَلِقُ بِالْحَجِّ؟ فَأَمَرَ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِىْ بَكْرٍ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا إِلَى التَّنْعِيْمِ
فَاعْتَمَرَتْ بَعْدَ الْحَجِّ فِىْ ذِى الْحِجَّةِ (رواه
البخارى)
Artinya:
“Wahai Rasulullah Saw, apakah mereka pergi
menunaikan ibadah haji dan umrah sedangkan aku hanya dapat ibadah haji saja?
Rasulullah Saw kemudian memerintahkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar untuk keluar
menemani Aisyah pergi ke Tan’im, kemudian Aisyah pun melakukan ibadah umrah
setelah haji di musim haji itu”( HR. Al-Bukhari)[8]
Berdasarkan
hadits riwayat Aisyah tersebut sebagian ulama memahaminya bahwa sesungguhnya
ibadah umrah itu boleh dilakukan dua kali dalam satu tahun bahkan dua kali
dalam satu bulan.[9] Hal ini memperkuat pendapat bolehnya
melakukan umrah berulang-ulang pada musim haji atau pada bulan suci Ramadlan.
Adapun
ulama yang tidak membolehkan umrah berulang-ulang dalam satu tahun adalah Imam
Maliki. Dalam bukunya Fiqh al-Sunnah[10],
Sabiq menulis:
كَرِهَ مَالِكٌ تِكْرَارَهَا فِىْ
الْعَامِ أَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ
Artinya:
“Imam Malik
memandang makruh mengulang-ulang umrah dalam satu tahun lebih dari satu
kali”.[11]
Ibn Taimiyah termasuk ulama
yang memandang makruh. Ia mengatakan bahwa ulama salaf telah sepakat
tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Pendapat
ini dipertegas oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (ulama kontemporer
dari Saudi Arabia) bahwa keluarnya seseorang dari Makkah ke Tan’im atau miqat
lain untuk melakukan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadlan atau yang lainnya,
adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Saw.
Sebab pada masa Nabi Saw hanya dikenal satu masalah yaitu masalah “khusus”
Aisyah ra ketika ihram haji tamattu’ lalu haid. Ketika Nabi Saw menemuinya,
didapatkannya ia sedang menangis dan Nabi Saw menanyakan sebabnya ia menangis,
lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi Saw bahwa ia sedang haid. Maka Nabi
Saw menenteramkan hatinya bahwa haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah
kepada anak-anak perempuan Bani Adam. Kemudian Nabi Saw memerintahkannya untuk ihram
haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran[12].
Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Saw agar
mengizinkannya umrah sendiri, maka Rasulullah Saw pun mengizinkannya dan
memerintahkan saudaranya (Abd al-Rahman bin Abu Bakar) untuk menyertainya ke
Tan’im. Maka Abd al-Rahman bin Abu Bakar keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan
dari sana Aisyah melakukan Umrah[13].
Al-Utasimin menambahkan
bahwa seandainya peristiwa yang terjadi pada Aisyah itu termasuk sesuatu yang
disyariatkan pada semua orang, niscaya Nabi Saw akan mengerahkan para sahabat
bahkan menganjurkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya
untuk melaksanakan umrah, karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum
bahwa Rasulullah Saw pernah bermukim di Makkah pada tahun pembebasan kota
Makkah selama sembilan belas (19) hari tetapi beliau tidak melaksanakan umrah,
padahal bila mau beliau dengan mudah dapat melakukannya. Ini menunjukkan bahwa
umrah berulang-ulang itu tidak disyariatkan, karena di samping hal ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah
melakukannya[14].
Begitulah antara pro dan
kontra mengenai hukum umrah berulang-ulang dalam bulan Ramadlan atau di musim
haji. Ulama yang mengatakan boleh atau sunnah dan ulama yang mengatakan
tidak boleh, makruh atau bahkan bid’ah, masing-masing memiliki
dasar hukum yang jelas. Sebagai pembaca kita patut merenungkannya sambil
memperhatikan dalil-dalil yang dijadikan rujukan. Jika kita telah mengambil
pilihan salah satu di antara dua pendapat tersebut, kita harus konsekuen untuk
mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Adapun terhadap pendapat yang tidak kita
pilih atau tidak kita setujui, kita tetap harus menghormatinya. Betapa pun
mereka itu adalah para ulama yang mumpuni di bidangnya. Bukankah hanya Allah
yang Maha Tahu mana di antara pendapat-pendapat itu yang benar? Semoga Allah
Swt. senantiasa menurunkan hidayahNya kepada kita. Amien !
Tulisan ini dinukil dari buku
"Fiqh Moderat: Menyikapi Khilafiah masalah Fiqh",
karya Achmad Zuhdi Dh
[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Beirur: Dar al-Fikr, 1986), 684.
[3] Baca hadits yang senada pada
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi Hasyiah al-Sindi, Vol.I (tt: Dar
al-Fikr, tt), 318-319.
[9] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad
al-Ma’ad Fi Huda Khair al-‘Ibad, Vol.I (tt: Dar al-Fikr,tt), 201.
[11]Baca
juga al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib, Vol.I, 687.
[12] Haji Qiran adalah
berihram (niat) untuk melakukan umrah dan haji sekaligus dari miqat, atau
berihram untuk umrah kemudian memasukkan niat (ihram) untuk haji sebelum
memulai thawaf. Baca Nashir bin Musfir al-Zahrani, Ibhaj al-Hajj (Riyad:
Maktabah al-‘Abikan, 1423 H), 36.
[13] Peristiwa ini banyak dimuat
dalam hadits-hadits shahih. Baca Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Bi
Hasyiah al-Sindi, Vol.I, 318-319. Baca juga Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
Vol.I, 634-635.
[14] Abd al-Aziz bin Baz et.al., al-Bida’
Wa al-Muhdatsat Wa Ma la Ashla lahu (Riyad: Dar Ibn Khuzaimah, 1999),
391-392. Baca juga Muhammad bin Shalih al-‘Utasimin, Fiqh al-‘Ibadat
(Riyad: Dar al-Wathan, 1416 H), 294-295.
Fatwa wahabi saja ini tidak boleh pakai
BalasHapusFatwa wahabi saja ini tidak boleh pakai
BalasHapusterimakasih share ilmunya
BalasHapus