HAKIKAT DAN OBYEK ILMU TASAWUF
Oleh:
Achmad Zuhdi Dh
Pendahuluan
Ilmu tasawuf, sekalipun telah diakui sebagai suatu disiplin ilmu keislaman, namun masih ada yang mempertanyakan. Penilaian negatif terhadap ilmu tasawuf ini datang dari ahl al-zhawahir. Menurut mereka, praktik tasawuf yang dikaji dalam ilmu tasawuf telah berada “di luar garis” sebagai kesesatan yang amat gawat . Ibn ‘Arabi (1165-1240), umpamanya, dipandang oleh para ulama syari’ah (ahl al-zhawahir) sebagai yang bertanggung jawab atas penyelewengan dalam Islam. Bahkan sebagai bukti, al-Hallaj dengan ajaran al-hululnya dihukum mati oleh Khalifah al-Muqtadir bi Allah dari Dinasti Abbasiyah pada hari Selasa, 29 Zulqa’dah 309 H atau bertepatan dengan 28 Maret 913 M, dengan didahului hukuman cambuk sebanyak 1000 kali, kemudian tangan dan kakinya dipotong, jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Dajlah .
Apa sebenarnya ilmu tasawuf itu dan apa obyek kajiannya sehingga menimbulkan penilaian yang sedemikian gawat dari kalangan ahl al-zhawahir? Pada makalah ini, penulis akan mencoba membahas lebih jauh mengenai apa hakikat ilmu tasawuf itu dan apa yang menjadi obyek kajiannya.
Hakikat Ilmu Tasawuf
A.Kajian etimologis
Sebelum membahas tentang ilmu tasawuf, terlebih dulu membahas apa itu tasawuf secara etimologis. Tasawuf berasal dari kata bahasa Arab, al-tasawwuf yang merupakan masdar (kata kerja yang dibendakan) dari fi’il khumasi (kata kerja dengan lima huruf dasar, yakni tasawwafa), yang dibentuk dari kata sawwafa yang berarti wol. Dari kata tersebut lahirlah sebutan sufi untuk orang Islam yang menjalani kehidupan sufistik.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Sufi dari sawafa ini.
Sebagian orang berpendapat bahwa lafal sufi itu berasal dari al-safa (kesucian, bersih dan murni). Maksudnya adalah kesucian hati para ahli tasawuf, kelapangan dada mereka dan kerelaannya terhadap apa yang Allah berikan kepada mereka. Ketika mereka bermunajat kepada Allah, mereka terbebas dari keterikatan dunia, bebas dari noda-noda jahiliyah berkat ilmu yang dibukakan oleh Allah Swt. Secara umum, safa (kesucian) itu terpuji, dan lawannya adalah kadar (ketidak-sucian). Kaum sufi adalah mereka yang telah mensucikan akhlak dan tindakan mereka dari segala hal yang dipandang kotor, terutama yang dapat mengotori hatinya .
Sebagian yang lain berpendapat bahwa sesungguhnya kesufian itu berhubungan dengan al-suffah, yaitu sebuah tempat beratap di belakang masjid Nabawi, Madinah. Para sahabat Nabi yang tergolong fakir, tak punya keluarga dan tak punya rumah tinggal, mengungsi di sana. Jumlah mereka sekitar 400 orang . Mereka bekerja dengan pekerjaan yang memungkinkan tidak menghalangi pengabdiannya kepada Allah. Jika mereka terhalang oleh pekerjaannya maka mereka lebih mendahulukan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Ada juga yang berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata al-saf al-awwal (saf pertama, terdepan). Hal ini dimaksudkan bahwa mereka (para sufi) itu berada pada peringkat pertama (hati mereka), dalam hal bermunajat kepada Tuhan , juga selalu berada pada saf pertama saat salat di masjid, yang mendapat kemuliaan seperti kaum sufi yang dimuliakan dan diberi pahala oleh Allah Swt .
Sebagian orang ada juga yang berpendapat bahwa kata sufi itu berasal dari bahasa Yunani sofos , yang berarti hikmah. Pendapat ini mengingatkan kedekatan pemikiran sufi dengan pemikiran filosuf Yunani pada masa lampau . Dalam bahasa Yunani, kata filsafat berasal dari kata filo dan sofia. Filo artinya cinta dan sofia artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta terhadap kebijaksanaan . Dinisbatkannya kata sufi dari sofia dimaksudkan bahwa kaum sufi itu mencintai hikmah atau kearifan.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa lafal sufi itu diambil dari kata al-suf (bulu domba, wol). Karena baju yang dipakai oleh orang-orang asketik (zuhud) kebanyakan terbuat dari bulu hewan ternak. Memakai pakaian bulu adalah kebiasaan para Nabi, para siddiqin dan orang-orang miskin yang gemar beribadah. Disebutkan bahwa penamaan sahabat Isa as. dengan hawariyyun (orang-orang yang berpakaian putih) adalah karena mereka selalu berusaha memutihkan pakaian dan selalu memakai yang putih. Allah tidak menisbahkan mereka dengan berbagai macam ilmu atau kondisi yang senantiasa mereka junjung tinggi. Demikian juga julukan terhadap kaum sufi, mereka dinisbahkan kepada pakaian lahiriah (bulu, wol kasar) dan tidak dinisbahkan kepada berbagai ilmu atau sifat-sifat yang senantiasa mereka junjung tinggi. Pakaian yang terdiri dari bulu domba ini menunjukkan bahwa seseorang yang berminat mendalami pengetahuan batin tidaklah memperhatikan penampilan luar mereka dan seringkali hanya memakai satu pakaian sepanjang tahun, yang terbuat dari bulu domba.
Dari sekian banyak pendapat tentang asal-usul kata sufi, pendapat yang dipandang paling kuat dan banyak pendukungnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi itu berhubungan dengan kata al-suf yang berarti bulu (wol). Sedangkan kata al-mutasawwif (ahli tasawuf) juga diambil dari kata yang sama. Bilamana dikatakan tasawwafa maka artinya adalah labisa al-sufa (seseorang yang memakai pakaian bulu wol). Demikian pula apabila dikatakan taqammasa maka maksudnya adalah labisa al-qamisa (seseorang yang memakai kemeja) .
Pendapat inilah yang dipilih oleh para ulama besar di kalangan sufi, seperti Abu Nasr al-Sarraj (penulis al-Luma’) , Imam al-Qushayri (penulis al-Risalah al-Qushayriyah) , Ibn Khaldun (penulis Muqaddimah) dan Ibn Taymiyah (penulis Majmu’ Fatawa) .
B.Kajian Terminologis
Untuk memberikan pengertian tentang apa sebenarnya ilmu tasawuf itu maka sebaiknya memperhatikan aspek historis kemunculan tasawuf itu sendiri. Jika ditilik dari segi historis, yang menjadi faktor penyebab munculnya tasawuf antara lain: (1) karena adanya “pios opposition” (oposisi yang bermuatan kesalihan) dari sekelompok umat Islam terhadap praktik-praktik regimenter pemerintahan Bani Umaiyah di Damaskus; (2) karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru perilaku Rasulullah Saw.
Komunitas yang bersifat oposisi ini ada dua aliran, yaitu aliran Kufah (karena bermula di Kufah) dan aliran Basrah (karena bermula di Basrah). Aliran Kufah dipelopori oleh Sufyan al-Thawri (w.135 H), Abu Hasyim (w.150 H) dan Jabir Ibn Hasyim (w.190 H). Aliran ini mereaksi dengan menampilkan pakaian wol kasar (suf) sebagai simbol nyata penentangan mereka terhadap kemewahan hidup pada waktu itu yang disimboli dengan kain sutra (harir) oleh kalangan pemerintah Bani Umaiyah. Sementara aliran Basrah lebih keras lagi reaksinya yang mengambil bentuk dalam sikap zuhud, untuk bersitekun dalam ibadah kepada Allah yang akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Tokoh-tokoh zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al-Basri (w.110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H) .
Adapun dari kalangan para sahabat terutama Khulafa al-Rasyidin, yang senantiasa meniru perilaku Nabi Saw, mereka benar-benar kagum terhadap perilaku Nabi Saw, sehingga menjadikannya sebagai contoh tauladan dalam hidup keseharian. Di antara perilaku Rasulullah Saw yang dikagumi oleh para sahabat adalah bahwa Rasulullah Saw tidak pernah tergiur oleh kenikmatan duniawi, walaupun kesempatan untuk bernikmat-nikmat sangat memungkinkan.
Dilihat dari segi historis ini maka pengertian tasawuf adalah (1)hidup dalam ukuran sederhana, tidak tergiur kemewahan; (2)sikap hidup yang zuhud, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup yang tidak berorientasi kematerian; dan (3)selalu menjaga hubungan yang baik dengan Khalik maupun makhluk.
Tasawuf dalam pengertian seperti ini senada dengan takrif yang dikemukakan oleh beberapa sufi terkemuka, seperti Junayd al-Baghdadi, katanya: “Tasawuf artinya engkau berada semata-mata bersama Allah tanpa keterikatan dengan apa pun”. Samnun berkata: “Tasawuf itu adalah engkau tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu”. Dzun al-Nun al-Misri berkata: “orang-orang sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada . Al-Suyuti berkata: “Sufi adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik kepada makhluk” . . Sedangkan al-Ghazali mengatakan bahwa sufi itu adalah orang yang selalau berusaha membersihkan diri dari segala kotoran melalui penyucian hati dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt .
Dari beberapa pengertian tentang tasawuf tersebut, beberapa ulama memberikan definisi tentang ilmu tasawuf dengan beragam redaksi:
Ahmad Zarruq dari Maroko mengemukakan: “Ilmu tasawuf adalah ilmu yang dengannya engkau bisa meluruskan hati dan memperuntukkannya hanya bagi Tuhan, dengan menggunakan pengetahuan tentang ajaran Islam, khususnya tentang hukum dan pengetahuan yang terkait, untuk meningkatkan dan menjaga tingkah lakumu dalam ikatan-ikatan Islam demi mencapai kearifan” .
Ibnu Khaldun mendefinisikan: “Ilmu tasawuf itu adalah semacam ilmu syariat yang timbul kemudian di dalam agama (Islam), asalnya ialah tekun dalam beribadah dan memutuskan pertaliannya dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, melepaskan diri dari kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah” .
Sedangkan Muhammad Amin al-Kurdi mengemukakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk jiwa (hati), yang terpuji ataupun yang tercela, bagaimana cara membersihkan jiwa yang tercela kemudian bagaimana mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan bagaimana cara mendekatkan diri (suluk, sayr dan firar) kepada Allah Swt .
Harun Nasution, dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme mengemukakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt .
Dari definisi-definisi tersebut pada intinya antara satu dengan yang lain saling melengkapi dan secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang memberi tuntunan kepada manusia mengenai bagaimana cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah Swt) dengan sebaik-baiknya sehingga bisa berada sedekat mungkin denganNya.
Obyek Ilmu Tasawuf
Mengenai obyek ilmu tasawuf, dapat dilihat dari dua aspek yaitu obyek materia dan obyek forma .
Untuk obyek materianya, menurut al-Kurdi yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah amalan hati (batin) dan perasaan dalam hal membersihkan atau menyucikan diri .Sedangkan menurut Ibn ‘Ata-illah dalam kitabnya al-Hikam mengemukakan bahwa obyek ilmu tasawuf adalah al-Nufus wa al-Qulub wa al-Arwah (masalah jiwa, hati dan ruh).
Dari pendapat Amin al-Kurdi dan Ibn ‘Ata-illah tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah hal-ihwal batin, yang menyangkut jiwa, hati dan ruh.
Adapun obyek formanya, menurut Asmaran yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah aspek esoteris yang berorientasi kepada pembinaan moral dan ibadah . Dari sini dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi obyek forma dari ilmu tasawuf itu adalah segala usaha yang dilakukan untuk tujuan membentuk kepribadian yang baik dan bersih hingga dekat dengan Allah Swt.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dengan ilmu tasawuf adalah ilmu yang dapat memberi tuntunan kepada manusia mengenai bagaimana cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah Swt) dengan sebaik-baiknya sehingga bisa berada sedekat mungkin denganNya. Adapun yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf, dilihat dari obyek materianya adalah hal-ihwal batin yang menyangkut jiwa, hati dan ruh. Sedangkan jika dilihat dari obyek formanya adalah segala usaha yang dilakukan untuk tujuan membentuk kepribadian yang baik dan bersih hingga dekat dengan Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Laila binti. Ancaman Sufisme terhadap Islam, terj.Aris Munandar. Yogjakarta: Tajidu Press, 2003
Abd al-Salam, Muhammad Ahmad. al-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqat bi al-Adzkar wa al-Salawat. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1980.
Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1944.
Basyuni, Ibrahim. Nash’at al-Tasawwuf al-Islami. Mesir: Dar al-Ma’arif,tt.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif . Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulum al-Din, Vol.V. Bayrut: Dar al-Ma’rifah,tt.
Al-Hujwiri, Ali Ibn Uthman. Kashful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM. Bandung: Mizan, 1993.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT.Pustaka Panjimas, 1986.
Haeiri, Fadhlalla. Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia. Yogjakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003.
al-Hasani, Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah. Iqadz al-Himam Fi Sharh al-Hikam Libn ‘Ata-illah al-Sakandari. tt: Dar al-Fikr,tt.
Ibn Khaldun, Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. TT: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Taymiyah. Majmu’ al-Fatawa, Vol.11. TT:tp,tt.
al-Kurdi, Muhammad Amin. Tanwir al-Qulub Fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub. Tt: Dar al-Fikr, 1994.
Massignon, Louis & Mustafa A.Raziq. Islam & Tasawuf. terj.Irwan Raihan dan M.Halabi Hamdi. Yogjakatta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT.Pembangunan, 1980.
al-Qushayri, Abu al-Qasim Abd al-Karim b. Hawazin. al-Risalah al-Qushayriyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf. TT: Dar al-Khayr, tt.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj. al-Luma’. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: Dar al-Thaqafah, 1976.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Zar, Sirajuddin.“Neo-Sufisme dalam Era Global”, HADARAH, Vol.I Number 1. PPS IAIN Padang, 2005.
terima kasih...satu catitan yg baik
BalasHapus